Pov Winda
Ternyata waktu terlalu cepat berlalu. Aku tidak pernah menyangka akan menjadi seorang ibu sebelumnya. Aku yang dulu selalu pesimis akan hal itu karena mantan suami yang selalu menganggap bahwa aku kurang subur karena terlalu sibuk mengurus butik. Kini merasa sangat bangga dan bahagia karena sudah mematahkan pernyataan itu. Meski, pria itu tak dapat melihat kenyataan ini.
Bayi perempuanku yang sangat cantik dan manja sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. 3 tahun sudah usianya saat ini. Bayi yang kuberi nama Cantika itu, tengah asik menikmati permainan di taman dekat rumah baruku. Baru dua bulan ini, kami pindah ke sini. Karena Mas Hanan membelikan rumah lagi yang lebih besar atas namaku.
Sungguh besar rasa cinta Mas Hanan padaku. Aku merasa seperti wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dari kursi tempat aku duduk kini, aku bisa melihat Cantika sedang berebut perosotan dengan seorang anak laki-laki. Aku dengan cepat menghampiri mereka.
"Siapa itu, Bunda?" tanya Cantika yang berhasil membuatku sedikit terkejut dan kembali tersadar pada keadaan saat ini. "Oh. Di-dia...dia mungkin Mama anak laki-laki itu, Sayang. Anak laki-laki yang tadi ga mau pinjemin kamu perosotan," aku menjawab dengan situasi yang bisa dimengerti Cantika dengan mudah. "Oh, iya. Apa dia ngadu sama Mamanya, Bun?" tanya Cantika lagi. "Kak Winda...," sapa wanita itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Cantika. "Kenapa kamu mencegahku pergi dengan suara lantang? Apa masalahmu?" aku bertanya tanpa basa-basi. "Bukan begitu, Kak. Aku ga tau kalau tadi itu Kak," jawabnya terlihat sangat ragu. "Sayang, aku bawa Cantika ke mobil dulu, ya," Mas Hanan berinisiatif membawa Cantika pergi. Karena sejujurnya aku juga tak ingin Cantika mendengar pembicaraanku dengan wanita ini. "Iya, Mas. Bentar lagi aku nyusul, ya." Mas Hanan mengangguk dan membawa Cantika menuju parkiran mobil. "Jadi, kenapa ema
Pov Heru Setelah lima tahun aku hidup di dalam penjara, akhirnya tiba juga hari dimana kebebasanku akan aku rasakan. Aku tidak tau, mengapa bisa bebas lebih cepat dari vonis yang dulu dijatuhkan Hakim saat ketuk palu. Yang jelas, aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Akhirnya, aku bisa pulang dan bertemu lagi dengan anak serta istriku, Ranisa. Entah bagaimana kini rupanya bayi laki-laki yang aku tinggalkan saat baru dilahirkan itu. Apakah Ranisa ada memperkenalkan aku padanya, meski hanya dari foto-foto saja. Setidaknya, dia mengenaliku dari gambar. Jadi, saat pertemuan pertama kami nanti dia tidak asing lagi dengan ayahnya ini. Aku dengan semangat membereskan barang-barangku yang tidak seberapa. Sambil menunggu petugas datang untuk memanggil dan membukakan pintu jeruji besi ini untukku, aku menyempatkan diri berpamitan dan meminta maaf pada teman satu sel denganku. Ada beberapa orang penghuni lama, ada pula yang baru mengecap pahit dan ke
Dengan dada yang bergemuruh menahan emosi, aku kembali melangkahkan kaki lebih cepat menaiki anak tangga. Meski rumah itu tidak terlalu besar, ternyata memiliki dua lantai di dalamnya. Aku berjalan mengikuti dimana arah suara desahan itu terdengar. Hingga tanpa sadar, kini kakiku berdiri di depan sebuah kamar yang tidak terkunci sama sekali. Pintunya terbuka sedikit. Aku berusaha mengintip, akan tetapi letak ranjang sepertinya ada di belakang pintu. "Mas...kamu nakal banget sih. Siang-siang gini pulang cuma buat minta ginian," suara seorang wanita yang sangat aku kenal terdengar berkata dengan manja. 'Dengan siapa dia di dalam? Apa benar wanita yang ada di dalam kamar ini adalah istri yang aku tinggalkan beberapa tahun belakangan ini? Benarkah itu Ranisa? Apa benar dia telah menikah lagi dan itu artinya dia telah berkhianat dariku. Mana bisa perempuan menikah dua kali. Menikah selama masih dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain. "Gimana dong, S
"Ini, Mas. Surat cerai kita. Udah 5 tahun yang lalu aku buatkan supaya kamu ga susah-susah lagi mengurusnya saat sudah bebas dari penjara," ucap Ranisa dengan penuh keangkuhan."Jadi, kamu memalsukan tanda tangan aku?" tanyaku padanya."Ya, harus gimana lagi. Kalau aku minta langsung sama kamu saat itu, pastilah kamu ga akan mau tanda tabgan. Iya kan?""Hebat kamu, Ranisa. Aku ga pernah menyangka punya istri selicik kamu. Selama ini kamu terlihat lugu dan polos, tapi ternyata aku salah menilaimu. Kau lebih buruk dari wanita malam yang pernah aku temui.""Oh, jadi ngaku sekarang kalau kamu pernah jajan di luar sana. Udah ada istri di rumah, masih aja nyari wanita malam. Untung aku ga kena penyakit menular." Ranisa terlihat bergidik ngeri saat mengatakannya."Sudah lah, jangan mencari-cari kesalahanku. Aku menyesal pernah terjerat dalam perangkapmu. Aku menyesal pernah meninggalkan istri yang setia dan baik seperti Winda hanya demi wanita seperti dir
Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kediaman Ranisa dan Riko. Tidak pernah aku duga sebelumnya, bahwa semua akan separah ini akhirnya. Terlebih lagi, anak yang selama ini aku rindukan ternyata bukan lah darah dagingku. Aku hanya menjadi tumbal kelicikan Ranisa. Sungguh dia gadis yang sangat berbeda dari penampilannya. Aku sudah sangat tertipu oleh penampilan culun dan polosnya. Ranisa ternyata lebih buruk dari yang aku sempat bayangkan. Entah lah, aku sama sekali tidak bisa lagu berpikir untuk hal itu. Aku sudah pasrah dan menerima semuanya dengan ikhlas. Aku sadar sekarang, jika apa yang kita perbuat akan mendapat balasannya cepat atau lambat. Bahkan, balasan itu bisa saja berkali-kali lipat lebih banyak dari yang pernah kita lakukan. Kini aku menyadari bahwa hidup ini sungguh sebuah panggung sandiwara seperti dalam lagu Almarhumah Nike Ardila. Penyanyi kondang yang meninggal di usia muda dan saat karirnya sedang menanjak naik. "Mas Heru!" suara se
Pov Winda Tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah saat hari kerja seperti ini. Cantika sudah selesai aku bantu mandi dan makan. Kami juga sudah bercengkrama dan saling bertukar pikiran tentang liburan akhir bulan yang sudah direncanakan oleh Mas Hanan kemarin. Rumah dan segalanya sudah beres dan rapi. Aku merasa sedikit bosan sebenarnya. Pernah aku berniat untuk kembali mengurus butik, tapi tak tega jika setiap hari harus membawa atau meninggalkan Cantika. Keduanya sama-sama tidak akan baik untuk tumbuh kembangnya. Lagi pula, Mas Hanan tidak memberikanku izin karena saat ini kami berencana untuk menambah momongan lagi. Aku sudah tidak memakai KB lagi dalam dua bulan terakhir. Namun, sepertinya masih belum beruntung untuk bulan ini. Dengan malas, aku menggeser-geser beranda media sosialku di ponsel. Banyak sekali orang yang memberikam tag pada akunku saat ini. Aku merasa heran, tumben sekali teman-temanku menandaiku pada sebuah berita yang berjudul 'Ditemuk
Sudah tiga bulan sejak meninggalnya Mas Heru. Dan aku memang menuruti semua saran Nia. Berusaha tidak peduli lagi pada masa lalu dan memikirkannya. Aku sama sekali berhasil melupakan segalanya dengan sangat mudah. Ternyata, semua itu berasal dari niat dalam hati kita sendiri. Jika kita benar-benar ingin melupakannya, maka lakukan lah dengan sangat elegan. Tidak perlu berusaha sekuat tenaga untuk membencinya. Hari ini aku sengaja pergi ke butik karena memang sudah lama aku tidak berkunjung langsung ke sana. Diana mengurus semuanya dengan sangat baik. Dari bagi hasil yang aku berikan pada Diana, dia sudah mampu membeli rumah dan mobil pribadi. Meski tidak yang terlalu mewah. Tapi, itu cukup berharga karena dibeli dari hasil kerja kerasnya. Diana juga berhasil memasarkan produk butikku ke luar negri. Sejak saat itulah, butik selalu banjir orderan. Diana memang sangat menguasi ilmu marketing yang bagus dan mampu memikat calon pembeli dengan sangat baik. "Bunda, nant
Saat aku membayar semua belanjaanku di toko roti itu, aku masih dapat mendengar pertengkaran hebat antara Ranisa dan seorang wanita yang mengaku suaminya telah diambil oleh Ranisa itu. Kerumunan yang ada di sana terlihat semakin ramai dan tidak sedikit di antara mereka yang menghadapkan kamera ponselnya ke arah dua wanita yang sedang bersiteru itu. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan untuk ditonton. Setelah selesai, aku mengajak Cantika untuk kembali masuk ke dalam mobil. Aku sudah tak ingin tau lagi dengan semua yang menimpanya. Meski dalam hati kecilku merasa iba, karena aku sempat melihat Ranisa sedang diamuk oleh wanita itu. Rambutnya ditarik dan wajahnya ditampar berkali-kali. Mirisnya, di samping Ranisa sedang berdiri seorang anak laki-laki yang aku tau itu adalah anak Ranisa. Entah bagaimana perasaan anak itu saat melihat ibunya dimaki dan dihina, diperlakukan seperti itu di depan umum. Mungkin sekarang ia belum mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.