Share

Part. 2

“Kamu yakin, Tari?”

Wanita yang dipanggil Tari membentuk lengkungan pada bibirnya. Jemarinya ia gunakan untuk menyentuh lembut punggung tangan sang lawan bicara. Ada nada khawatir yang terdengar, ia bisa merasakan itu.

“Yakin. Aku enggak mau merepotkan keluarga kalian lebih lama lagi. Toh, itu pekerjaan halal.” Ucapannya penuh keyakinan. Matanya menyiratkan sedikit permohonan.

“Tapi janji satu hal sama aku, Tari. Kalau enggak betah, kamu langsung pulang ke sini. Ngurus anak itu susah, lho.”

Kala Mantari, hanya beberapa yang dekat dengannya memanggil dengan nama Tari, terkekeh kecil. “Iya, aku tahu.” Tekadnya bulat.

Sejak lulus, Risa Andita—sahabat Kala, merantau ke Jakarta. Berbekal ijazah universitas kenamaan di Surabaya, membuat seorang Risa kini bisa dikatakan sukses dalam karir. Jabatannya sebagai Manager HRD di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja, cukup mumpuni jika menjadi pembicaraan di kampung halaman mereka.

Agak terkejut Risa mendapati tekad Kala yang ingin merantau di Jakarta namun, sepertinya itu memang pilihan yang bagus. Siapa tahu, apa-apa yang sedang dihadapi sahabatnya itu, bisa teralih dan terlupakan. Besar harap Risa itu terjadi. Kepada Risa lah segala kisah wanita itu ia bagi. Risa tahu dengan cukup jelas segalanya.

Oleh karenanya, tanpa pikir panjang Risa menyetujui kedatangannya di Jakarta. Malah ia menyambutnya dengan sangat hangat. Kala, adalah sosok yang menjadi pengulur tangan di saat Risa butuh sekali bantuan. Mungkin Tuhan ingin agar kali ini, Risa-lah sebagai penopang yang nyata bagi Kala di Jakarta. Setelah beberapa tahun hanya menyokong lewat sambungan udara.

Akan tetapi, bukan jenis pekerjaan seperti ini yang Risa inginkan untuk Kala kerjakan. Bukan. Entah dari mana ide itu terlintas di benak sahabat yang kini memandangnya dengan lekat. Risa balas tatap itu dengan banyak bimbang, karena ini bukan keputusan yang mudah. Di sisi lain, Kala menatap sabahatnya dengan penuh harap. Kala sama sekali tidak ingin menjadi beban Risa lebih lama. Cukup baginya, tiga minggu dirinya ada di sini.

“Iya, yang Risa katakan itu benar, Tari. Bukan apa, kamu enggak ada keluarga di Jakarta.” Irsyad, suami Risa ikut andil dalam obrolan yang dinilai cukup serius itu. Hidup di Jakarta itu tak semudah kata-kata. Dirinya tak keberatan dengan adanya Kala di rumahnya. Irsyad sudah dijelaskan dengan detail bagaimana hubungan istrinya dengan wanita berambut sebahu itu. “Dan menjaga anak itu sulit,” imbuh Irsyad.

“Aku benar-benar hargai bantuan kalian. Seenggaknya, sampai aku dapat kerja yang sesuai dengan bidangku, pekerjaan ini layak kucoba.”

Kala sudah tak ingin mundur lagi. Dirinya masih mengingat segala petuah dari kedua orang tuanya saat Kala dijemput mobil travel ke Jakarta.

“Bapak sebenarnya berat, Nak, melepas kamu. Tapi sepertinya kamu memang butuh ruang. Bapak mengerti. Bapak cuma berpesan, jangan terlalu lama merepotkan Nak Risa. Asal pekerjaan itu halal, Bapak ridho. Cari pekerjaan yang menurut kamu bisa dikerjakan dan dipertanggungjawabkan.” Pria paruh baya itu menggenggam tangan sang putri demikian erat. Beda halnya dengan sang istri.

Tatapannya masih menyorotkan ketidaksukaan. “Lebih baik kamu di toko, Nduk... Nduk.”

Tari hanya tersenyum kecil. “Tari butuh restu Ibu juga.”

“Tiga bulan enggak dapat kerja juga, pulang.”

Lagi-lagi hanya seulas senyum yang bisa Tari beri. Lalu netranya dialihkan pada satu sosok yang lain. “Mbok Tin, tolong jaga Ibu dan Bapak, ya.”

Nggih, Non. Nggih.” Mata wanita itu sudah berkaca-kaca. “Non di sana hati-hati, ya.”

“Tari pamit, ya. Bu, Pak, Mbok Tin.”

Kala mendengar Risa menghela napas panjang, membuat gelembung ingatan itu pecah seketika. Berganti dengan wajah Risa yang nampak nelangsa dengan apa yang menjadi keinginan sahabatnya itu. “Aku enggak tega, Bi, masa Tari bekerja jadi mitraku.” Kata-kata itu disambut usapan sayang dari Irsyad. Ia cukup memahami bagaimana dilema seorang Risa.

“Sa, pekerjaan apa pun selama itu halal, layak dicoba. Toh, aku enggak diam saja. Aku akan terus apply pekerjaan, kok.”

“Kalau ada info pekerjaan pasti saya segera kabari, Tari.” Irsyad berkata dengan mantap.

“Nah, Irsyad sudah berbaik hati juga mau bantu.” Kala mencoba menegarkan hati Risa. Tidak. Tidak. Dirinya sendiri pun perlu suntikan energi dan juga keyakinan penuh, kalau ini hanya sebatas batu loncatan. Ia akan berusaha maksimal mencari pekerjaan yang layak. Setidaknya untuk saat ini, ia bekerja. Tidak menjadi beban sahabatnya untuk waktu yang lama. Ia tak ingin hal itu terjadi walau Risa tak pernah mengeluh. Tapi Kala cukup sadar diri.

“Oke kalau kamu sudah yakin.” Risa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam hati ia berharap, semoga Kala segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengannya. Ia merasa sayang dengan ijazah dan gelar sarjana yang dimiliki Kala. Psikologi.

Seandainya saja dulu…

***

Kala mengisi semua berkas yang dibutuhkan Risa dengan penuh pertimbangan. Ada beberapa pertanyaan yang membuatnya berpikir, apa ia harus menulis dengan jujur?

Perusahaan tempat Risa mencari nafkah memang bergerak di bidang penyalur tenaga kerja. Mulai dari asisten rumah tangga, juru masak, satpam perumahan, atau baby sitter. Dirinya memahami ini bukan keputusan yang mudah. Ada ego yang mesti Kala singkirkan saat menyatakan keinginannya pada Risa. Bahkan Risa sangat menyayangkan hal ini. Sepanjang jalan menuju kantornya, Risa masih mencoba memengaruhi tekad Kala.

Akan tetapi Kala sudah bulat inginnya. Setidaknya, ini bukan pekerjaan yang dilarang dan buruk di matanya.

“Ada satu klien. Bolak balik minta baby sitter ke kami, Tari.”

Konsentrasi Kala terhenti sejenak saat Risa berjalan ke arahnya. Membawa satu berkas yang entah apa isinya. Berkas itu kemudian disodorkan pada Kala untuk dibaca. Kening wanita itu berkerut.

“Ini referensi mengenai keluarga yang meminta jasa dari kami,” imbuh Risa. Saat Kala mulai meneliti satu per satu lembar yang tadi disodorkan, Risa pun melanjutkan perkataannya. “Klien ini super ribet. Ada saja kendalanya. Terutama anaknya. Jumat kemarin dia telepon agak marah-marah gitu. Katanya pekerja sebelumnya bikin anaknya nangis enggak bisa dibujuk. Entah apa sebabnya, klien itu enggak mau cerita.”

Kala mendengar penjelasan Risa dengan saksama walau matanya tertuju pada biografi singkat keluarga klien yang dimaksud. Andaru Aria Susetyo. Nama klien yang dimaksud Risa.

“Kamu bikin aku cepat enggak betah, ya?” Kala langsung mengerti maksud sahabatnya itu. Dalam resume yang dibaca, klien ini sudah lima kali minta pengganti untuk baby sitter. Mungkin benar adanya yang Risa bilang, klien yang satu ini sedikit menjengkelkan.

“Bukan gitu. Aku sudah cari klien lain. Tadinya ada tiga yang masuk di hari Jumat, tapi hari sabtu langsung full book. Tersisa ini aja.” Risa merasa tidak enak dengan apa yang dituduhkan Kala padanya, walau itu memang seratus persen benar.

“Layak dicoba.” Kala tersenyum sembari mengembalikan berkas yang tadi ia baca. “Aku perlu siapkan apalagi?”

Sepertinya jebakan itu belum bisa membuat goyah pemikiran Kala Mantari.

“Enggak ada, sih. Semuanya sudah oke. Tapi kamu yakin?”

Pertanyaan yang sudah bosan didengar Kala keluar lagi dari bibir mungil sahabatnya itu. “Yakin, Sa. Ini layak dicoba. Kalau enggak betah, aku tinggal pamitan. Iya, kan?”

Risa mengangguk pelan. “Oke kalau begitu. Nanti aku minta Dede hubungi kliennya dulu. Buat janji bisa bertemu kapan sama kamu.”

Kala mengacungkan jempol tanda setuju. Setidaknya, satu beban yang menggelayuti pikirannya mulai terangkat.

***

“Ma, Aria berangkat.”

Wanita paruh baya itu tersenyum kecil ketika punggung tangannya dicium khidmat oleh sang putra. “Kamu sudah buat janji untuk interview pengasuh Sheryl?”

“Sudah. Sabtu ini. Mama dan Sheryl ikut, biar bisa menilai juga.”

Wanita yang dipanggil Mama itu hanya mencibir. “Kamu yang banyak mau. Mama enggak.”

Merasa disindir, pria itu hanya terkekeh.

Princess Papa.” Kini, dirinya berhadapan dengan seorang gadis kecil yang sudah rapi dengan seragam sekolah. “Jangan cemberut gitu, nanti manisnya hilang. Sabtu ini, Sheryl bertemu Mbak baru, ya.”

Gadis itu hanya mengangguk kecil.

“Papa berangkat dulu, Sheryl juga segera berangkat, ya.”

Jawabnya hanya direspon dengan anggukan. “Sheryl boleh minta sesuatu enggak, Pa?’

Kening pria itu berkerut. “Apa?”

“Aku mau Mbak yang pintar. Jadi kalau ditanya PR, selalu punya jawaban. Bukan enggak tahu terus. Aku sebel.”

Baik sang pria atau pun wanita paruh baya tadi, tertawa mendengar pinta sang gadis kecil itu.

“Siap, Princess.”

“Kalau Mbak barunya pintar, Sheryl enggak nakal lagi, kan?” tanya wanita paruh baya itu memastikan.

“Enggak dong, Eyang. Sheryl akan jadi anak baik, deh.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status