"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Selamat Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Bu Chava dinyatakan mengandung. Usianya baru delapan minggu," ucap pria bersnelli itu seraya menjabat tangan Chava. Perempuan bernama Chava itu bergeming, sungguh, berita menggembirakan ini tak pernah terlintas dalam benaknya akan dapat dia dengar setelah setahun pernikahannya. Binar di wajahnya cukup mewakili perasaannya saat ini, Chava sangat bahagia. Tak sabar rasanya segera membagi kabar menggembirakan itu pada suaminya. "Saya sungguh hamil, Dok?" Chava yang merasa dirinya seperti sedang bermimpi pun mengajukan pertanyaan. Dokter lelaki berkacamata itu kemudian mengangguk mantap. "Ini hasil foto USG yang baru saja kita ambil, bulatan kecil ini adalah janin Bu Chava." Menunjukkan titik hitam pada lembar hitam putih ndi tangannya. Setitik butir bening luruh tanpa permisi, Chava sangat bahagia. Akhirnya harapannya untuk bisa memiliki anak bisa terwujud, begitu juga impian ibu mertuanya yang selama setahun ini bersabar menantikan kehadir
Bibir itu terkunci rapat, matanya memanas digenangi embun tipis nan rapuh yang mudah retak dalam sekali kedip. Sekuat hati Chava menahan diri, tangisnya hanya akan menunjukkan kelemahannya di hadapan dua sejoli itu. Melihat bagaimana suaminya menatap penuh cinta pada wanita lain, tatapan yang tak pernah Chava dapatkan selama setahun pernikahannya. Ah, lagi-lagi kenyataan menamparnya. Bukan Chava tak tahu bahwa bukan dirinya yang menempati ruang istimewa di hati Azzam. Selama ini dia hanya menjalankan baktinya sebagai istri, berharap seiring berjalannya waktu lelaki yang tepat setahun lalu mengucap janji suci pernikahan itu akan memberinya cinta walaupun hanya secuil. Namun, jangankan cinta, melihat ke arahnya sedikit pun, tidak pernah Azzam lakukan. Bagaimana Chava dan Azzam menjalani pernikahan selama ini, bagaimana benih Azzam tumbuh di rahim Chava, semua itu hanya bagian dari kewajiban suami istri. Saling memberi dan menerima, tanpa ada hati, tanpa perasaan apalagi melibatkan cin
Tak ada yang berubah sejak hari itu, suasana dalam rumah tetaplah sama. Kopi masih tersedia, makanan, begitu juga dengan kebutuhan Azzam lainnya. Tak hanya memastikan rumah selalu dalam keadaan rapi dan bersih, Chava juga memastikan untuk selalu memenuhi kebutuhan suaminya.Kebekuan yang biasa terjadi di meja makan, Azzam sibuk melahap makanannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, pun dengan Chava. Sudah biasa. Memang begitulah kondisi rumah tangga yang mereka jalani. Tak ada gelak tawa apalagi canda. Jangankan duduk bersama sambil berbagi cerita di penghujung senja, atau ketika akhir pekan tiba. Chava dan Azzam hanya akan bicara seperlunya saja.Apa itu jalan-jalan, pergi berbelanja bersama sekadar menghabiskan waktu berdua. Chava belum pernah merasakan hal itu sejak pertama kali memasuki rumah itu sebagai istri Azzam. Tiap akhir pekan dihabiskan Azzam di luaran sana dengan berkumpul bersama teman-temannya, terkadang juga untuk urusan pekerjaan.Namun, belakangan Chava tahu kalau terny
Mengenakan masker untuk menutupi hidungnya, Chava bergelut dengan rasa mual ketika harum bawang putih yang ditumis menyeruak. Perutnya serasa diaduk, sensasi tak nyaman menjalar naik membuat kepalanya ikut pening. Akan tetapi semua itu berusaha ia tahan demi membuatkan sarapan untuk lelaki yang menjadi ayah dari jabang bayi yang tengah dikandungnya.Semenjak mengetahui hubungan istimewa yang terjalin antara Azzam dan Hana, wanita itu memang sengaja menyiapkan dua kotak bekal makan siang untuk mereka. Biarlah, orang akan beranggapan dirinya bodoh. Chava justru melakukan itu dengan harapan agar sepasang sejoli itu sedikit memikirkan perasaannya. Mungkin dengan begitu, dapat menarik perhatian Azzam lalu pria itu akan memberikan ruang hatinya untuk Chava meski hanya setitik.Chava buru-buru melepas masker dan membuangnya ke tempat sampah begitu melihat kedatangan sang suami."Tehnya sudah aku taruh di meja, atau mau aku buatkan kopi?" Wanita itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dar
"Zam."Azzam tersentak ketika Hana menyikut lengannya. Pria itu tersenyum ramah menyambut uluran tangan para tamu yang datang memberikan do'a restu. Lelaki yang telah sah menjadikan Hana sebagai istri keduanya itu tampak sumringah. Akan tetapi tatapannya berubah sendu tiap kali bayangan Chava berkelindan di benak.Punggung yang selalu bergetar halus ketika Azzam melihatnya dari belakang, pun terlihat sama hari ini. Dari tempatnya berdiri Azzam sempat melihat kepergian istri pertamanya. Lelaki itu tak henti menyorot hingga tubuh mungil itu lenyap dari pandangan.'Dia pasti sedang menangis.' Azzam masih tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Dia memang merasa bahagia telah menikahi gadis pujaan hatinya, gadis yang amat sangat dia cintai. Azzam sangat bahagia.Namun, entah mengapa hatinya basah manakala teringat akan Chava. Apalagi jika ingat tatapan mata wanita yang telah setahun membersamainya meniti hidup hingga Azzam berada di puncak tertinggi karirnya saat ini. Telaga ma