Daru pernah jatuh cinta dan patah hati namun, kali ini rasanya berbeda. Konsentrasinya ambruk di titik minus. Sindiran Denny memukulnya telak. Pekerjaan dan urusan pribadi adalah dua hal yang berbeda tapi, Daru tanpa sadar mengaduknya.
Pria yang kini mengenakan kemeja abu-abu perlu menyusun rencana baru. Tak bisa ia seperti ini terlalu lama. Ketimbang memikirkan perasaannya pada Kala, yang sulit sekali ditampik hingga Daru kehabisan daya. Keputusannya bulat. Dikerahkannya segenap kemampuan untuk kembali tenggelam pada pekerjaannya.
Sepanjang waktu tadi, dirinya tenggelam dalam setumpuk pekerjaan. Sengaja. Bahkan makan siang saja sedikit terlambat karena terlalu asyik. Ia mulai menyusun strategi promosi baru kuartal berikutnya. Padahal promosi kuartal ini baru saja diluncurkan. Menggunakan nama besar Keana Grizelle memang sukses mencuri perhatian khalayak ramai.
Daru tahu Keana memang terkenal, tapi efeknya tak ia sangka kalau demikian besar. Mungkin karena dirin
"Wa'alaikum salam, Bu," jawab Kala dengan segera setelah mengangkat ponsel yang berdering, menampilkan IDcalleribunya di layar."Nduk, kamu sehat?"Kala tersenyum kecil. Kegiatannya duduk di bangku kayu tempat Daru menunjukkan betapa indah hamparan langit jika disaksikan dari tempat itu, akhirnya menjadi favoritnya juga. Sejak sang majikan pamit dinas ke Pontianak, Kala secara kontinyu memilih ruang ini sebagai pelepas penat. Kadang, ia masuk ke ruang kerja Daru. Itu pun setelah izin dengan Anna tentunya. Tanpa mengurangi rasa hormat akan siapa pemilik rumah sebenarnya. Kala masih sadar diri, ia hanya lah sebatas pengasuh."Alhamdulillah. Ibu dan Bapak?""Kami baik."Senyum Kala belum ingin luntur. "Alhamdulillah, Tari senang dengarnya.""Kamu kapan pulang, Nduk?"Segunung rindu memang sudah merayap ke sanubari jikalau mendengar kata-kata itu bergaung. Namun sesaat ia mengingat semua pan
Kala menghela napas panjang. Dirinya berdiri tepat di tengah dua orang yang luar biasa menjengkelkan sepanjang siang menjelang sore ini."Sheryl belum selesai bikin PR. Papa kenapa, sih, sakit reseh banget!”Sang anak langsung mendekap kaki wanita yang memijat pelipisnya. Kala pening menghadapi mereka berdua. Mereka semua berada di ruang kerja Daru yang disulap sedemikian rupa agar bisa bagi si pria yang katanya sakit, katanya lho, tapi masih bekerja.Luar biasa sekali, kan? Kala sampai menggeleng heran menghadapinya.Sheryl tadinya duduk lesehan di atas karpet berbulu tebal berikut dengan meja kecil yang ia pergunakan untuk menyelesaikan tugasnya. Kini sang anak cemberut lantaran ayahnya selalu mengganggu. Menggelayuti kaki pengasuhnya agar tidak beranjak. Sekadar mengambilkan minum bagi mereka berdua."Papa haus,Princess. Mbak Kala mau ambil minum, kan, ya? Sebentar. Nanti Papa enggak bisa nelan obat.""Papa!"D
Tak ada yang bisa Kala lakukan selain duduk di kursi penumpang Mazda merah milik Daru. Memang, ini bukan pertama kalinya Kala duduk di sini. Namun rasa canggung itu masih ada. Bukan perkara mudah mengingat hati dan pikirannya sudha tak lagi di tempat"Kok, saya merasa Mbak enggak akan kembali, ya."Kala akhirnya tertawa pelan. "Kalau enggak jalan sekarang, saya bisa ketinggalan pesawat."Daru menghela napas pelan, lalu menyalakan mobil sembari mengerucutkan bibir. Persis seperti Sheryl yang merajuk.Di rumah, Kala harus membujuk Sheryl yang tiba-tiba histeris karena tahu ia akan pulang ke Surabaya. Sampai Kala kebingungan sendiri merayu juga meredakan tangisnya."Sheryl, dengar Ibu." Kala akhirnya membuat ketegasan. Menatap gadis kecil itu dengan tatapan cukup tajam. Tadinya Sheryl sama sekali tidak mau menatap mata Kala, namun karena dipaksa, akhirnya dengan mata berkaca-kaca Sheryl beradu pandang dengan pengasuhnya.Sebenarnya Kala sedih bukan main harus pulang sementara namun apa d
"Kita mau ke mana?" Akhirnya Kala bersuara setelah membisu di samping Erwin sebagai pengemudi."Sarapan.""Saya tau dengan jelas hal itu. Lokasinya?"Erwin mengulum senyum. "Kamu terlihat enggak ikhlas keluar bersama saya." Sembari melirik wanita yang ada di sampingnya itu. Benar tebakannya, wajah cantik yang dipoles make up tipis itu kembali bergeming. Tidak merespon sama sekali ucapannya."Saya mau ajak makan lontong balap." Erwin kembali menoleh, berharap wanita itu mau sedikit berbagi senyum padanya. Namun nihil. Kala masih tetap setia memperhatikan jalan di depannya, bahkan melirik ke arah Erwin saja tidak."Kamu mau? Atau ada yang ingin kamu makan sebagai sarapan?"Belum-belum menjawab, dering ponsel Kala memecah kaku di antara mereka. "Saya angkat telepon dulu." Dan ternyata itu sebuah panggilan video dari Sheryl. Mendadak ia merasa sangat besalah. Semalam, karena kelelahan ia lupa untuk sekadar mengabari kalau sudah tiba di rumah dengan se
Dulu, Kala benci rumah sakit. Baginya, bangunan itu sarat akan umur yang sudah tua. Bau. Lapuk dan juga menyeramkan. Entah kenapa hal itu selalu terpatri kuat dalam benaknya hingga kini. Namun ketika sang ayah berada di salah satu ruang rawat, ketakutannya lenyap. Seperti sekarang.Dirinya sudah berada di dalam ruangan tempat semalam ia kunjungi. Duduk sembari mengupas apel untuk sang ayah. Ibunya cemberut mengetahui berita yang Kala bawa tadi. Baru saja membuka pintu ruang rawat, wanita berambut sebahu itu sudah diberondong pertanyaan mengenai pertemuannya dengan Erwin. Kala ingin sekali menampilkan wajah jengah namun tak mampu.Ia hanya tersenyum kecil lalu menjelaskan tentang sarapan prakarsa ibunya itu. Hasilnya? Sang ibu menceramahinya panjang lebar. Katanya, Kala tidak mampu bersyukur. Pun menyalahkan dirinya kalau nanti Erwin tiba-tiba mundur menjadi calon menantu."Bu, perasaan enggak bisa dipaksa. Toh, Tari yang menjalani. Tari harap, Ibu mengerti."
Daru Aria : Saya benci bilang ini. Saya take off ke Pontianak sore ini. Bisa tiga hari saya di sana. Begitu landing, saya telepon Kala, ya. Jangan tidur dulu. Serius, saya rindu. Nanti saat saya take off dari sana menuju Jakarta, saya ingin teh lemon. Akhir-akhir ini saya enggak bisa tertidur pulas, Salah satunya karena Kala. Saya takut, Kala enggak pulang ke rumah lagi.Sudut bibir Kala tertarik penuh. Ia membenahi posisi duduknya agar gadis kecil di sampingnya bisa nyaman dalam tidur. Saat bertemu dirinya di pintu terminal kedatangan, tak ada yang diinginkan Kala sebesar keinginan memeluk Sheryl. Anak itu menjemputnya di sana, bersama Ahmad. Dengan wajah setengah cemberut anak itu mengadu, "Papa pergi sama Om Denny. Buru-buru. Katanya dinas-dinas itu. Sheryl kesel. Padahal sudah janji mau jemput Ibu Kala.""Ibu sudah sangat senang kalau Sheryl yang jemput. Papa, kan, kerja bukan mau main. Sheryl harus ngerti, ya."Wajah cantik itu perlahan mengulum senyum. "Sheryl
Kala membawa setumpuk pupuk pada Didi yang sudah menunggu di sudut area tempat bibit sawi mulai disemai. Sudah dua hari sejak ia tiba di rumahnya, Kala menyibukkan diri di sini. Mungkin, area ini akan menjadi favoritnya menghabiskan waktu.Sejak tahu mobil Civic milik Erwin masuk garasi, Kala menyingkir. Masa bodo dengan kedatangannya.Sementara di ruang tamu, Erwin disambut senyum ramah milik Nita. Rianto yang duduk sembari membaca koran lama, menyapanya hangat. Seperti kawan lama."Gimana Nak Erwin, bisnisnya lancar?" Rianto berbasa basi sejenak.Erwin mengulum senyum manis dengan sedikit bangga. "Minggu lalu baru deal. Akhirnya setelah negosiasi alot, bos besarnya mau juga untuk realisasi.""Proyek apa kalau boleh tau, Nak?""Franchise kafe kopi yang terkenal itu, Pak. Soalnya pemilik nama enggak mau design kafenya dimodif. Susah sekali negonya."Rianto menepuk bahunya sekilas. "Bagus berarti kamu kerja sama dengan orang seperti itu.
“Aria, ini serius?” tanya Kala tak percaya. Matanya bolak balik menatap banyaknya list yang baru Daru serahkan padanya.“Kenapa enggak serius?”Wanita yang tampak cantik mengenakan blouse peach mengerang frustrasi. Bukan sekali dua kali Daru mengubah keinginannya dalam to do list yang ada di tangannya itu. List tersebut akan mereka gunakan sebagai acuan untuk melangsungkan pernikahan yang kurang dari sebulan lagi.Mulai dari; penyewaan hall di salah satu hotel ternama di Jakarta, undangan yang akan dicetak sebanyak 1000 lembar, biaya catering yang tidak main-main, pemilihan kebaya serta tata rias yang membuat Kala melotot tak percaya, juga dekorasi pesta yang membuat dirinya sudah bernapas.“Ini terlalu mewah, Aria.”Daru hanya terkekeh. Sejak wanita itu menerima sosoknya masuk dalam lingkar kehidupannya, Daru tak pernah mengendurkan geraknya. Bahkan untuk sekada