Daru mengecek pekerjaan sebagai cara membunuh waktu menunggu. Ia sengaja tiba di tempat yang telah disepakati terlebih dahulu. Secangkir kopi latte less sugar tersaji di depannya berikut satu potong soft cake. Ia mencicipi sedikit, tapi tak lagi dilanjutkan. Rasanya terlalu manis. Berbeda dengan yang ia sering makan di rumah. Itu pun harus dengan rayuaan ekstra jika mau memakannya. Karena putri kesayangannya sudah memonopoli piring atau toples berisi camilan yang pengasuhnya buat.
Tag Heuer di tangan kirinya sudah menunjuk pukul dua siang. Saat ia mengedarkan pandangan untuk menikmati interior kafe, sosok yang ia tunggu berjalan ke arahnya. Senyum pada bibir yang dipulas lipstik merah itu masih sama, menggoda tapi penuh dengan misteri.
Aura yang terpancar dari si wanita membuat beberapa pengunjung lain menoleh dengan atau tanpa sengaja padanya. Wanita itu tak peduli pada apa yang terjadi dengan sekitar. Tujuannya jelas, menemui pri
"Ada perlu apa?" tanya Kala dingin.Ia duduk di seberang Janu yang tampak lelah. Raut wajahnya tak seperti kali terakhir mereka bertemu. Ia peduli? Sama sekali tidak.Justru dalam pikirnya saat ini, ia seperti sudah tak memiliki muka jika harus bertemu majikannya nanti. Bagaimana bisa orang ini demikian nekat bertemu Kala di sini. Di rumah Daru. Entah ia merasa beruntung atau justru seperti ketiban sial saat Daru menghampirinya. Setelah Kala yakin, majikannya itu terlebih dahulu menemui Janu."Selesaikan masalah Mbak Kala. Kami menyingkir. Mbak Kala jangan sungkan, anggap saja ini rumah Mbak Kala sendiri. Saya pastikan, ini terakhir kali kalian bertemu."Kala hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan majikannya. "Saya minta maaf sebelumnya, Pak."Hal menyebalkan yang Daru lakukan atas tekanan yang Kala terima, saat sang majikan justru tertawa ringan."Permintaan maafnya saya terima tapi dengan syarat, ya, Mbak." Lalu pria itu meninggalk
Dari salah satu sudut kafe, mata Kala tak lepas untuk memperhatikan bagaimana interaksi dua orang yang tampak canggung itu. Entah apa yang mereka bicaranya, Kala memilih memberi ruang juga waktu.Kala masih ingat saat wanita cantik itu menghampiri dirinya di sekolah siang tadi. Ia terkejut luar biasa begitu tahu siapa wanita itu. Keana Grizelle. Ibu kandung Sheryl."Maaf, kalau kehadiran saya membuat Mbak Kala terkejut."Keana tersenyum kikuk karena tak pernah menduga akan mengambil langkah ini. Ia nekad menemui ibu sambung putrinya. Ia tak tahu baik Daru atau Kala, sudah menceritakan mengenai dirinya atau belum pada Sheryl. Ia merasa, ia harus segera bertemu. Dirinya takut melewatkan kesempatan itu lagi. Sudah cukup ia menyesali apa yang telah diperbuat. Kali ini, segenap keyakinana membawanya untuk sekadar mendekat walau sesaat."Apa saya pernah mengenal Mbak sebelumnya?" tanya Kala bingung karena tiba-tiba dihampiri wanita secantik ini. Ada sesua
Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Janu. Rasa lega, lebih tenang, juga merasa lebih damai dirasa Kala. Ia tak peduli jika nantinya timbul pertanyaan mengenai rumah itu, terutama dari sang ibu. Baginya, ini sudah benar. Jalan yang ia ambil adalah keinginannya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik. Tak ingin menyimpan sagala rasa yang masih bercokol dan bersisian dengan sosok mantan suaminya.Sudah cukup.Kala juga merasa ada yang berubah dari kesehariannya bersama Sheryl. Gadis kecil itu jarang sekali meminta ke mall kecuali ada sesuatu yang ia butuhkan. Sheryl lebih memilih segera pulang dan merengek dibuatkan satu porsi makan siang buatan Kala. Wanita berambut sebahu itu tersenyum penuh semangat tiap kali Sheryl dengan antusias berkata ingin makan ini dan itu di rumah.Seperti hari ini."Aku mau risol mayonaise, Bu." Sheryl menatap Kala penuh harap.Kala ingat dua hari lalu ia buatkan sarapan untuk nona mudanya dengan me
Denny menaruh berkas yang menjadi bagiannya untuk direvisi dengan cukup keras. Membuat lamun Daru buyar saat itu juga."Bos, yang benar aja dong kalau mau bikin orang emosi!"Daru mengerutkan kening. "Apaan, ih.""Ya lo minta gue ngerevisi data yang lo kasih 2017. Sekarang 2019. Gue disuruh nge-searchmargin marketing biar oke. Lo gila aja."Denny menghela napas frustrasi, duduk dengan sedikit keras di kursi beroda yang ada di depan meja Daru.Daru melongo. "Serius?"Ia langsung menyambar berkas yang tadi Denny beri. Matanya mondar mandir pada sederet data yang ada di layar laptopnya. Sesekali ia mengecek laporan tersebut."Sorry," katanya sembari meringis. "Gue enggak sadar.""Lo kenapa, sih? Tiga hari lho, Aria, tiga hari. Fokus lo ambyar ke mana?" Denny mendekatkan tubuhnya ke meja. Matanya menyipit penuh curiga."Gue udahsent emaildata yang baru." Daru mengalihkan bic
Daru pernah jatuh cinta dan patah hati namun, kali ini rasanya berbeda. Konsentrasinya ambruk di titik minus. Sindiran Denny memukulnya telak. Pekerjaan dan urusan pribadi adalah dua hal yang berbeda tapi, Daru tanpa sadar mengaduknya.Pria yang kini mengenakan kemeja abu-abu perlu menyusun rencana baru. Tak bisa ia seperti ini terlalu lama. Ketimbang memikirkan perasaannya pada Kala, yang sulit sekali ditampik hingga Daru kehabisan daya. Keputusannya bulat. Dikerahkannya segenap kemampuan untuk kembali tenggelam pada pekerjaannya.Sepanjang waktu tadi, dirinya tenggelam dalam setumpuk pekerjaan. Sengaja. Bahkan makan siang saja sedikit terlambat karena terlalu asyik. Ia mulai menyusun strategi promosi baru kuartal berikutnya. Padahal promosi kuartal ini baru saja diluncurkan. Menggunakan nama besar Keana Grizelle memang sukses mencuri perhatian khalayak ramai.Daru tahu Keana memang terkenal, tapi efeknya tak ia sangka kalau demikian besar. Mungkin karena dirin
"Wa'alaikum salam, Bu," jawab Kala dengan segera setelah mengangkat ponsel yang berdering, menampilkan IDcalleribunya di layar."Nduk, kamu sehat?"Kala tersenyum kecil. Kegiatannya duduk di bangku kayu tempat Daru menunjukkan betapa indah hamparan langit jika disaksikan dari tempat itu, akhirnya menjadi favoritnya juga. Sejak sang majikan pamit dinas ke Pontianak, Kala secara kontinyu memilih ruang ini sebagai pelepas penat. Kadang, ia masuk ke ruang kerja Daru. Itu pun setelah izin dengan Anna tentunya. Tanpa mengurangi rasa hormat akan siapa pemilik rumah sebenarnya. Kala masih sadar diri, ia hanya lah sebatas pengasuh."Alhamdulillah. Ibu dan Bapak?""Kami baik."Senyum Kala belum ingin luntur. "Alhamdulillah, Tari senang dengarnya.""Kamu kapan pulang, Nduk?"Segunung rindu memang sudah merayap ke sanubari jikalau mendengar kata-kata itu bergaung. Namun sesaat ia mengingat semua pan
Kala menghela napas panjang. Dirinya berdiri tepat di tengah dua orang yang luar biasa menjengkelkan sepanjang siang menjelang sore ini."Sheryl belum selesai bikin PR. Papa kenapa, sih, sakit reseh banget!”Sang anak langsung mendekap kaki wanita yang memijat pelipisnya. Kala pening menghadapi mereka berdua. Mereka semua berada di ruang kerja Daru yang disulap sedemikian rupa agar bisa bagi si pria yang katanya sakit, katanya lho, tapi masih bekerja.Luar biasa sekali, kan? Kala sampai menggeleng heran menghadapinya.Sheryl tadinya duduk lesehan di atas karpet berbulu tebal berikut dengan meja kecil yang ia pergunakan untuk menyelesaikan tugasnya. Kini sang anak cemberut lantaran ayahnya selalu mengganggu. Menggelayuti kaki pengasuhnya agar tidak beranjak. Sekadar mengambilkan minum bagi mereka berdua."Papa haus,Princess. Mbak Kala mau ambil minum, kan, ya? Sebentar. Nanti Papa enggak bisa nelan obat.""Papa!"D
Tak ada yang bisa Kala lakukan selain duduk di kursi penumpang Mazda merah milik Daru. Memang, ini bukan pertama kalinya Kala duduk di sini. Namun rasa canggung itu masih ada. Bukan perkara mudah mengingat hati dan pikirannya sudha tak lagi di tempat"Kok, saya merasa Mbak enggak akan kembali, ya."Kala akhirnya tertawa pelan. "Kalau enggak jalan sekarang, saya bisa ketinggalan pesawat."Daru menghela napas pelan, lalu menyalakan mobil sembari mengerucutkan bibir. Persis seperti Sheryl yang merajuk.Di rumah, Kala harus membujuk Sheryl yang tiba-tiba histeris karena tahu ia akan pulang ke Surabaya. Sampai Kala kebingungan sendiri merayu juga meredakan tangisnya."Sheryl, dengar Ibu." Kala akhirnya membuat ketegasan. Menatap gadis kecil itu dengan tatapan cukup tajam. Tadinya Sheryl sama sekali tidak mau menatap mata Kala, namun karena dipaksa, akhirnya dengan mata berkaca-kaca Sheryl beradu pandang dengan pengasuhnya.Sebenarnya Kala sedih bukan main harus pulang sementara namun apa d