Firman berdiri di depan gang tempatku tinggal. Sesuai rencana Firman malam ini, dia akan mengajakku bertemu kedua orang tuanya, sekaligus makan malam bersama. Aku sengaja meminta Firman menungguku di depan sana, karena tidak mau lagi mendengar gosip terbaru dari para ibu-ibu di sini.
"Wah, mbak Dila cantik sekali. Tumben jalan kaki Mbak. Motornya mana?" Aku terkesiap. Hampir saja aku jatuh, mendengar suara salah seorang tetanggaku yang tiba-tiba terdengar. Suasana kampung yang kurang penerangan, membuat posisinya samar terlihat. "Eh, itu mbak Dila terkejut," timpal salah seorang lagi. Aku menyipitkan kedua mataku. Ya Allah, ternyata ibu-ibu biang gosip sedang berkumpul. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Aku kira jadwal pergosipan ini hanya dilakukan siang hari. Ternyata malam hari juga. Senyum ramah terbit di wajahku. Walaupun itu sebuah keterpaksaan. "Mari Bu!" ucapku, segera berlalu. Malas sekali rasanya, jika harus"Cih, sombong sekali! Lihat saja nanti kalau sudah sah jadi menantu. Kalian pasti menyesal karena sudah memungut janda mandul dan gatal ini!" Kata-kata ibu mas Umar benar-benar membuatku kesal sekaligus malu. Aku tidak mandul, dan akan aku buktikan nanti setelah menikah. "Kita lihat saja nanti Ma! Aku atau putra Mama yang bermasalah di sini!" ucapku, tidak ada lagi rasa hormat dan segan pada wanita paruh baya yang menghinaku di depan banyak orang. Mendengar ucapanku, mama mas Umar mendengus kesal dan pergi begitu saja diikuti anggota keluarga yang lainnya. Tatapan mama mas Umar sebelum pergi begitu mengerikan. Sedang Lila menatapku sinis, dan mas Umar hanya menunduk sendu. "Sudahlah Sayang, lebih baik kita makan saja di sini! Untuk apa meladeni janda gatal seperti dia. Buang-buang waktu saja," ejek Liana, tersenyum sinis ke arahku menarik lengan mas Umar. "Tolong jaga mulut anda Nona! Kalau mau pergi, ya pergi saja! Toh, kedatangan
Setelah perceraian aku dan Dila, hidupku dipenuhi dengan drama yang aku sendiri bingung menyebutnya apa. Ibu terus saja mendesakku untuk menikahi Liana. Alasannya sangat klise menurutku. Hanya karena Liana wanita kantoran, dan pasti menghasilkan uang setiap bulannya. Tidak seperti Dila yang hanya sibuk mengurus rumah dan menunggu uang bulanan dariku. Hari demi hari, bahkan kini sudah lewat satu bulan. Pernikahanku dan Liana tak juga berjalan mulus. Ia bahkan sering sekali menghina aku. Ia juga tak terima karena uang bulanan yang aku berikan sangat sedikit. Wanita yang sangat ibu banggakan, nyatanya membuat kehidupanku semakin sulit. Bagaimana tidak? Liana meminta jatah bulanan cukup besar, yaitu tiga juta untuk satu bulan. Sedangkan gajiku bulan ini sudah tidak sebanyak dulu lagi. Lima juta satu bulan yang aku berikan Dila dulu saja masih kurang atau bisa dibilang pas-pas an untuk membayar semua cicilanku. Liana dan Dila sangat jauh berbeda. Dila tidak pernah m
Dengan langkah pasti aku segera pergi ke rumah Dila. Rumah yang kata ibu, adalah rumah yang ia kontrak. Namun, saat aku sudah tiba di depan rumahnya. Rumah itu kelihatan sepi. Sejenak aku merasa tidak yakin, kalau saat ini Dila berada di rumah. "Eh Mas, cari siapa?" Seorang ibu berbadan tambun, bertanya saat ia melewati rumah Dila. Aku segera bertanya, mungkin saja ibu ini tau di mana Dila berada sekarang. "Maaf Bu, saya mau tanya. Ibu kenal wanita yang tinggal di rumah ini?" "Oh mbak Dila? Kenal Mas. Memangnya ada apa Mas? apa Mas ini mau nagih hutang?" tanya ibu itu, membuatku dengan cepat menggeleng. "Bukan Bu. Oh iya, sekarang Dila nya ke mana ya, Bu? Kerja atau sedang pergi ke luar?" tanyaku, tanpa mau mengatakan apa kepentinganku. "Terus mau ngapain Mas? Mbak Dila sudah pindah beberapa hari yang lalu Mas. Sepertinya pulang kampung kalau tidak salah dengar," ujar ibu itu, menatapku curig
Pov Mama Dila Saat mendengar cerita Dila--putriku, jujur saja hatiku merasa sakit. Anak yang aku lahirkan dan besarkan dengan penuh kasih sayang dan perhatian, malah mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami dan keluarga suaminya. Hatiku bergejolak, ingin sekali rasanya aku meminta putriku dikembalikan. Tapi apa dayaku? Dila sudah jadi istri orang lain. Dila bukan tanggung jawabku sepenuhnya lagi. Ada suami yang sudah terikat tanggung jawab pada Dila. Dila menangis dalam pelukanku. Dadaku sesak. Air mataku lolos begitu saja sambil mengusap kepala putri kesayanganku. Aku bukanlah tipe orang tua yang suka mendikte anak atau memaksakan kehendak pada anak. Aku hanya bisa menasihati Dila. Berhadap putriku bisa mengambil keputusan, sesuai dengan hatinya sendiri tanpa campur tangan dariku. Perceraian akhirnya terjadi juga. Aku hanya bisa mendukung, apa yang sudah putriku putuskan. Memang tidak mudah jadi Dila. Dila selalu
Hari ini hari pernikahanku dengan Firman. Pria yang selama beberapa bulan ini selalu ada saat aku terpuruk. Pria itu dengan lantangnya mengucapkan kalimat sakra di depan penghulu dan kakak laki-lakiku sebagai wali nikah. 'Sahhh...' 'Alhamdulillah' Suara riuh terdengar bergema di ruang tamu rumah mama yang kini sudah disulap sedemikian rupa sebagai tempat ijab qobulku. Hati ini rasanya bahagia bercampur sedih. "Selamat atas pernikahan kamu Dil. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Semoga kamu selalu bahagia," ujar kakak lelakiku, memelukku hangat. Dapat aku rasakan tubuhnya bergetar menahan tangis. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Tidak hanya kakak lelakiku yang mengucapkan kata-kata baik berupa doa dan harapan. Kakak iparku juga sama. Ia juga mengatakan itu dan memelukku erat. "Jaga adik perempuanku satu-satunya Fir! Mungkin kita tidak terlalu lama kenal. Tapi, melihat
Pergulatan panas akhirnya selesai terlewati. Firman mengecup keningku lembut. Sedang aku hanya bisa memejamkan kedua mataku. Perlakuannya begitu hangat dan lembut. "Fir, boleh aku mengatakan sesuatu," ucapku, menatap kedua bola mata Firman yang begitu meneduhkan. Firman tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu saat ini Fir. Mungkin tanpa aku ceritakan lebih jelas, kamu pasti sudah tau, seperti apa ceritaku. Aku takut Fir, aku takut tidak bisa memberikan kamu anak. Sedang dalam sebuah pernikahan, anak adalah salah satu yang sangat diimpikan. Bukankah salah satu tujuan pernikahan untuk mendapatkan keturunan? Aku takut tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, seperti apa yang kamu dan kedua orang tua kamu inginkan. Karena aku..." "Karena apa? Mandul?" tanya Firman, memotong ucapanku. Aku dengan cepat mengangguk. Tanpa perlu menjelaskannya lebih lanjut, rupanya Firman
Aku terkejut mendengar namaku dipanggil. Kami semua sontak saja menoleh ke arah asal suara. "Mama, Papa," gumam Firman, gegas berlari menghampiri kedua mertuaku. "Kalian sudah mau pulang?" tanya mama mertuaku, kini berjalan beriringan ke arah aku. "Ini baru mau pulang Ma. Kenapa Mama dan papa menyusul ke sini?" tanyaku, dengan cepat menyodorkan tangan bersalaman. "Tidak kenapa-napa Sayang. Mama dan papa cuma bosan di rumah. Jadi kami memutuskan ke sini. Eh, ternyata kalian sudah mau pulang," sahut mama mertuaku, tersenyum. "Bu, apa kabar? Sehat?" tanya mama mertuaku, kini berjalan menghampiri ibuku. "Alhamdulillah baik Bu. Ibu dan Bapak bagaimana? Sehat juga kan?" tanya mama, ramah sekali cara bicara mama. "Alhamdulillah, kami berdua juga sehat," jawab mama mertuaku. Kedua wanita paruh baya yang begitu berharga untukku kini saling berjabat tangan dan mencium pipi
"Yank, mana nomor rekening kamu?" tanya Firman, menepuk pelan pundakku. Aku tersadar, dengan cepat mengembalikan ponselnya. "Ini!" "Loh, apa angkanya memang segini? Apa tidak kurang?" tanya Firman, menatap layar ponselnya. "Coba kamu lihat ulang!" Firman kembali menyerahkan ponselnya kepadaku. Dengan berat hati aku mengambilnya. Aku sudah tau, kalau angka-angka itu memang kurang. Karena aku sengaja tidak mengetiknya hingga selesai. "Ini, sudah aku ketik semuanya," ujarku, menyerahkan ponselnya. Firman mengangguk, lalu sibuk dengan ponselnya. Sementara Firman sibuk, aku jadi gelisah sendiri. Jantungku berdetak kencang. "Bagaimana?" tanya Firman, meletakkan kembali ponselnya. "Bagaimana apanya?" tanyaku bingung. "Itu, apa sudah masuk uangnya?" tanya Firman, menunjuk ponselku. "Kalau laporannya sudah selesai di