"Kamu keterlaluan, Mas Abian!" seru seorang wanita bermanik hitam. Pundaknya bergetar kala menyaksikan adegan yang sedang terpampang jelas di hadapannya. Suaminya sendiri, melingkarkan tangannya ke pinggang seorang wanita yang sedang terlelap di sampingnya. Seakan itu saja tak cukup, wanita yang terlelap itu adalah kakaknya sendiri.
Melihat istrinya sendiri, pria yang masih tak mengenakan pakaian itu menghampiri sang istri tanpa ada ekspresi bersalah di wajahnya, "Jihan? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Tubuh Jihan baru saja didorong paksa oleh Abian, begitu berhasil keluar, pria yang Jihan sebut suami selama dua tahun terakhir menutup pintu kamar. Mata Abian menatap nyalang pada Jihan. Sempat-sempatnya Abian meraih pakaian yang berserak di lantai, lantas memakainya. Tak peduli sama sekali dengan perasaan Jihan yang lara ini. Kalau saja, Jihan tak menerima pesan misterius, maka sampai kapan pun ia tak akan tahu.
"Apa yang aku lakukan?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, Mas! Kuburan anak masih basah, tapi kamu malah selingkuh dariku!" Jihan kini tak bisa lagi membendung air matanya. Pasalnya, baru tujuh hari yang lalu anaknya meninggal karena penyakit komplikasi. Di kala dirinya masih berkabung dan membutuhkan ketenangan untuk hatinya, sang suami justru menghabiskan malam dengan kakaknya sendiri.
"Jangan keras-keras, Yuna bisa terbangun karena suaramu," sungut Abian, seolah tidak peduli dengan ucapan Jihan."Jadi, kamu lebih peduli lelapnya selingkuhanmu itu? Sedangkan anakmu yang baru saja masuk ke liang lahat itu, kamu tidak mempedulikannya?!"
Abian mendelik tajam dengan tangan sudah terangkat, siap memukul sampai Jihan menutup mata dengan raut takut. Kepala Abian sempat menoleh ke arah kamar, lantas mendengkus dan memilih menarik Jihan untuk keluar dari apartemen. Jihan yang merasa marah sangat ingin mencakar wajah kakak iparnya itu. Sayangnya Abian menarik sangat kasar hingga tangan Jihan pedas rasanya."Jangan bawa-bawa anak kita, Jihan! Dia sudah mati!" ucap Abian sembari mencengkeram lengan Jihan dengan kuat.
"Gila kamu, Mas! Lepaskan aku! Aku mau buat perhitungan pada mba Yuna karena menggoda kamu!" sungut Jihan berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman sang suami.Mendengarkan ucapan Jihan, Abian merasa semakin murka, "Diam kamu! Tengah malam teriak-teriak, kamu kira ini hutan? Bikin malu saja!" Abian mendengkus dan kembali menarik Jihan. Setelah benar-benar keluar dari apartemen milik kakak Abian, nampak Yuna membuka pintu sedikit dan mengintip Jihan yang diseret paksa oleh Abian. Bibir wanita itu mengulas senyum sinis. Tangan menjelajah isi ponsel dan mulai mengirim beberapa foto serta video adegan panas ke nomor Jihan."Sedikit hadiah untukmu, Jihan. Semoga harimu menyenangkan," gumam Yuna dengan tersenyum menang kala menyaksikan Jihan dan Abian yang sudah masuk ke dalam lift.Sementara di dalam lift yang sepi itu, hanya dihuni oleh suara tangis dari Jihan. Abian menghela napas dan menyenderkan tubuh pada dinding lift, netra hitamnya menatap sang istri dengan sorot benci. Jihan hanya wanita miskin yang bisa lulus kuliah karena bantuan bude-nya, sedangkan karirnya tertunda sebab menerima ajakan berkomitmen pernikahan dengan Abian. Pria yang nampak baik di luar, tapi ternyata seorang bedebah. Parahnya lagi menyelingkuhi Jihan dengan kakaknya sendiri, Yuna."Berisik sekali sih!" sungut Abian kesal dan menutup mulut Jihan dengan tangan.Segera Jihan tepis tangan suaminya ini. "Tinggalkan mba Yuna sekarang juga. Sana kembali dan putuskan hubungan terlarang kalian berdua."Jihan mendorong tubuh suaminya, tapi Abian justru membalasnya hingga Jihan tersungkur. "Tutup mulutmu! Siapa kamu seenaknya memintaku untuk meninggalkan Yuna?""Aku ini istrimu, Mas! Istrimu yang melahirkan anak bersamamu!" Jihan tunjuk diri sendiri, supaya suaminya ini sadar dan bisa melihat siapa dirinya.Abian tersenyum sinis serta menatap remeh ke arah Jihan. "Istri? Heh, kamu gak ingat alasan aku menikah denganmu? Seandainya ibuku tidak berhutang budi kepada keluargamu yang miskin itu, aku tidak akan pernah menikahimu, Jihan!"Begitu mendengar perkataan Abian, hati Jihan terasa hancur berkeping-keping. Selama ini mulut Abian begitu manis dan kerap menyanjungnya wanita paling cantik. Tapi, setelah dia mendapatkan dua garis biru yang Jihan di tahun pertama pernikahan, sikap Abian justru berubah. Awalnya, Jihan tak memungkiri perbuatan sang suami. Namun, wanita itu sudah tak tahan lagi terhadap kepergian sang suami selama berhari-hari setelah anaknya meninggal dunia.Sekiranya dua menit di dalam lift, begitu tiba di basement apartemen, Abian langsung berjalan mendekati mobil yang terparkir di sana. Tak peduli dengan Jihan yang baru saja mendekat, pria itu justru mulai menghidupkan mesin, memerintahkan Jihan yang masih menangis untuk bergegas.Usai menempuh perjalanan 15 menit lamanya. Mobil berhenti tepat di pekarangan sebuah rumah minimalis, rumah yang dibangun atas hasil kerja keras Abian selama menjabat sebagai manajer di perusahaan besar. Tapi, di rumah itu, Jihan sama sekali tak merasakan kebahagiaan. Mungkin pernah, sewaktu putri kecilnya masih hidup, Winda namanya.Sayangnya warna dalam hidup Jihan lenyap sudah karena sosok suami yang mulai memasuki rumah. Nafkah yang Jihan terima hanyalah senilai 300 ribu, itu pun untuk dua bulan. Jangankan anak sakit, ketika popok habis saja, Abian marah dan justru menyuruhnya mengganti pakai kain bekas saja, sebab jauh lebih hemat katanya.Begitu melihat kondisi rumah yang berantakan, Abian langsung mendengkus dan berbalik ke arahnya. "Seharian kau melakukan apa saja? Rumah berantakan seperti ini, kenapa tidak dibersihkan?"Jihan menatap suaminya dengan pandangan sedih. "Hari ini tujuh harian Winda, kau bukannya datang dan menyambut orang tahlil, malah tidur dengan kakakku sendiri.""Berhenti. Kamu sudah benar-benar keterlaluan," titah Abian. Wajahnya memerah, entah karena malu atau emosi. Jika memang sang suami merasa malu karena tidak hadir ke tujuh harian sepeninggalan anaknya, dia seharusnya lebih malu lagi karena perselingkuhannya.Tepat ketika Jihan ingin mengonfrontasi Abian, ponsel Jihan yang mulai tersambung dengan wifi rumah, terus berdenting. Jihan pun mengecek notifikasi ponselnya itu untuk menemukan nama yang tak asing baginya, Yuna."Apa ini, Mas?!""Apa ini, Mas?" Tangan Jihan bergetar ketika melihat beberapa tautan yang dikirim oleh Yuna, kakaknya. Video itu berisi adegan-adegan yang mendetail pertempuran panas antara Yuna dengan suaminya. Bahkan, pakaian yang berserakan di sekitar ranjang pun menunjukkan bahwa video panas itu diambil malam itu. Abian yang menyaksikan manik sang istri yang membulat sempurna, serta desahan-desahan yang keluar dari mulut kakak iparnya sendiri akhirnya merampas ponsel milik Jihan. Dengan santai, Abian justru menghapus satu persatu pesan dari Yuna."Hilang kan?" tanya Abian."Kamu keterlaluan, Mas. Video itu memang bisa dihapus dari ponselku, tapi bukan berarti fakta bahwa kamu tidur bersama kakakku dan bahkan membuat video itu bisa hilang dari pikiranku!"Abian menyenderkan punggung pada sofa dan dengan entengnya bicara, "Kan tinggal dilupakan saja, apa susahnya? Lagi pula hanya tidur bersama saja, sama seperti yang sering kita lakukan. Bukan hal spesial kan?""Kamu benar-benar sudah gila, Mas Ab
"Cepat pakai bajumu, selesaikan urusan kita sekarang juga ke pengadilan," titah Abian tanpa melepaskan ikatan di tangan Jihan sama sekali dan mulai keluar meninggalkannya.Tak butuh waktu lama. Jihan menggenggam surat perceraiannya dengan Abian di depan pengadilan agama, tanpa debat juga banyak pertimbangan. Masih teringat jelas suara Abian memberi Jihan talak tiga sekaligus. Kata yang sangat haram itu, justru Jihan dapatkan dari suaminya. Sekarang Jihan berada di mobil bersama Abian, pasalnya Abian janji akan mengembalikan Jihan ke Bogor, rumah orang tuanya.Jihan sedikit tertegun oleh tangan Abian yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Segera Jihan menarik tangannya. Hal itu membuat Abian tersenyum sinis. Jihan menggeser duduknya sedikit menjauh dari pria ini. Meski pagi tadi masih jadi suami, tapi siang ini sudah bukan lagi. Jihan sudah tidak halal untuk pria ini."Bagaimana kalau kau angkat rahimmu?" tanya Abian tiba-tiba membuat Jihan melirik terkejut."Angkat rahim, tega ya kamu Mas
"Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren masih dengan tatapan serius ke arah Jihan yang sibuk bercengkrama bersama Bella.Bude Nisa yang ikut terkejut melirik ke arah Darren. "Namanya Jihan, dia bukan pengasuh tapi anak tiri dari kakakku, Pak."Netra Darren menatap Bude Nisa tajam. "Apa yang kau lakukan? Bukan pengasuh tapi membiarkannya mendekati Bella.""Tapi Pak Darren. Selama ini, tak ada pengasuh mana pun yang berhasil dekat dengan Bella, kan?"Darren membisu begitu mendengar pertanyaan dari pemilik Daycare ini. Bella juga tak pernah bicara karena trauma masa lalu, bahkan terhadap Darren pun tidak. Tapi ... di hadapan wanita bernama Jihan itu, sang anak begitu mudahnya bicara."Apakah Anda masih mencari orang untuk merawat Bella, Pak?" tanya Bude Nisa membuat Darren menyipitkan mata."Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"Bude Nisa tersenyum. "Aku rasa hanya Jihan orangnya, yang bisa membuat Bella perlahan terbuka dan mau bicara kembali. Tidakkah Pak Darren ingin mem
"Menjadi ibu pengganti Bella? Tapi Pak, aku ke sini bekerja untuk jadi pembantu," Jihan bersikukuh pada pendiriannya.Darren menyeringai. "Siapa yang mengatakannya? Kalau aku butuh pembantu.""Bude-ku, pemilik Daycare," sahut Jihan.Kepala Darren nampak mengangguk mengerti. Tapi mulut tak juga bicara kembali, hingga membuat Jihan merasa sangat membutuhkan keputusan. Mata Darren memperhatikan Jihan cukup serius."Sebutkan saja berapa nominal uang yang kau inginkan. Jangankan rupiah, dollar juga aku bersedia membayarmu," ujar Darren masih berusaha membujuk Jihan."Sepertinya Pak Darren salah paham--""Salah paham dari mana? Jelas-jelas kau setuju aku bawa untuk jadi ibu Bella," potong Darren.Jihan menarik napas cukup panjang. Sepertinya ia butuh tenaga lebih untuk berdebat dengan pria yang Jihan kira bakal jadi majikannya, rupanya justru ingin menjadikan dirinya sebagai istri. "Kata Bude--""Aku tidak peduli. Kau hanya harus tahu satu hal, aku tidak sembarangan membawa wanita ke rumah.
"Hanya dengan status istri dariku, harusnya cukup bagimu untuk pamer pada mereka," tutur Darren lagi.Meski Jihan berpikir tak akan sudi untuk bertemu lagi, jika sampai harus berpapasan, Jihan memilih memutar jalan. Tapi, sampai kapan ia harus menghindar? Sepuluh tahun? Hingga tutup usia? Rasa sakit di hati begitu membekas dengan baik. Sampai Jihan rasanya ingin menenggelamkan Yuna dan Abian dari dunia."Hanya ibu pengganti saja kan, Pak?" tanya Jihan memastikan.Tangan Jihan mengambil pena dari Darren, lantas mulai berjongkok hanya untuk menorehkan secuil tanda tangannya pada kertas ini. Tapi, tanggung jawabnya sangat luar biasa. Menjadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus, serta istri dari pengusaha kaya yang kerap muncul di berbagai media.Mata Jihan menatapi kontrak yang telah sah ditanda tangani oleh kedua pihak dengan ekspresi terkejut. Jihan telah lalai. Jihan lupa siapa sosok Darren Gerald di khalayak umum."Pak. Apakah aku harus tampil di berbagai acara sebagai istri bersa
"Pak Darren ... tolong pakai dulu bajunya," ujar Jihan mengingatkan sembari menggeliat, berusaha lepas tanpa membuka matanya.Darren menatap sinis. "Sejak tadi aku pakai baju, tidak polosan. Pikiranmu saja yang kotor."Tubuh Jihan sedikit terhuyung ketika pinggangnya dilepaskan kasar oleh Darren. Perlahan Jihan mulai melepaskan kedua tangannya, mata ini menatap Darren yang memakai kaos putih. Darren sendiri tampak memilih set piyama tidur, lantas mulai memakainya."Mau sampai kapan melihatku seperti itu?" sindir Darren berbalik dan menatapnya lagi."Seka air liurmu," titah Darren dengan nada datar.Jihan tertegun dan merasa sangat malu, sebab ketahuan melihat Darren dengan pandangan terpaku. Kemudian tangan benar-benar menyeka bibirnya, padahal Darren hanya menyindir saja. Hal itu membuat mata Darren menyipit melihat tingkah dari Jihan.Tapi, Darren tampak mengabaikannya dan mulai bicara, "meski aku membawamu dan memberimu status ibu untuk Bella. Bukan berarti kau bisa melewati batas.
"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontrakn
Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran