"Apa kabar, Mas Vano?" tanya Ki Kusumo seraya menjabat tegas tangan Vano."Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Mari mampir dulu, Pak. Ini rumah mertua saya," ujar Vano seraya menunjuk rumah Leha tepat di depan dia berdiri.Kusumo melihat rumah Leha sejenak dan menyunggingkan senyum tipis saat matanya bersiborok dengan mata Halimah. Istri Vano itupun mengangguk sopan lalu membawa Leha dan Karim masuk lebih dulu ke dalam rumah."Kapan-kapan saja, Van. Ini saya lagi ada urusan sama tetangga kamu.""Kalau boleh tau, siapa, Pak?"Ki Kusumo terkikik dan berbisik di telinga Vano, "Hesti. Anak sulung Bu Eni. Kamu kenal?"
"Dek!" panggil Vano dari depan rumah. Halimah berjingkat, lalu berpamitan pada Diah untuk masuk."Ingat kata-kataku, Hal. Bisa jadi suamimu itu kayak pacar Hesti. Pinjam uang dengan surat perjanjian. Hesti sampai histeris loh tadi. Penasaran aku," seloroh Diah mencoba menakut-nakuti Halimah.Halimah hanya tersenyum tipis lalu berlari kecil menuju ke rumahnya. Hatinya diliputi kecemasan. Melihat keakraban Vano dan Ki Kusumo tadi, seolah menjelaskan jika mereka bukan hanya sekedar kenal sebagai Bos dan pelanggan Cafe tetap saja. Tapi ada hal lain, dan Halimah tidak tau itu."Siapa laki-laki tadi, Mas? Bu Diah bilang dia rentenir?" selidik Halimah."Emang. Dia emang rentenir. Kesini ada urusan katanya," jawab Vano datar. Dia tidak ingin Halimah menc
Eni merampas gunting di tangan Hesti dan melemparnya ke segala arah. Hesti menunduk. Dia menangis tapi tidak bersuara. Dunianya hancur saat tau jika Brian ternyata hanya memanfaatkan dirinya, dan sekarang ... dia justru harus menjadi penebus utang pada Ki Kusumo."Biarkan aku mati, Bu," lirih Hesti.Eni memukul kepala Hesti dengan keras. Terdengar rintihan dari mulut putri sulung Eni itu dengan satu tangan memegang kepalanya yang terasa sakit."Jangan bodoh! Kamu kira dengan kamu mati, maka semuanya selesai, begitu?" teriak Eni lantang. "Memang ... selesai bagi kamu, tapi tidak bagiku, Hes. Kamu yang datang kesini sama Brian brengsek itu dan merengek-rengek minta sertifikat sawah ... tapi apa sekarang yang kudapat? Bukannya mobil mewah kayak punya Halimah ... justru lelaki sialan it
"Ka ... kamu hamil?"Arini mengangguk ragu. Jemarinya mengelus perut yang masih rata di depan Eni. Sebisa mungkin Eni menahan diri agar tidak murka. Justru senyuman bahagia dia lontarkan sembari mencari cara bagaimana agar janin Arini bisa luruh."Sialan! Bikin tambah malu aja nih anak kalau sampai para tetangga tau dia hamil," batin Eni cemas."Aku harus bisa menggugurkan kandungannya." Eni bermonolog dalam hati dengan kedua mata memicing menatap Arini yang tengah bahagia sekali bisa mengatakan kabar kehamilannya pada Ibu Tarjo."Tapi, Rin ... apa nggak sebaiknya kamu gugurkan dulu bayi itu?""Tidak akan!" sahut Arini cepat. "Janin ini adalah penguat hubungan cintaku dengan Kang Ta
Fani menatap Halimah dengan napas memburu. Sebelum suasana semakin runyam, Astri menarik kasar tangan Fani dan berpamitan untuk pulang pada keluarga Leha.Halimah mendesah. Dia merasa banyak sekali masalah yang mendatangi hidupnya kini. Terbesit keinginan untuk membawa Bapak dan Ibunya untuk tinggal di kota saja. Untuk apa hidup di desa jika suasananya sudah tidak senyaman dulu lagi."Sabar, Nak. Satu per satu masalah ini pasti menemukan jalan keluarnya," hibur Leha pada Halimah.Mereka semua diam, bergelut dengan pikiran masing-masing, hingga suara telepon genggam Halimah berbunyi nyaring di ruangan."Mas Vano," gumam Halimah.Dengan cepat dia menggeser ikon ke kanan, terdengar kericuhan di seberang sana yang tertangkap di ponsel Halimah."Ribut sekali, Mas. Apa baik-baik saja?" Karim dan Leha mendekat, begitu juga Tomi, mereka benar-benar khawatir dengan keadaan Vano yang sedang men
"Ayo, arak dia! Dasar wanita murahan!""Berani-beraninya kamu kumpul kebo dengan suamiku, hah? Wanita nggak tau diri!""Gundul saja rambutnya! Bila perlu hajar sekalian!"Teriakan demi teriakan dari luar rumah terdengar begitu nyaring membuat seluruh keluarga Halimah keluar dan melihat apa yang sedang terjadi."Astaghfirullah!" Halimah menutup kedua mulutnya. Dia kembali masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan membawa selimut lebar.Dililitkannya tubuh Gina hingga tidak lagi telanjang bulat. Kemarahan para warga membuat tingkah Halimah semakin memancing emosi. Mereka beranggapan jika Halimah sok baik karena berusaha melindungi Gina yang tertangkap basah sedang berbagi peluh dengan suami Bu Afifah, bendahara di kampung ini."Minggir kamu, Hal! Jangan berani-berani menutupi tubuh wanita jalang ini. Dia pantas dipermalukan!" teriak Destina, anak Bu Afifah da
"Usir saja dia, Pak RT, jangan diterima lagi di kampung ini!" teriak Afifah lantang. Nafasnya memburu membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain, apalagi di depan anak kecil ... anak Gina dan Kusaini.Memang ... tujuan Gina saat itu adalah pergi dari kampung dan kembali ke rumah orang tuanya. Siapa sangka, di jalan dia justru bertemu dengan Faisal, salah satu langganan malam yang hampir tidak pernah lagi mencicipi tubuhnya sejak menjabat sebagai bendahara kampung.Melihat Gina berjalan dengan seorang anak kecil, Faisal memberanikan diri menawarkan bantuan, tentu saja bukan bantuan cuma-cuma, keduanya membuat kesepakatan bersama, setelah memuaskan Faisal, lelaki itu akan mengantar Gina kembali ke kampung halaman.Tapi sayang ... malang tak dapat di tolak. Afifah pulang lebih cepat dari kumpulan ibu-ibu sosialita. Hatinya tercabik bahkan terkoyak melihat suaminya bergumul dengan Gina, tetangganya sendiri sekalipu
Dada Kusaini terasa nyeri. Bagaimana bisa seorang ibu begitu mudah melepaskan anaknya. Kusaini pikir, dengan menahan sang buah hati, itu artinya menahan kepergian Gina dari hidupnya. Tapi salah ... Gina justru senang ketika Kusaini menahan langkah buah hatinya untuk mendekat ke arah dimana dia berdiri."Bawa anak itu ke rumah, Kus. Benar-benar wanita gemblung! Sana pergi kamu, jangan balik lagi ke kampung ini!" usir Eni dengan berkacak pinggang.Gina berjalan gontai menyusuri jalanan kampung yang lenggang. Di tengah jalan, dia bertemu Tomi dan keluarganya yang hendak ke balai desa."Pulang saja ... semuanya sudah selesai," tutur Gina datar tanpa menghentikan langkah.Mereka bungkam. Satu sisi begitu iba dengan takdir Gina, tapi di sisi lain, kelakuannya memang tidak bisa dibenarkan."Oh ya ... Terima kasih karena kamu telah merusak kehidu