Pagi itu Bagas seperti biasa sarapan di rumah orangtuanya. Dia duduk di samping Bu Nur dan adiknya. Sedangkan Pak Rahmat sudah selesai sarapan dan mengurus burungnya. "Bu, aku kangen dengan Caca," ucap Bagas tiba-tiba. Secara serempak Bu Nur dan Santi mendongakkan kepalanya tak percaya pada ucapan Bagas. "Kangen sama Caca atau sama Mamanya," ledek Santi dengan ekspresi mengejek. Sontak Bagas melotot pada adiknya itu."Anak kecil jangan sok tahu kamu," Santi mencebik mendengar ucapan Bagas. Bu Nur menghentikan sarapannya, dia mengingat Caca yang selama ini dirindukannya. "Ibu juga kangen banget sama Caca," sahut Bu Nur dengan mata berkaca-kaca. Bagas tersenyum mendengar perkataan ibunya. Muncul ide yang melintas di kepalanya. "Bagaimana kalau kita menjenguk Caca di rumah Neneknya, Bu?" tanya Bagas berharap. "Iya nanti Ibu akan bicara pada Bapakmu," sahut Bu Nur. "Horeee ... aku juga ikut ya, Bu." Santi girang denga
Sedangkan Kinan adik kelas mereka bisa dekat dengan Radit karena tergabung dalam 1 organisasi yang sama. Dari sanalah awal mula mereka menjadi sahabat. Ranti mendekati Radit dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Dia tak menyangka jika pria cupu yang selalu diremehkan olehnya dulu kini bisa menjadi sekeren ini sekarang. Radit menerima uluran tangan Ranti. "Sumpah kamu beda banget sekarang, Dit!! Hampir saja aku gak mengenalimu," ucap Ranti terkesima. Radit kembali tersenyum menanggapi perkataan Ranti. Hampir semua teman yang menemuinya juga berkata seperti itu. "Jangan bilang kamu ke sini untuk menemui Kinan? Atau memang benar kamu mau menemui dia?" tanya Ranti dengan tatapan menyelidik. "Aku ke sini memang ingin menemui Kinan, Ran. Aku nawarin dia kerja di apotek di mana klinikku berada," sahut Radit. "Apa!? Gak salah denger kan aku? Jadi dia meminta kerjaan sama kamu? Modus itu, Dit! Dia memang gitu belum resmi cerai udah kega
"Bagaimana apa kamu bersedia kembali bersamaku, Kinan?" tanya Bagas tak sabar menunggu jawaban Kinan. Kinan terdiam, pikirannya berkelana mengingat masa-masa saat bersama Bagas dulu. Dua tahun lebih waktu yang dia habiskan sudah cukup membuatnya mengenal kepribadian sang suami. Dua tahun lebih dia berusaha menuruti setiap perkataan dan keinginan suaminya bahkan ia rela meninggalkan dan membantah orangtuanya demi bisa bersamanya. Bukan hanya uang belanja yang sangat terbatas, namun juga sikap Bagas yang tak bisa menghargainya sebagai seorang istri. Dengan alasan tak pandai merawat diri, dia diperlakukan semena-mena. Selalu bersabar dan mengalah sudah dilakukannya selama ini namun tak juga membuat suaminya berubah. Bagas semakin banyak tuntutan tanpa memenuhi hak yang harusnya dia lakukan. Kasih sayang suaminya nyaris tak pernah ia dapatkan semenjak dia hamil, begitu pun Caca jarang sekali bocah kecil itu tersentuh tangan ayahnya. "Kinan!! Apa
Risa dan Rangga telah mengurus surat perceraian mereka. Rangga memutuskan untuk pergi dari rumah mertuanya saat itu juga. "Mas, lebih baik kamu pergi dari rumah ini secepatnya. Soal Andika aku akan memberinya pengertian, kamu tak perlu khawatir," ucap Risa tanpa menatap lelaki yang diajaknya bicara. "Baiklah, Ris. Mungkin memang lebih baik aku keluar secepatnya. Aku akan cari rumah atau kontrakan untuk sementara waktu," ucap Rangga lirih. Setelah itu Rangga keluar dengan menggunakan mobilnya. Dia berencana untuk mencari tempat tinggal tak jauh dari rumah orangtua Kinan agar bisa memantau perempuan yang dicintainya. Setelah beberapa kali bertanya kepada tetangga Kinan soal rumah yang disewakan, akhirnya dia menemukan kontrakan yang hanya berjarak sekitar 5 rumah dari kediaman orangtua Kinan. Dari sana juga tak begitu jauh dari tempatnya bekerja.******* Rangga mengemas bajunya dan memasukkannya ke dalam sebuah koper. Setelah memastikan barang
"Semalam saya intip dari dalam rumah dia datang sendiri kok, Bu. Bisa jadi dia lajang atau duda kan, jadi saya punya kesempatan buat PDKT kan, Bu?" sahut Gendis perempuan dengan tubuh seksi itu. "Pas banget kalau duda, Mbak. Sama -sama kesepian butuh belaian," Mereka yang ada di sana sontak tertawa, dan mereka terdiam saat ada Kinan datang bergabung. "Tumben belanja, Mbak Kinan?" tanya Bu Rukin. "Iya, Ibu kakinya sedikit linu, Bu. Jadi saya yang gantiin." ucap Kinan seraya memilih ikan pindang yang ada di depannya. "Mbak, maaf nih ya katanya Mbak Kinan sudah pisah sama suaminya ya makanya sekarang balik lagi ke sini?" tanya Bu Sis mulai kepo. Kinan keget kenapa mereka bisa tahu tentang statusnya padahal selama ini dia tak pernah keluar rumah. "Jangan ditutupi Mbak Kinan, kita semua sudah tahu kok, asal jangan lirik suami tetangga aja ya," ucap Gendis sinis. "Eh sadis amat omongannya Mbak Gendis. Takut saingan sama Mbak
Ranti senyam-senyum sendiri melihat ponselnya. Dia berbalas pesan dengan Bagas. Saking asyiknya dia tak menyadari jika Dinda sedang dibelakangnya mengamati setiap gerak geriknya. "Ehem, lagi ngapain, Mbak?" tanya Dinda mengambil posisi duduk di depan Ranti. "Gak liat aku sedang apa? Pakai tanya lagi," jawab Ranti, tatapannya tetap fokus pada ponselnya. "Oh, asyik bener. Gimana kabarnya Mas Bagas?" tanya Dinda memancing. "Baik—" Ranti tak meneruskan perkataannya, dia baru sadar jika sudah terpancing oleh adiknya. Ranti melotot, Dinda tertawa dan meninggalkan kakaknya yang mulai mengomel. "Dasar bocah, mau tau aja urusan orang dewasa, pasti kamu ngintip pesanku sama Bagas ya, Dinda!!" Ranti berteriak di depan kamar Dinda. Kinan tak sengaja mendengar Ranti yang berteriak di depan kamar adiknya dengan menyebut nama Bagas. "Apa, Mbak?! Kamu berkirim pesan sama Mas Bagas!?" tanya Kinan terkejut saat mendengar kakaknya berbic
"Maaf, Mbak Gendis. Aku sudah memesan makanan pada Kinan sebelumnya. Kami kan sudah saling kenal jadi sengaja aku memintanya memasak untukku," ucap Rangga membela Kinan. Gendis masih tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Rangga terlihat dari caranya menatap sinis Kinan. "Yaudah, Mas. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Gendis seraya melirik Kinan sebelum berlalu pergi. Kinan juga beranjak pergi dari tempat itu namun Rangga berhasil mencekal pergelangan tangannya. "Tunggu, Kinan!!" seru Rangga. "Ada apa lagi, Mas? Jangan salah sangka, aku cuma merasa kasihan denganmu yang seorang diri di sini. Dan satu lagi aku ingin kamu pergi dari sini setelah ini, jangan buat semuanya menjadi sulit, Mas," ucap Kinan memohon. "Terima kasih sudah peduli denganku. Aku ingin memberitahu kamu sesuatu. Aku dan Risa sudah mengajukan surat cerai ke pengadilan, kami sudah berpisah, Kinan. Dan kita sudah dapat jalan, bagaimana mungkin kamu malah menyuruh
"Mas, Bapak kambuh asam lambungnya. Dari tadi mual dan tak berhenti muntah. Nafasnya juga sedikit sesak." Kinan memberikan penjelasan pada Radit. "Tenanglah, Kinan. Biar aku periksa Pak Ridho dulu ya," ucap Radit tenang. Radit memeriksa Pak Ridho dengan seksama. Dia tahu jika lelaki itu sudah punya sakit asam lambung sedari dulu. "Pak, Bapak pasti banyak pikiran ya?" tanya Radit disela pemeriksaannya. Pak Ridho mengangguk lemah dengan peluh yang membasahi dahinya. "Iya, Nak. Bapak memikirkan sidang yang akan dihadapi Kinan hari ini. Padahal Bapak sudah menjaga pola makan tapi malah kambuh di saat penting begini," sahut Bu Rina mewakili suaminya. Ridho mengangguk paham. Dia lalu memberikan sejumlah obat yang memang sudah dipersiapkannya dalam perjalanan tadi. "Pak, tenangkan pikiran Bapak dulu. Kinan perempuan hebat, dia pasti akan bisa melewati semua ini. Dan saya akan mengantarkan Kinan ke tempat sidangnya untuk memberikan duk