Usai curhat pada Miko mengenai masalahnya kemarin, Cantika memutuskan menemui Olin dan bertanya secara langsung. Benar, orang yang diajak bertukar pikiran mengenai masalah om Dany adalah Miko. Orang terdekatnya, tapi juga tak cukup dekat untuk saling menyelami satu sama lain. Miko sebagai pihak yang sama sekali tidak mengenal keluarganya dan tidak punya masalah terkait orang ketiga, dianggap Cantika sebagai orang yang paling tepat untuk menumpahkan cerita. Hasilnya, Cantika jadi lebih lega setelah bercerita pada Miko. Perutnya yang malam itu melilit sakit sakit karena terlalu banyak pikiran, membaik. “Lin, lo yakin?” Sudah kesekian kalinya Cantika bertanya sampai ia bisa melihat raut muak Olin. “Delapan puluh lima persen,” kata Olin akhirnya. “Tapi buktinya?” “Emang lo mau apa?” “Mau kasih tau nyokab gue, biar negur adiknya. Kasian ‘kan tante Grace. Apalagi om gue punya tiga anak, Lin.” Kadang Olin sakit kepala dengan tingkah lugu Cantika yang keras kepala. Perkara ini bukan se
Sejak terakhir kali pergi untuk melihat-lihat bangunan, Ben belum bertemu lagi dengan Cantika sampai hari ini. Gadis itu juga membalas pesan singkat-singkat, tidak mengangkat telepon dengan alasan tak sadar ada panggilan masuk karena sibuk, tidak juga lari pagi sejak mereka putus waktu itu. Jujur saja Ben cukup kesulitan menghadapi mood gadis remaja yang baru beranjak dewasa itu. Apa ada yang salah dengan dirinya? Atau gadis itu sedang merajuk karena Ben belum sempat membantu tugasnya lagi? Saat tiba di rumah dan tidak melakukan apa-apa, Ben jadi kepikiran oleh gadis itu. Siapa yang menyangka, tiba-tiba Cantika mengirimkan pesan, bertanya apakah Ben ada di rumah malam ini. Ben menjawab pesan itu cepat setelah membacanya. Ben: Aku di rumah Ben: Wassup, babe? Kiara C: Boleh aku ke rumah kamu sekarang? Ben: Sure! Ben: Mau dijemput? Kiara C: Ga usah Ben tidak bisa menyembunyikan rasa senang sekaligus rasa khawatirnya sebab ini kejadian langka; Cantika yang lebih dulu datang ke rum
Intensitas air yang menetes ke lengannya semakin cepat seperti saling berlomba. Ben membiarkan Cantika menangis tanpa suara. Membalik tubuh gadis itu menghadapnya. Kedua telapak tangan Ben menangkup pipinya, sedang ibu jari Ben mengusap sudut mata Cantika yang basah. “You will be alright,” bisik Ben menundukkan kepala, agar tepat menatap wajah Cantika. Dikecupnya bagian bawah dahi gadis itu, di antara sepasang alis Cantika yang terbentuk rapi. Jujur saja, sejak tadi Ben mempertanyakan eksistensi gadis di hadapannya. Bagaimana bisa seorang perempuan yang menangis tetap tampak secantik ini di matanya? Padahal Ben sangat benci melihat wanita menangis. Dia akan berusaha sebisa mungkin berada dalam radius seratus meter dari perempuan yang mengeluarkan air mata. Selain merepotkan, baginya itu memuakkan. Tidak berlaku dengan Cantika, sisi lemahnya seolah membuat Ben turut merasakan kesedihannya, kecemasannya. Tanpa sadar membuat Ben bertekad dalam hati untuk menghibur gadis itu. Tak pernah
Cantika membuka mata perlahan dan menguap. Dia merasa bermimpi semalam. Mimpi luar biasa yang tidak pernah terbayangkan seumur hidupnya. Sambil mengulat pelan, ia menurunkan selimut. Menyadari ada yang tidak biasa dengannya ketika mencoba duduk di ranjang. Kakinya sakit, pangkal pahanya terasa ngilu, badannya pegal-pegal. Cantika langsung terkesiap saat sadar tak ada sehelai benang pun selain selimut yang membungkusnya. ‘Gila, ternyata itu bukan mimpi!’ Jika itu bukan mimpi berarti sekarang di sebelahnya ... Meski sudah memikirkan kemungkinannya, Cantika tetap tersentak juga saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh otot lengan keras pria yang ada di sebelahnya. Menyalurkan ingatan tentang malam panas—dan juga mendebarkan—mereka melalui ujung-ujung jari. Hubungan yang semula dilabeli oleh Cantika sebagai hubungan yang dapat berakhir kapan saja, sekejap berubah menjadi hubungan yang lebih dalam dan tidak sesederhana itu. Namun masih dalam konteks yang sama, tanpa kata cinta. Jadi ben
Ben masih belum percaya pada apa yang dilihatnya ketika terbangun dari tidur. Perempuan yang belum lama ini tidak lebih dari sekadar fantasinya ada di sebelahnya. Bahkan ketika Ben memeluknya dan merasakan kehangatan yang nyata dari tubuh wanita itu, selaganya terasa menakjubkan. Tubuh Cantika berbeda dari wanita-wanita yang pernah bersamanya. Tubuhnya adalah yang paling lembut, dan aromanya paling menyenangkan. Satu malam bercinta dengannya tak akan cukup. Ben merasa tiga bulannya berpuasa dari aktivitas panas nan menghibur lebih dari sepadan saat ia bisa sepenuhnya menyentuh sang putri yang sempurna. Ternyata penantiannya tak sia-sia, kesabarannya berujung pada keberuntungan. Ben sempat ragu meski semua berjalan sebagaimana niatan awalnya; memanfaatkan Cantika. Setelah dia berkata jujur dan mengakuinya pada Cantika, pikirannya berubah. Sifat murah hati perempuan itu yang menggerakkan nuraninya. Namun, Ben tidak bisa menyimpulkan apa yang dirasakannya adalah cinta. Sama sekali tida
Apa yang terjadi di kampus siang tadi meyakinkan Cantika untuk mencari tahu. Kejadian itu cukup mengusiknya. Dia harus memastikan sendiri dengan bertanya langsung pada Ben. Setelah semua hal yang menimpa hubungan mereka, termasuk momen pertama Cantika, entah bagaimana dia jadi lebih sensitif, mudah curiga, dan tak tenang. Sama halnya dengan kafein yang bisa memberi dampak ketergantungan, perasaan gelisah, sulit tidur, jantung berdebar cepat dan tidak beraturan, serta sesak napas jika terlalu sering dikonsumsi. Seorang pria mampu memberi efek kafein pada Cantika. Dan pria itu adalah Ben. “Ben,” panggil Cantika saat makan malam bersama di rumah Ben. Pria itu tidak memasak, begitu pula Cantika. Jadi, akan lebih baik jika mereka berdua memesan layanan pesan antar makanan dibanding mencoba menghancurkan dapur mewah bergaya tropis yang sudah didesain sedemikian rupa oleh Ben dengan sentuhan granit mendominasi. “Yes, babe?” Ben bukan lelaki yang kaku akan tata krama di meja makan, yang me
Hari-hari yang dijalani Cantika bersama Ben berjalan baik. Jika sebelumnya mereka hanya bertemu satu atau dua kali dalam sepekan, intensitas pertemuan mereka kini jadi lebih sering. Mereka mengerjakan tugas Cantika dan pergi berkencan. Ben mengajak makan malam romantis ke beberapa restoran populer dan berkelas. Sampai-sampai Cantika tidak kehabisan bahan foto untuk diunggah ke media sosial. Dia juga kebanjiran pesan masuk dari pengikutnya saat mengunggah foto bersama Ben sekali-kalinya ke story, termasuk Olin. kalori_karolin: Ciee ... tumben dipamerin kalori_karolin: Biasa disimpen dlm HP aja kalori_karolin: Yg lagi berbunga-bunga mah beda ya kiara.cantika: Hehe... Ben yang melihat Cantika berjalan sambil semringah dengan ponsel di tangan pun bertanya, “Kenapa?” “Nggak, cuma baca DM Olin. Kayaknya kangen,” sahut Cantika tertawa. Lelaki itu tersenyum mengerti. “Kalian temenan sejak kapan?” “Enggak selama kamu sama temen kamu, aku kenal Olin pas SMA.” “Tapi kelihatannya kalian k
“Oke, hari ini selesai! Thank you, ladies. Thank you semuanya ...,” ujar seorang wanita yang mengatur jalannya sesi foto iklan mereka. Cantika mengambil tasnya di ruangan khusus yang disediakan untuk para model dan stylist saat seseorang menyapa, “Kiara, kamu ikut makan di luar ‘kan?” Rupanya Ivy, selebgram yang sudah terkenal di media sosial. Jujur saja ketika mengetahui Ivy Angeline Berthian akan bekerja sama dengannya kali ini, Cantika merasa sangat gembira. Disandingkan dengan selebriti media sosial papan atas tentu membuatnya merasa tersanjung. Pertama kalinya Cantika mendapat tawaran sebesar ini. “Oh, Kak Ivy? Senang bisa lihat langsung dan kerja sama dengan Kakak. Aku udah ikutin akun medsos Kak Ivy sejak lama, aku juga selalu lihat postingan Kakak.” “Ya ampun, kamu manis banget! Akun kamu apa? Aku follback sini,” kata Ivy mengeluarkan ponsel dari dalam tas Fendinya. Cantika memberitahu akun media sosialnya, dan betapa girang dia saat melihat notifikasi baru tanda Ivy mengi