"Bagaimana keadaan Mas Tomi, Pak?" Mas Vano memberondong Bapak dengan banyak pertanyaan, sementara aku dan Ibu kini memilih duduk di samping ranjang Mas Tomi. "Beruntung tusukannya tidak terlalu dalam," sahut Bapak lemah. Aku ingat, sebelum berangkat tadi sempat mampir ke Cafe dan membungkus makanan untuk kami semua, mengingat belum ada yang sempat sarapan karena kejadiannya memang begitu cepat. Bahkan, aku mengesampingkan rasa nyeri di sekujur tubuh demi bisa ikut melihat Mas Tomi disini.
Brian pergi meninggalkan rumah Hesti dengan terburu-buru setelah kedatangan ojek online di depan rumah Eni. Tanpa menoleh ke belakang lagi, Brian meminta sang driver untuk menarik gas dengan kecepatan penuh. "Cepet, Bang!" Tepuk Brian di pundak lelaki yang duduk di depannya. Hesti melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum sumringah. Sementara Brian enggan menoleh sedikitpun membuat bibir Hesti sedikit mengerucut. Saat tubuh Brian semakin hilang dari pandangan, Hesti kembali masuk ke dalam rumah dan menghempaskan bokongnya di kursi tua milik keluarganya.
"Kondisi Bu Halimah tidak begitu menghawatirkan, Pak. Saya sudah berikan jadwal konsultasi hingga sepekan yang akan datang. Jangan khawatir, Bu Halimah baik-baik saja, dia hanya butuh telinga untuk mendengar semua yang dia alami. Tolong ... usahakan selalu bertanya apa yang sedang Bu Halimah rasakan agar dia tidak merasa sendiri. Karena seringkali ucapan orang-orang disekitar cukup berpengaruh pada kesehatan mental kita, Pak." Vano mengangguk mengerti. Dia menggenggam jemari Halimah dengan lembut. "Kita kembali ke kamar Mas Tomi, Dek?" Halimah mengagguk dan memeluk dokter di depannya
"Jaga mulutmu, Halimah! Berani-beraninya kamu menghinaku seperti ini. Ingat ya, calon suamiku itu pengusaha kaya, aku bisa melaporkan kamu dengan pasal pencemaran nama baik. Kamu kira cuma kamu yang bisa bermain-main dengan polisi," ujar Hesti. Nafasnya semakin memburu saat melihat bibir Halimah terangkat satu, seolah sedang meremehkan apa yang sudah Hesti banggakan. "Apa kamu lupa kalau aku juga hidup di kota? Mengatasi masalah hukum bagiku sangat mudah. Calon suamiku pasti bisa membebaskan Tarjo dari penjara." Hesti bersedekap dada dan tersenyum penuh kemenangan menatap Halimah. "Mbak Hesti ... Mbak Hesti. Kamu kira aku nggak tau siapa lelaki yang kamu anggap sebagai calon suami itu? Dia sudah punya istri kan?" Hesti mengangguk cepat, "Memang! Dan semua tetangga juga tau it
Kakak iparnya itu membuang muka dengan menghela nafas kasar. Sedangkan Halimah tersenyum tipis tapi melihat gelagat gelisah yang Hesti tunjukan. Sengaja, Karim menemani Tomi di dalam kamar sementara Leha menemui para tetangga di ruang tamu bersama Vano. Halimah yang tadi memilih beristirahat tiba-tiba keluar dari kamar dan membalas semua ucapan Hesti. "Udahlah, Gin. Ngapain bahas hal kayak gini disini sih!" gerutu Hesti. "Udah kubilang kan? Jangan halu, Mbak. Ngakunya pintar tapi mau aja dibodohi laki-laki!" cibir Gina sengit. "Sekarang gimana coba cara kita bebasin Kang Tarjo?"
Mendengar nama calon mantan istrinya disebut, Tomi berjalan tertatih menuju dua lelaki berseragam polisi itu di depan rumah. Vano dengan sigap membantu kakak iparnya berjalan, sementara Halimah menggigit bibirnya pelan dengan satu tangan memeluk lengan Leha. "Ada apa ya, Pak?" tanya Vano. "Bu Astri mengalami kecelakaan, sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit. Motornya ringsek parah dan untuk saat ini berada di kantor polisi, Pak. Untuk dompet dan ponselnya, kebetulan kami bawa. Silahkan," ujar salah satu polisi sembari menyerahkan dompet dan ponsel Astri ke tangan Vano. "Korban menerob
Kurang ajar mereka!" geram Tomi. Dengan gegas Vano membawa mobil masuk ke dalam halaman rumah Handoko yang kebetulan pagarnya juga sedang terbuka lebar.Handoko dan istrinya sontak berdiri melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah mereka tanpa permisi.Asvia berkacak pinggang, namun setelah melihat Tomi yang keluar dari dalam mobil, langkahnya beringsut mundur dan membuang sapu dari tangan Tirta.Tirta berlari menghambur di pelukan Tomi. Bocah kecil itu menangis terisak dengan menyembunyikan kepalanya di perut ayah tirinya. Halimah mengambil alih Tirta dan membawanya ke pelukan. Sementara Handoko nampak marah melihat Tirta begitu dekat dengan keluarga suami mantan istrinya."Benar-benar lelaki pengecut! Anak sendiri kamu perlakukan sep
"Awas kalian, akan kulaporkan ke polisi!" teriak Handoko dengan lantang. Dia mengumpati mobil Vano yang semakin menjauh dan menghilang di belokan menuju jalan raya.Tomi mendesah dan menyandarkan punggungnya di kursi mobil bagian tengah, "Kira-kira salah apa bener yang aku lakuin ini?" Entah siapa yang dia ajak bicara, tapi matanya menatap Tirta yang meringkuk dalam pelukan Halimah."Jika dibilang salah, kamu memang salah, Nak. Kamu kalah posisi kalau dibandingkan dengan Handoko," sahut Karim. "Tapi jika dibilang benar ... kamu juga benar karena berusaha menyelamatkan Tirta dari kebengisan Papa dan Mama tirinya," sambung Karim lagi."Tapi tentu saja dengan segala konsekuensinya, Mas. Kita harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Kita juga tidak tau apa Handoko berniat melap