Kala mengembuskan napas panjang. Ia mengeratkan pegangan pada tali tote bag miliknya. Dirinya keluar mobil perlahan, memantapkan diri kalau ini adalah inginnya terakhir kali. Setelah mengucapkan banyak terima kasih karena pria paruh baya itu mau meluangkan waktu untuknya.
"Bapak khawatir sama Mbak Kala. Saya juga enggak repot, kok," katanya yang semakin membuat Kala tak enak hati. Seharusnya minggu adalah waktu liburnya. Pak Ahmad diminta mengantar dan menunggu Kala, sesuai dengan perintah sang majikan. Tadinya ia menolak, namun Daru selalu punya cara agar Kala bungkam.
Daru bilang, "Jakarta luas. Nanti Mbak Kala nyasar. Lebih baik diantar dan ditunggu. Enggak lama, kan, bertemu Pak Janu?"
Belum lagi ia harus membujuk Sheryl agar tidak ikut. Bukan hal yang mudah mengingat hampir setiap hari Kala bersamanya. Persis seperti perangko, lengket tak bisa dipisahkan. Ia berjanji setelah selesai dengan urusannya, ia akan menemani Sheryl berenang. Juga
“Saya lapar, Mbak.”Kala sudah tak tahu rona wajahnya seperti apa. Kalau bisa bertukar pasti sudah ia lakukan sejak memastikan majikannya yang kini mengambil alih kemudi. Sungguh, Kala tidak mengerti kapan Pak Ahmad berganti dengan Daru?“Mbak enggak lapar?” tanya Daru sesekali menoleh ke arah Kala yang kini menunduk. Berusaha sekali wanita itu menutup wajahnya dengan rambut pun telapak tangannya.Saat tadi sedan yang dibawa Ahmad meluncur keluar dari garasi, hati Daru sudah tak keruan berdetak. Sambil menghitung segala kemungkinan terburuk juga entah akan ditanggapi seperti apa nantinya, ia sudah tak peduli. Selang dua puluh menit dalam selimut ragu, Daru menyusul.“Saya mau pulang saja,” tolak Kala. Ia masih belum berani mengangkat kepalanya sekadar memastikan Daru tidak menatapnya dengan pandangan iba.“Padahal saya sedang berusaha menghibur Mbak dengan makanan.” Daru terkekeh pelan. Matanya masih
“Ibu, aku lapar," keluh Sheryl yang langsung menubruk Kala ketika bertemu sosok yang berdiri di ruang tunggu sekolah. Hidupnya kembali dengan ritme yang sama; bangun pagi, membuatkan Sheryl sarapan, mengantarnya sekolah hingga gadis kecil itu pulang. Seperti saat ini.Kala membeku sesaat. Dirinya masih belum terbiasa dengan semat yang diberi sang anak padanya. Ini memang rahasia. Rahasia yang benar-benar juara membuatmoodKala berada dalam tingkat seratus persen."Memang Non—" Kala langsung membekap bibirnya saat bola mata kecil itu mendelik marah ke arahnya. "Memang Sheryl mau tunggu Ibu masak? Kan, laparnya sekarang." Diusapnya lembut puncak kepala sang anak."Sekarang nyamil donat aja, deh."Tangannya sengaja ia ayunkan dengan riang di udara. Tangan itu saling terkait dengan sang pengasuh. Mereka berjalan keluar gerbang sekolah menuju mobil jemputannya.Kala tertawa. "Pipinya nanti makin bulat mirip donat."
"Pak, ini sudah kali ketiga lho saya minta direvisi."Daru bicara dengan nada enteng namun tidak lah se-simpleitu. Kepalanya ikut pusing membaca laporan yang Janu beri dua jam lalu. Bahkan Denny mendapat ekstra tugas untuk menganalisa pada bagian individual strategi yang menurut Daru tidak pas. Sama sekali.Di hadapannya, pria jelang empat puluh tahun itu mendesah frustrasi. Ia memijat pelipisnya pelan."Maaf.""Saya bukan maksud menggurui atau apa. Saya selaku yang muda meminta maaf terlebih dahulu, tapi kondisinya—" Jeda sejenak untuk Daru mengambil napasnya kembali, "Kita ini diburu waktu.Wasting timedalam dunia marketing itu enggak berlaku. Profit perusahaan ada di tangan kita, Pak. Pak Janu tahu pasti hal tersebut. Saya harap, singkirkan dulu apa yang memenuhi kepala Bapak."Daru berdiri dari kursi yang ada di depan meja pria itu. "Saya tunggu setengah jam lagi. Bisa, kan, Pak?"Janu memej
Pada akhirnya Kala terbiasa duduk di depan deretan buku di ruang kerja Daru. Mengamati tiap jejer yang ada di sana. Mengambil mana yang ia suka dan larut di dalamnya. Sembari membunuh waktu karena di ujung sana, sang majikan masih tampak bekerja penuh konsentrasi.Kali ini pilihannya jatuh pada buku autobiografi mantan presiden yang cukup lama berkuasa.Sementara di balik meja besarnya, Daru tak kuasa untuk tidak mencuri pandang ke arah Kala. Dari mimik wajahnya, jelas jika wanita itu sudah menyelam pada buku tebal pilihannya. Sesekali alisnya berkerut, sudut bibirnya kadang mengerucut—Daru sedikit yakin kalau bibir itu terpoles lipstik dengan sapuan tipis berwarna merah muda. Memberi warna pada wajahnya yang memang cantik.Tunggu. Tunggu sebentar.Ia bukan sedang memuji seorang Kala Mantari, kan? Sudahlah, ia menyerah. Tak bisa lagi dipungkiri kalau wanita itu cantik. Cantik dengan caranya.Daru menghela napas pelan, memejamka
Daru mengecek pekerjaan sebagai cara membunuh waktu menunggu. Ia sengaja tiba di tempat yang telah disepakati terlebih dahulu. Secangkir kopilatte less sugartersaji di depannya berikut satu potongsoft cake. Ia mencicipi sedikit, tapi tak lagi dilanjutkan. Rasanya terlalu manis. Berbeda dengan yang ia sering makan di rumah. Itu pun harus dengan rayuaan ekstra jika mau memakannya. Karena putri kesayangannya sudah memonopoli piring atau toples berisi camilan yang pengasuhnya buat.Tag Heuer di tangan kirinya sudah menunjuk pukul dua siang. Saat ia mengedarkan pandangan untuk menikmati interior kafe, sosok yang ia tunggu berjalan ke arahnya. Senyum pada bibir yang dipulas lipstik merah itu masih sama, menggoda tapi penuh dengan misteri.Aura yang terpancar dari si wanita membuat beberapa pengunjung lain menoleh dengan atau tanpa sengaja padanya.Wanita itu tak peduli pada apa yang terjadi dengan sekitar. Tujuannya jelas, menemui pri
"Ada perlu apa?" tanya Kala dingin.Ia duduk di seberang Janu yang tampak lelah. Raut wajahnya tak seperti kali terakhir mereka bertemu. Ia peduli? Sama sekali tidak.Justru dalam pikirnya saat ini, ia seperti sudah tak memiliki muka jika harus bertemu majikannya nanti. Bagaimana bisa orang ini demikian nekat bertemu Kala di sini. Di rumah Daru. Entah ia merasa beruntung atau justru seperti ketiban sial saat Daru menghampirinya. Setelah Kala yakin, majikannya itu terlebih dahulu menemui Janu."Selesaikan masalah Mbak Kala. Kami menyingkir. Mbak Kala jangan sungkan, anggap saja ini rumah Mbak Kala sendiri. Saya pastikan, ini terakhir kali kalian bertemu."Kala hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan majikannya. "Saya minta maaf sebelumnya, Pak."Hal menyebalkan yang Daru lakukan atas tekanan yang Kala terima, saat sang majikan justru tertawa ringan."Permintaan maafnya saya terima tapi dengan syarat, ya, Mbak." Lalu pria itu meninggalk
Dari salah satu sudut kafe, mata Kala tak lepas untuk memperhatikan bagaimana interaksi dua orang yang tampak canggung itu. Entah apa yang mereka bicaranya, Kala memilih memberi ruang juga waktu.Kala masih ingat saat wanita cantik itu menghampiri dirinya di sekolah siang tadi. Ia terkejut luar biasa begitu tahu siapa wanita itu. Keana Grizelle. Ibu kandung Sheryl."Maaf, kalau kehadiran saya membuat Mbak Kala terkejut."Keana tersenyum kikuk karena tak pernah menduga akan mengambil langkah ini. Ia nekad menemui ibu sambung putrinya. Ia tak tahu baik Daru atau Kala, sudah menceritakan mengenai dirinya atau belum pada Sheryl. Ia merasa, ia harus segera bertemu. Dirinya takut melewatkan kesempatan itu lagi. Sudah cukup ia menyesali apa yang telah diperbuat. Kali ini, segenap keyakinana membawanya untuk sekadar mendekat walau sesaat."Apa saya pernah mengenal Mbak sebelumnya?" tanya Kala bingung karena tiba-tiba dihampiri wanita secantik ini. Ada sesua
Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Janu. Rasa lega, lebih tenang, juga merasa lebih damai dirasa Kala. Ia tak peduli jika nantinya timbul pertanyaan mengenai rumah itu, terutama dari sang ibu. Baginya, ini sudah benar. Jalan yang ia ambil adalah keinginannya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik. Tak ingin menyimpan sagala rasa yang masih bercokol dan bersisian dengan sosok mantan suaminya.Sudah cukup.Kala juga merasa ada yang berubah dari kesehariannya bersama Sheryl. Gadis kecil itu jarang sekali meminta ke mall kecuali ada sesuatu yang ia butuhkan. Sheryl lebih memilih segera pulang dan merengek dibuatkan satu porsi makan siang buatan Kala. Wanita berambut sebahu itu tersenyum penuh semangat tiap kali Sheryl dengan antusias berkata ingin makan ini dan itu di rumah.Seperti hari ini."Aku mau risol mayonaise, Bu." Sheryl menatap Kala penuh harap.Kala ingat dua hari lalu ia buatkan sarapan untuk nona mudanya dengan me