Ailyn yang memang tak menaruh kecurigaan apa pun, mengikuti Jauhar dan Firman menuju ke sebuah rumah yang letaknya agak ke dalam hutan.
“Di sini jauh dari para tetangga, ya?” tanya Ailyn, tak melihat satu pun orang sejak tadi. Yang ia lihat hanya hutan, sejauh mata memandang.“Iya, Non. Hanya ada satu rumah, itu pun rumah tua. Itu dia.” Firman menunjuk ke rumah mungil di depannya yang kurang lebih berjarak 50 meter.“Wah, ini sih estetik. Halamannya luas, ya.” Ailyn masih mengikuti sampai Jauhar membukakan pintu untuk mereka agar masuk.“Silakan, Non. Maaf kalo kurang nyaman.” Firman mempersilakan wanita itu untuk duduk. Ailyn hanya tersenyum, memandangi banyak foto dipajang di dinding.Ailyn berpikir mungkin itu foto para pemetik teh yang bekerja di perkebunan, mengingat Firman mengaku sebagai mandor.“Lila, buatkan minum. Ada tamu, Sayang,” panggil Firman, lantas duduk di depan Ailyn, di sebelah Jauhar.LDilihatnya seorang wanita keluar rumah mengenakan daster. Wanita yang tak lain adalah Lila, langsung bisa menebak apa yang mereka lakukan sampai ke rumahnya. Wajahnya yang sempat tegang, pura-pura menampilkan senyuman. “Ada apa ini, ramai-ramai?” tanyanya. “Pagi, Bu. Apa Ibu melihat wanita berjalan di sekitar hutan? Mungkin dia tersesat saat mengambil foto,” tanya Karan. Dicobanya menunjukkan foto Ailyn di ponsel, lalu memberikannya pada Lila untuk dilihat. Lila mengambil ponsel, bersikap seperti tengah berpikir. “Maaf, saya tidak lihat. Saya baru keluar setelah masak. Mungkin di sekitar hutan sebelah sana.” Lila menunjuk hutan yang lebih gelap karena ditumbuhi pepohonan rindang. Karan menoleh sambil menelan ludah. Tidak mungkin Ailyn sampai ke sebelah sana, pikirnya. “Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih.” Karan tersenyum, kembali melanjutkan pencarian. “Tuan, sepertinya ada yang aneh. Sek
Karan terkejut membaca pesan dari Jovan tentang para sandera, tapi pura-pura tersenyum saat membacanya. “Saya permisi dulu. Katanya mereka tak menemukan istri saya.” Karan berdiri, diikuti Lila. Diantarnya Karan sampai ke depan pintu. Namun, rasa was-was dalam diri Lila membuatnya menoleh ke belakang. Alhasil, ia melihat sekelebat bayangan keluar dari kamar. “Hei, siapa itu?” Lila langsung berlari, sementara Karan menepuk kening, buru-buru menyusul. Jovan yang terkejut, bersembunyi di dalam kamar mandi. Sayang, Lila menyadarinya dan langsung siaga dengan pentungan di tangan. “Siapa pun kau, awas saja kalau kau berani mengganggu!” Wanita itu menunggu di depan pintu, sementara Karan mendekat. “Ada apa, Bu?” tanyanya, berlagak tak tahu apa-apa. “Ada orang di dalam. Jangan-jangan salah satu dari orang yang bersamamu. Atau ... kalian bersekongkol?” Lila langsung curiga. “Apa yang Ibu katakan?” Karan semakin mend
"Ini dia wanita terbaik kita malam ini. Namanya Ailyn. Masih perawan, cantik, mulus, dan tentunya incaran kalian." Firman tersenyum lebar, seolah memamerkan barang dagangan. Tangannya bergerak mengelus pipi Ailyn yang belum sadar. "Kita mulai dengan harga 500 juta,” kata Firman.. Abram dan beberapa pria mengangkat tangan, bersiap untuk membeli. “550 juta!” Pria tua berbaju cokelat bicara. “600 juta!” Pria lainnya menimpali. “750 juta!” sahut Abram penuh semangat. Alex masih diam dengan pikiran kacau. Bagaimana Ailyn bisa berada di sini? Dilihatnya wanita itu terpejam, dipegangi dua pria. “750 juta? Ada yang bisa lebih tinggi? Kalau tidak ada, wanita ini terjual 750 juta,” ujar Jauhar. Beberapa saat hening. Alex mengepalkan tangannya. Beraninya ada yang menculik Ailyn dan melelangnya! Alex memanas. Tak mungkin Ailyn akan ada di tempat itu tanpa alasan. Yang pasti hanya satu, dia diculik entah saat berada di man
Alex mengangkat tubuh Ailyn keluar dari mobil. Beberapa orang yang berjaga langsung sigap membukakan pintu dan menutupnya dengan cepat. Pria itu memilih membaringkan tubuh Ailyn di ruangan khusus agar tak diketahui Kiran. Namun sayang, sang anak malah didapati memasuki tempat itu karena mencarinya. “Papa sudah pulang?” Kiran menguap panjang, memeluk boneka. Dikuceknya mata beberapa kali, menoleh pada Alex yang menyelimuti Ailyn. “Kenapa Kiran belum tidur? Apa Mbok Dami tidak menemani?” Alex balas bertanya setelah selesai menyelimuti. “Kiran tunggu Papa. Kenapa Papa bawa Kak Ailyn ke sini? Apa dia sakit?” Kiran mendekat, memerhatikan Ailyn yang terpejam rapat. “Begini, Sayang.” Alex berjongkok, menyentuh pundak sang anak dengan kedua tangannya. Senyum ditampilkan agar tak terkesan menyembunyikan sesuatu. “Papa ketemu Kak Ailyn di jalan. Sepertinya, Kak Ailyn tidak enak badan. Jadi, Papa bawa ke sini.” Dicubitnya hidung
Karan menceritakan detail peristiwa yang terjadi kemarin sampai diselamatkan Alex yang tak sengaja bertemu Ailyn di rumah bordil. “Kau yakin tidak apa-apa?” Yunita menatap dengan sedikit memicingkan mata. Kalau benar seperti yang Karan katakan tentang Ailyn hampir dilelang, pasti ada hal lain. “Iya, Ma. Ailyn baik-baik,” jawabnya, mencoba tersenyum. “Kau ingat semua yang terjadi, kan?” tanyanya lagi, ingin memastikan. “Tidak semua, tapi Ailyn yakin tidak terjadi sesuatu seperti yang Mama pikirkan,” jawab Ailyn, paham betul maksud mertuanya. “Kau ingin menuduh istriku sudah tidur dengan pria lain, begitu?” Karan langsung bereaksi. “Karan,” lirih Ailyn, menggeleng. “Eh, kau ini kenapa? Aku tidak memikirkan hal macam itu,” ketus Yunita. Kusuma menarik napas. “Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Ailyn saat Karan ataupun Alex belum datang?” Kusuma berpikir keras, tak berani meluahkan langsung. “Baiklah. Biar
Ailyn berpose dengan beberapa orang yang juga menjadi bintang iklan. Ia tampak anggun dengan balutan gaun panjang berwarna teracota. “Okay, sekali lagi. Pindah posisi.” Fotografer memberi arahan. Ailyn yang berada di tengah, kini bergeser ke samping. Wanita itu meletakkan tangan ke kepala seolah membentuk sudut segitiga, dengan kaki sedikit terbuka. Kilatan demi kilatan cahaya membuat suasana pemotretan berjalan lancar. Hadid yang kini menangani semua urusan yang berkaitan dengan Ailyn, dibuat sibuk karena banyaknya tawaran syuting. “Okay, selesai! Kita istirahat 30 menit.” Fotografer duduk sambil memeriksa hasilnya. Ia merasa cukup puas dengan kinerja para model hari ini. “Ailyn sepertinya cocok dengan baju itu. Apa kita minta dia foto sekali lagi? Sekalian kita minta dia berjalan, lalu memutar. Gaunnya cocok dengan tubuh rampingnya.” Seorang wanita memerhatikan Ailyn yang berdiri di depan Hadid, meminum air mineral.
Bella dan Farel keluar dari persembunyiannya setelah Karan pergi. Mereka yakin terjadi sesuatu pada Karan. “Aku akan mengikutinya,” ujar Bella, tapi Farel langsung menahan wanita berpakaian seksi itu. Sejak dipecat, Bella semakin dendam saat ternyata tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimanya. Karan yang semakin berkuasa dan memiliki banyak rekan bisnis, ternyata meminta agar mem-blacklist Bella, jika wanita itu melamar pekerjaan. “Dasar bodoh! Kau lupa apa yang terakhir kali terjadi? Sekolah tinggi, tapi akal tak pernah dipakai!” cemooh Farel. Ia merasa kesal karena Bella selalu melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. “Aku perlu balas dendam, Farel! Aku tidak mau hanya diam sepertimu.” Bella menghentakkan kaki, merasa ingin sekali memukul. “Aku tidak hanya diam. Aku berhasil mencuri berkas dan menjualnya pada pesaing. Sebentar lagi, Karan akan tamat.” Farel menyungging senyum. “Kita tidak hanya berd
Karan tertawa renyah. Dia yakin saat ini Alex pasti mengamuk, entah di mana. Dilihatnya Ailyn masih terpejam dengan napas mulai teratur. Ini adalah kekalahan terbesar Alex setelah berhasil menikahi wanita yang diincar ayah tirinya itu. Karan tersenyum. Siapa sangka, di usia 25 tahun dia sudah memiliki istri. “Setelah pulang, aku akan mengajaknya membeli hadiah untuk Kiran. Aku hampir lupa ulang tahunnya.” Karan membetulkan posisi selimut hingga kini menutupi kaki sampai ke leher. Bukannya memberi waktu istrinya beristirahat setelah bekerja, Karan malah mengajaknya berhubungan badan. “Tidur yang nyenyak, Sayang.” Karan mengecup kening istrinya, lalu ikut memejamkan mata. Seperti dugaan Karan, Alex berteriak keras sambil memukul-mukul kemudi. Napasnya tak bisa dikendalikan. Rasa marah, kecewa, benci, serta dendam memenuhi hatinya. Semua gara-gara Karan! Pria muda itu berhasil membuatnya merasa seperti pecundang.