Part 93"Tunggu!" Putra segera berbalik dan melihat sang kakak berjalan ke arahnya. Reni hendak pergi menghampiri mereka tapi langkahnya segera dicegah oleh sang suami. Heri langsung merangkul Reni seakan tak memperbolehkan wanita itu berbicara pada adiknya sendiri."Ada apa, Mbak?" tanya Putra setengah berteriak."Kalian hati-hati di jalan!" seru Heri seraya melambaikan tangannya. Ia tersenyum lebar. Putra hanya mengangguk lalu membalas lambaian tangannya. Ia sempat melihat ekspresi sang kakak senyum terpaksa.Putra masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobil dengan pelan. Hingga mobil mereka keluar dari rumah besar ini, menyusuri jalanan kota yang ramai, menuju ke kota tujuan.Heri mengeratkan pelukannya pada Reni hingga wanita itu tak berkutik."Jangan sekali-kali kau coba bicara pada Putra! Ingat perjanjian kita, Sayang!" bisiknya di telinga penuh intimidasi. "Ayo kita masuk, Sayang. Sekarang kau sudah benar-benar ada dalam genggamanku!" lanjut Heri lagi, cukup membuat Reni
Part 94"Diam! Kalau kau masih ingin melihat ayah kesayanganmu hidup!" Reni shock berat apalagi mendengar ayahnya disebut-sebut. Mata Reni membulat mendengar bentakan orang yang sangat dia cintai. Menikah dengannya sudah 15 tahun yang lalu. Tapi ia tetap setia meski tak ada buah hati diantara mereka. Entah apa yang membuat sikap Heri berubah drastis tak seperti dulu lagi. Kali ini sikap sang suami benar-benar keterlaluan."Bagus, tetaplah seperti ini baby! Jadilah kelinci kecil yang penurut kalau kau masih mau hidup bersamaku."Reni mencoba berontak, mengibaskan tangan sang suami dari wajahnya. Dia langsung berlalu dan hendak meraih ponselnya, tapi sayang, ponsel itu langsung direbut oleh Heri. "Apapun yang kau lakukan, pesan atau apapun itu, aku sudah menyadapnya. Jadi kau tak bisa bersikap macam-macam lagi! Mengerti?!""Kau jahat sekali, Mas! Keluargaku salah apa terhadapmu?! Padahal aku selalu menuruti keinginanmu! Kau minta modal, ayah selalu mengabulkannya, kau juga hidup enak
Part 95 "Tidaakk, A Putraaa ...!" Hana berteriak dalam hati, ia tak mampu bersuara, hanya bisa menutup mulutnya sendiri seraya menangis. Butiran bening itu jatuh berderaian di pipi.Shock tentu saja, karena tak ada yang bisa ia lakukan. Terlebih preman-preman itu menghajarnya habis-habisan. Seolah tanpa ampun.Hana mencari sesuatu dalam mobilnya, Apa yang harus dia lakukan untuk menolong sang suami? Namun dalam kondisi terjepit, ia tak bisa berpikir dengan jernih. Rasa panik dan takut menguasai hatinya. Ponsel dan semua barang yang berharga sudah dirampas para preman itu. Preman yang sengaja menyembunyikan wajahnya dibalik masker warna hitam.Entah kenapa dengan hari ini, musibah dan kesialan menimpanya di saat ia akan pulang kampung. Di siang hari yang panasnya begitu terik, tapi naas menimpanya. Ya, karena jalanan siang itu begitu sepi tak ada lalu lalang kendaraan. Lokasinya pun sudah jauh dari pusat kota."Kenapa tak ada kendaraan yang lewat sama sekali?" lirih Hana.Panik, tak
Part 96"Lapor, Bos! Kami sudah lakukan sesuai yang bos inginkan!""Bagaimana kondisinya?""Sekarat, Bos, mungkin hampir mati!""Kubilang jangan sampe mati! Harus disiksa pelan-pelan!""Iya, Bos. Sudah sesuai dengan keinginan Anda!""Hahaha ... Bagus, baguss! Gak sia-sia aku sewa kalian! Datanglah ke lokasi ini, ada pekerjaan tambahan untuk kalian! Aku akan kirimkan alamatnya!""Sekarang, Bos?""Ya sekarang, masa lebaran kuda!!" tukas lelaki itu emosi."Baik, Bos. Kami akan segera dataang!" Pria itu mematikan ponselnya dan memberi aba-aba pada rekan yang lain untuk pergi setelah membuat kekacauan."Cabut! Cabut! Bos sudah menunggu!"Mereka saling menganggukkan kepala dan masuk kembali ke mobil meninggalkan Putra yang tergeletak tak berdaya.Sementara itu ...Di ruangan yang cukup gelap, pencahayaan didapat dari ventilasi jendela. Tirai ditutup dengan sempurna meski siang hari. Padahal matahari di luar sangat terik.Pria itu menyeringai, tersenyum penuh kemenangan. Ia bangkit dari ku
Part 97Heri melemparkan ponsel itu, murka. Wajahnya terlihat begitu kesal.Ketiga preman sewaan yang berbadan kekar itu hanya menunduk."Kenapa kalian diam saja?!""Maaf Bos, kami salah ambil. Padahal kami sudah mencarinya tapi tak menemukan ponsel yang lain lagi," sahut seorang pria yang berdiri di tengah menjawab."Iya, Bos, apa yang harus kami lakukan? Apa kami perlu balik lagi kesana dan menggeledahnya lagi!""T*l*l, mereka mungkin sudah tidak adak di sana!""Tapi kami sudah memblokade jalan itu, makanya kami yakin gak ada yang bakalan lewat!""Ah, sudahlah! Lupakan hal itu. Kalian pergilah! Dan jangan tampakkan wajah kalian di hadapanku lagi! Ingat, kalian harus jaga rahasia! Aku akan pesankan tiket ke luar kota untuk kalian!""Lho, katanya ada pekerjaan tambahan lagi, Bos?""Kalian gagal, kenapa minta yang lain? Pergi dengan selamat saja sudah untung!" pungkas Heri lagi."Baik, Bos!""Ingat, jangan sampai berurusan dengan polisi!'"Baik, Bos. Tapi kami butuh tambahan dana! Kal
Part 98"Ada apa, Mariana?"Mariana terkesiap sejenak. Ia teringat ucapan tantenya tadi saat di pusat perbelanjaan, ia harus bersikap sewajarnya seolah tak ada apa-apa.Mariana tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih."Itu Om, aku mau pinjam tasnya Tante," sahut Mariana beralasan.Heri mengerutkan keningnya. "Tas?"Mariana mengangguk. "Iya, aku mau ketemu sama teman-teman di cafe.""Bukankah koleksi tasmu lebih banyak dan lebih bagus?""Hmmm iya sih, tapi aku bosan. Sekali-kali aku pengen pake yang model lain seperti milik tante."Meyadari ucapan Mariana, Reni pun mulai bersandiwara, mengikuti permainan sang keponakan."Iya, Ana, masuklah dulu. tante hampir lupa klau kamu mau pinjam tas, padahal kamu sudah bilang pas di jalan pulang," ujar Reni menghampirinya. Ia tersenyum.Tanpa menunggu reaksi dari Heri, Mariana langsung masuk kamar Renni, hal yang jarang ia lakukan sebenarnya, masuk ke kamar orang.Reni mengajak Mariana melihat lemari kacanya yang berisi koleksi tas da
Part 99"Haruskah aku melaporkan ini pada Mas jaya?"Reni menoleh ke arah keponakannya itu. "Kau percaya pada suamimu itu?"Mariana mengendikkan bahunya, ragu."Entahlah.""Sebaiknya jangan, Ana. bukankah dia juga pernah membohongimu? Kalau dia tau takutnya nanti jadi makin runyam.""Apa kita perlu memberi tahu Om Farish, ia kan dekat dengan keluarga kita, dia juga baik selalu membantu--""No, no no, biarpun dekat, dia hanya orang luar, Ana. Tidak. masalah ini tidak boleh sampai ke luar. Bisa-bisa media akan memberitakan hal miring. Ini aib keluarga, tak boleh sampai keluar dulu.""Terus hanya kita saja yang tahu, Tante? Kakek bagaimana?"Reni menggeleng pelan. "Tidak, kasihan kakekmu, sakitnya nanti kambuh lagi. akhir-akhir ini beliau sedang membaik. Kau tahu bukan kakekmu pernah bedrest selama berbulan-bulan, tante tidak mau menambah beban pikirannya di saat usianya sudah senja.""Tapi kita bisa apa, tante? Kita butuh perlindungan. papaku gak mungkin, karena sudah tak punya kekuat
part 100"Daddy, cepat sembuh daddy! Varo sama mommy nunggu daddy di sini."Hana termangu sendiri di tempatnya duduk, seraya memangku Alvaro yang mulai kelelahan dan mengantuk. Hana mengirimkan pesan pada Derry kalau dia sudah berada di Puskesmas. Dia juga mengirim share lokasinya saat ini. Ya, untuk saat ini hanya Pak Derry, satu-satunya orang kepercayaannya, di kala keluarga sang suaminya tak peduli. Ia tak ingin ambil pusing untuk hal itu. "Apa aku perlu menghubungi Ayah? Apa tidak apa-apa kalau ayah mendengar berita ini? Aku takut kondisi ayah, tapi kalau tidak diberi tahu, beliau pasti akan marah." Hana bermonolog sendiri. Wanita itu menatap nanar ke arah Putra. yang masih terbaring. Matanya terpejam sempurna dengan kondisi wajah babak belur. Istirahatnya kali ini tampak nyenyak setelah diberi obat.Tiga jam kkemudian ...Pak Derry dan Pak Jay datang bersama. Mereka terlihat panik."Bagaimana kondisi Tuan, Nyonya?" "Sudah ditangani oleh dokterz tapi masih belum sadar, Pak.