Dengan penuh amarah dia melajukan mobilnya menjauhi kos san Evi. Rahangnya mengeras, tangannya menggenggam setir dengan kencang.Dia sudah merangkai rencana untuk bertemu Evi. Atasan Evi tadi melapor jika Evi mengajukan surat resign. Anjas ingin menanyakan alasannya resign. Selain itu dia juga rindu ingin bertemu. Sepuluh hari tidak melihat Evi terasa sangat menyiksa.Namun semua rencananya patah saat melihat lelaki itu memasuki pagar kos san Evi. Anjas ingat lelaki itu, dia yang menjemput lelaki tua yang mengaku calon suami Evi.Apa niat Evi resign berhubungan dengan kedatangan lelaki itu? Pada akhirnya dia memutuskan mau untuk menikah dengan calon suaminya?Anjas merasakan luka yang tidak berdarah di hatinya, sakit sekali.Dia pernah patah hati karena penolakan orang tua Reina dan tindakan mereka memisahkan Reina darinya. Anjas tidak ingin patah hati lagi. Cukup sudah sekali jangan sampai terulang lagi, tetapi mengapa begini?Anjas mengurangi kecepatan mobilnya saat sebuah mobil mend
“Ante.”Suara itu membuat Evi tertegun, ada yang terasa membuncah di dadanya. Evi menoleh, mencari arah suaranya. Jantungnya terasa berdetak kencang, kerinduan dan berbagai rasa bercampur membuatnya tidak menentu.“Ante.”Suara itu datang lagi diikuti sesosok anak kecil dengan rambut dikucir dua yang menabrakkan diri pada dirinya. Evi rasanya masih tidak percaya, dia pikir tidak akan pernah lagi bertemu. Dia pikir Anjas tidak akan pernah mengizinkan mereka untuk bertemu lagi.Evi mensejajarkan tingginya dengan tubuh kecil itu, membalas pelukannya lebih erat.“Dia selalu menanyakanmu dan mengajak bertemu denganmu.”Evi mendongak, menemukan Anjas yang berdiri menjulang di hadapannya. Tangannya santai dimasukkan ke saku.“Papa jahat Ante, nggak mau ngajak ketemu Ante,” Adu Chesa sambil melepaskan pelukan. Evi bangkit. Sedikit kecewa mengetahui Anjas menemuinya demi Chesa. Dirinya ternyata terlalu berharap.Suara bisik-bisik di sekitarnya menyadarkan Evi jika mereka sedang berada di dapur
“Papa tahu kamu membenci Papa, tidak dapat memaafkan Papa, karena kamu menyukai Evi. Kamu tidak mungkin bersatu dengan Evi karena Papa. Papa sungguh menyesal Rif. Papa salah tetapi tolong Papa untuk sekali ini Rif. Demi keutuhan keluarga kita, demi adik-adikmu,” pinta Bima memelas. Dia harus bisa membujuk Arif agar memaafkannya. Ini satu kunci menggoyahkan keputusan Vida untuk berpisah.Arif bergeming dengan wajah datar.“Papa tidak tahu akan gimana jika sampai pisah, apa kata nenek dan kakekmu nanti? Apa juga kata keluarga besar kita Rif? Jika Papa Mama sampai berpisah?” lanjutnya, Arif tersenyum sinis.“Mengapa Papa tidak berpikir ke sana saat akan melakukan Pa. mengapa sekarang Papa seolah membebankan kesalahan padaku dan Mama?”“Arif, Papa tidak …”“Demi adik-adik? Demi keluarga besar kita? Papa pikir Papa tidak mengalihkan tanggung jawab pada kami Pa? Aku dan Mama dipaksa memaklumi pengkhianatan Papa demi itu,” beber Arif memotong kalimat ayahnya. Bima kehilangan kataMatanya men
Evi memberontak hebat dari kungkungan Bima, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri. Namun percuma, tenaga itu terlalu kuat untuk dilawan, apalagi rumah sepi hanya mereka berdua. Tidak ada yang mendengar meski dirinya berteriak. Hujan di luar membuat keadaan di luar rumah pun sepi. Dia hanya bermaksud mengantarkan kopi yang diminta Bima. Majikan berusia hampir 50 tahun tampak sedang lembur dengan berkas berserakan. Evi meletakkan kopi itu di meja dekat Bima tetapi saat akan keluar Bima menariknya, memeluk tubuh rampingnya dan menjatuhkannya ke tempat tidur sambil meracau. “Sebentar saja Ma, Papah ingin sekali." “Please, Ma, Papah ingin sekali,” bisik Bima di telinga. Evi terperangah mendengar itu. Dia yakin sekali Bima saat ini sadar, tidak sedang mabuk. Namun mengapa dia menganggap dirinya, istri? “Pak saya Evi bukan Ibu,” bantah Evi mencoba menyadarkan Bima, Bima sempat tertegun tetapi saat merasakan Evi hampir terlepas dia segera memerangkapnya kembali. “Tolong jangan lakukan,
Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa membuka pintu.“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi. Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selal
Besok aja, ya Pah, Mamah cape,” tolak Vida sambil menyingkirkan tangan Bima dari pinggangnya. Bima mencelos, dia berbalik dengan hela napas berat. Entah sudah berapa kali Vida menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal dirinya masih butuh, walaupun usia sudah tidak muda lagi. Dua tahun lagi dirinya memang berusia 50 tahun sedang istrinya tiga tahun di bawahnya. Anak mereka sudah besar. Yang sulung sudah selesai sekolahnya, baru tiga bulan lalu di ambil sumpah profesi sebagai dokter dan sekarang bekerja di rumah sakit swasta. Yang kedua masih kuliah semester 4 dan si bungsu SMA.Apakah memang dengan usia dan kondisi seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk mereka melakukan itu? Apa yang salah? Mengapa istrinya selalu menolak?“Kita sudah tua, lo, Pah. Anak-anak udah gede,” tolaknya, atau pada lain waktu,“Mamah besok mau berangkat pagi, Pah takut kesiangan.” Lagi dan lagi, Bima harus menelan kecewa karena penolakan itu. Dirinya juga sudah lupa kapan terakhir mereka bersama. Lelaki y
“Kenapa Vi?” desak Vida lagi. Evi menghapus pelan air mata yang jatuh ke pipi. “Ibu mengabari kalau Ardan sakit, Bu. Saya khawatir,” jawabnya sambil menunduk, takut kebohongannya akan terbaca oleh Vida. Dalam hati dia berdoa semoga Ardan baik-baik saja. Bima diam-diam menghembuskan napas lega mendengarnya.“Kapan mengabarinya?” tanya Vida lagi tidak puas, rencana keberangkatan nya terancam batal kalau begini. Kenapa sih anak Evi harus sakit sekarang.“Tadi pagi abis subuh, Bu,” jawab Evi singkat berharap Vida mau membatalkan kepergiannya dan mengizinkannya pulang.“Ya sudah berkemas lah, nanti kalau Ardan sudah sembuh, cepat balik lagi kesini ya.” Putus Vida akhirnya. Dirinya tidak tega kalau alasannya karena anak Evi sakit, apalagi Evi sampai menangis seperti itu.“Ya sudah kamu bareng saya aja, saya antar, mumpung masih pagi, ayo,” ajak Bima sambil menegakkan diri. Dia sudah selesai memakai kaos kaki. Evi menggeleng seketika tanpa mengalihkan pandang. Bencinya pada Bima telah teras
Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi. “Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini mema