Tubuh Ray kaku di tempat. Ia seperti mati kutu di hadapan istrinya. Melihat Yumna berada di rumahnya bukanlah keinginannya. Andai bisa ia ingin sekali menyuruh wanita selingkuhannya untuk enyah sekarang juga. "Gimana, Mas, suka dengan kejutannya?" Maharani mulai membuka suaranya. "Me-mereka siapa, Sayang?" Ray pura-pura tidak kenal. "Heh! Jangan pura-pura kamu. Setelah seenaknya hamilin anak orang sekarang pura-pura tidak kenal. Jangan coba lari dari tanggung jawab, ya!" Sundari tak terima. Mata Maharani sedikit melebar. Meski sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tetap saja ia merasa kaget mendengar laki-laki yang hidup bersamanya selama puluhan tahun kini menghamili wanita yang bahkan lebih pantas menjadi anaknya. "Owh ... Jadi ada orang hamil di sini. Kalau begitu ajak mereka masuk dong, Mas. Kasihan mereka panas-panasan di luar," ujar Maharani. "Tidak perlu, Sayang. Mas benar-benar tidak mengenal mereka. Bisa saja mereka sengaja ingin membuat hubungan kita berantakan.
"Assalamualaikum ..." Di tengah perdebatan Sundari dan Ray, terdengar salam dari arah pintu membuat manusia yang saling beradu mulut itu terdiam. "Wa'alaikumsalam, masuk," sahut Maharani. Mendengar itu, tamu yang ternyata adalah Syakila dan Devan pun muncul. Mereka berdua kompak memasang ekspresi terkejut saat melihat Yumna dan Sundari juga tengah bertamu di sana. Padahal yang sebenarnya adalah Syakila sengaja mengajak Devan masuk, untuk melihat bagaimana tiga manusia yang pernah ingin menghancurkan rumah tangganya kini justru mereka yang diambang kehancuran itu. Yumna dan Sundari pun tak kalah terkejut. Seketika jantung Yumna berdegup kencang. Tak semestinya dirinya bertemu dengan Devan dalam keadaan seperti sekarang ini. "Oh, kalian ... Sini masuk saja." Maharani menyambut hangat kedatangan Syakila dan Devan yang kebetulan hubungan mereka memang cukup akrab. "Lagi ada tamu ya, Kak? Maaf mengganggu," ujar Syakila basa-basi sembari berjalan menuju ke arah Maharani. "Buk
"Diam semua!" teriak Sundari. "Dasar anak-anak tidak punya sopan santun," sambungnya mengumpat."Ehm! Baiklah, calon mertua Mas Ray yang terhormat, kami akan diam, tapi tolong kalian pergi dari sini sekarang juga, ya," ucap Maharani."Kami memang akan pergi dari sini, tetapi setelah dua orang itu pergi terlebih dahulu." Sembari menunjuk Syakila dan Devan, secara tidak langsung Sundari mengusir."Memangnya kamu siapa? Menyuruh saya dan istri saya pergi," ujar Devan."Kamu yang siapa? Datang-datang ikut campur urusan kami." Sundari nyolot."Siapa yang ikut campur sih, Bu? Kami memang sudah sering kok datang ke sini. Makanya aku sempat kaget ketika tahu Pak Ray mau membantu Yumna untuk menjebak Mas Devan. Aneh sekali rasanya, rupanya ...""Bohong! Bukan aku yang menjebak, tapi Mas Devan sendiri yang memintaku untuk datang ke sana waktu itu," sanggah Yumna."Aku? Memintamu untuk datang?" Sembari menunjuk dirinya sendiri, Devan kemudian terkekeh, "Kau yakin?""Tentu saja. Aku ada buktinya,
Malam harinya, Ray menghubungi teman-temannya untuk menculik Yumna. Niat buruk itu benar-benar akan dilakukannya. Terlepas dari anak itu darah dagingnya atau bukan, baginya adalah rumah tangganya dengan Maharani tetap aman."Kamu tidak salah, Bro? Bukankah dia Yumna?" ucap salah satu temannya."Iya. Dia sudah tidak lagi aku butuhkan," sahut Ray."Tapi tidak dengan cara seperti ini, Bro. Apalagi dia sedang hamil. Kalau ternyata anak itu benar anak kamu bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku tidak mau menikah dengannya.""Kenapa bukan istri tuamu saja yang kau singkirkan? Kalau dia lenyap, otomatis semua hartanya akan jatuh ke tanganmu."Ray melirik mendengar ide dari temannya. 'Benar juga. Kenapa tak terpikirkan olehku sebelumnya,' batin Ray."Kita buat seperti kecelakaan. Kau tahu hal itu sudah sering kita lakukan." Lagi, teman Ray memberikan ide buruk."Kau benar." Ray tersenyum miring."Yang penting jangan lupa bagiannya ..." Sembari memainkan jarinya, teman dari Ray memberikan kode."K
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.
Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan
"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik