Share

Perjalanan Pulang

“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. 

“Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.

“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.

“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.

“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.

“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah terasa menggunung tinggi.

“Saya sudah pesan ojek, nanti dijemput,” tolak nya, tentu saja dia akan menolak, dirinya sudah tidak ingin berada di dekat Bima lagi. Gara-gara Bima dirinya harus berhenti dari sini. Entah dengan apa dirinya menafkahi Ardan nanti.

“Suruh pulang aja ojeknya, bilang kamu diantar,” perintah Bima, dirinya gusar, dia tidak suka penolakan. Dia juga ingin memastikan Evi untuk tidak pernah membocorkan kejadian malam itu.

Evi tetap menggeleng,

“Maaf, Pak saya naik ojek aja."

“Sudahlah Pa, lagian kenapa sih ngotot amat mau nganterin, lagian rumah Evi hampir 30 menit perjalanan dari sini. Nanti Papa telat,” sela Vida, tidak suka. Mulut Bima yang sudah terbuka ingin memaksa Evi jadi terkatup lagi. Tidak enak hati melihat istrinya merengut, takut dia akan curiga nanti.

“Ya sudah, kalau gitu Papa pamit dulu,” kata Bima akhirnya mengalah. Dia mengecup kening istrinya, setelah Vida mencium tangannya.

Pemandangan itu memang yang sering Evi lihat setiap pagi. Bima memang selalu seperti itu, memperlakukan istrinya dengan lembut dan romatis. Entah mengapa kali ini hatinya terasa nyeri. Ada rasa muak yang juga bercampur di sana.

Evi sempat berpikir ingin punya suami yang seperti itu sebagai pengganti Ayah Ardan. Namun kini semuanya telah pupus seiring Bima membuka topeng nya.

“Bu,” Evi menahan langkah Vida yang kan masuk kamar setelah mengantar Bima keluar.

“Apa lagi? Perlu ongkos?’ tawar Vida. Dia memang seperti itu, tidak pernah pelit dengan uang.

“Bukan Bu, saya mau bilang, mungkin saya nggak balik lagi kerja di sini,” katanya pelan. Vida tersentak, berbalik penuh menghadapnya dengan pandangan marah.

“Kamu apa-apan sih Vi,” berangnya seketika. 

“Dikasih hati minta jantung. Dikasih izin pulang malah mau berenti, lagian ada apa tiba-tiba minta berenti, ada masalah apa?” lanjutnya gusar, matanya nyalang mencari jawaban di wajah Evi, Evi menunduk.

“Nggak bisa, kamu baru bisa berhenti kalau sudah ada yang gantiin kamu!” tandas Vida.

“Pulang dua hari aja,  saya kasih waktu sampai lusa, apapun keperluanmu bereskan jika kamu tidak kembali gajimu bulan ini tidak akan saya bayarkan. “

Evi menatap Vida yang menghilang ke dalam kamar dengan nanar. Sudahlah yang penting dirinya pulang dulu saja. Nanti dipikirkan lagi apa dirinya masih akan kembali atau tidak. 

Bima memperhatikan langkah Evi melalui kaca spion. Dia memang belum berangkat. Hanya melajukan mobil sedikt menjauh dari rumah. Bima mendengkus, saat melihat Evi terus berjalan tanpa ada ojek yang datang, ternyata Evi bohong soal menjemput. Tidak ada yang menjemputnya.

Bima menghentikan langkah Evi dengan membuka pintu mobilnya saat langkah Evi sudah dekat. Evi tersentak tampaknya dia tidak menyadari kalau itu mobil Bima.

“Naik,” perintahnya tegas tanpa turun dari kursi pengemudi. Evi menggeleng kuat, dirinya tidak akan pernah mau lagi berada di dekat Bima.

“Naik atau saya turun untuk membopong kamu,” ancam Bima, Evi menghentak langkah kesal dengan ancaman itu. Ada kemungkinan Bima hanya mengancamnya agar naik tetapi kalau sampai Bima benar-benar melaksanakan ancaman itu, apa kata orang. Akhirnya dia naik dengan wajah ditekuk.

“Kenapa sih Bapak suka sekali memaksa?”gerutu nya setelah duduk di depan dengan Bima. Bima memang membukakan pintu depan untuknya.

“Yah karena kamu suka dipaksa,” balas Bima santai sambil menstater mobil nya. Ada senyum jahil tersemat di bibirnya. Evi memalingkan wajah ke luar jendela. Hatinya geram sekali. Marah dan kesal.

“Kenapa kamu harus berhenti kerja, saya tahu kamu masih butuh uang untuk anak dan ibumu?” tanya Bima memecah kesunyian.

“Saya tidak mau menjadi budak nafsu Bapak!” tandas Evi tanpa mengalihkan pandang. Bima tersentak, kalimat itu sangat tidak enak di telinga. Terasa tepat menghujam jantung.

“Maaf, Vi,” desis Bima membuat Evi makin meradang, semudah itu dia bilang maaf.

“Saya tahu saya janda Pak tetapi bukan berarti Bapak berhak memperlakukan saya seperti ini. Saya masih punya harga diri, Saya menjaga diri saya selama ini tetapi Bapak menghancurkan nya dalam sekejap,” murka Evi.

Bima diam membiarkan Evi terus memuntahkan unek-unek nya. Bima sesungguhnya malu, tidak bisa menahan keinginannya pada Evi hingga memaksa. Sekian lama dia bertahan dari setiap penolakan istrinya. Setelah kejadian malam itu bersama Evi, dia sungguh tidak tahan lagi.

Tiga tahun Evi bekerja padanya sebagai seorang janda anak satu. Interaksi yang dilakukannya pun terbatas, meskipun Evi melayani hampir semua kebutuhannya. Apalagi jika istrinya pergi. Namun setelah kejadian malam itu dirinya baru menyadari jika Evi sangat menarik.

Wajahnya polos tanpa make up dengan rambut ikal melebihi bahu yang selalu diikat satu. Tidak ada yang istimewa, semua biasa dan harusnya memang biasa. Entah mengapa Bima jadi sangat menyukainya. Sejak malam itu, apapun yang melekat pada Evi jadi tampak indah di matanya.

Seharusnya dirinya tidak boleh begini, Usia Evi satu tahun lebih tua dari anak sulungnya. Dirinya tidak pantas melakukan itu, apa jadinya kalau terjadi sesuatu pada Evi. Dua kali dirinya melakukan tanpa pengaman. Bagaimana kalau sampai Evi … hamil.

“Berhenti, Pak,” teriak Evi. Bima tersentak dari lamunan. Memandang sekeliling, mereka baru tiba di perbatasan desa Evi, mengapa dia minta berhenti.

“Saya turun di sini saja, pak,” pinta Evi sambil mengemasi barang-barangnya. Bima seketika menggeleng, menolak permintaan itu.

“Saya akan antar kamu sampai ke rumah,” tegasnya sambil bermaksud melajukan kembali mobilnya. Evi reflek menahan tangan Bima.

“Jangan Pak!” tahannya, Bima melirik tangan Evi yang berada di lengannya. Merasakan getar yang merambat ke dada. Evi tersadar seketika, segera melepaskan.

“Maaf,” cicitnya sambil kembali menghadap ke depan, menghindari tatapan Bima.

“Saya turun di sini aja, Pak. Saya nggak mau nanti tetangga bergosip macam-macam kalau saya diantar Bapak. Lagi pula sudah siang Pak, Bapak harus kerja,” papar Evi berharap Bima mengerti.

“Ini masih jauh, Vi,” tolak Bima

“Pak, please saya sudah biasa,” desak Evi. Bima akhirnya mengalah, membuka central lock dan membiarkan Evi turun dari mobilnya.

“Vi, kabari saya kalau ada apa-apa denganmu, “ pesan Bima sebelum langkah Evi menjauh.

“Termasuk jika … kamu hamil,” lanjutnya tercekat tanpa memandang Evi. Bima memutar mobilnya meninggalkan Evi yang mematung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status