Share

Dia curiga

Evi tertegun lama, merasa takut untuk membuka pintu. Dia kembali ke kamar untuk melihat cermin. Meneliti kembali setiap inci leher nya. Takut sekali jika tanda merah itu masih terlihat. Namun suara bel yang dibunyikan dengan tidak sabar, membuat perempuan semampai dengan tinggi 155 cm harus tergesa  membuka pintu.

“Ibu sudah pulang?” sambut Evi sedikit gugup, Di hadapannya berdiri wanita setengah baya berjilbab yang masih terlihat cantik. Dia mengernyit melihat seperti ada yang berbeda dengan penampilan Evi. Rambutnya tampak terurai tidak diikat, membuatnya terkesan tidak rapi.  Evi mengabaikan itu, segera mengambil alih koper di tangan majikannya.

“Lama banget buka pintunya ?” sungut Vida sambil masuk melewati Evi.

“Maaf, Bu saya masih di kamar mandi tadi,” jawab Evi mencari alasan. Vida mengangguk melihat sekeliling ruangan yang belum selesai di pel oleh Evi. Melihat lagi penampilan Evi dengan risih. Biasanya perempuan muda yang telah memiliki anak itu tampak rapih. Rambut itu selalu diikat satu.

“Nggak risih kamu bekerja dengan rambut tidak diikat begitu?” protes nya.

“Iya, Bu tadi buru-buru jadi tidak ingat meletakkan karet rambut di mana, Bu,” kilah Evi mencari alasan, Vida mendengkus sambil melanjutkan langkah menuju ruang makan. Merasa alasan Evi cukup masuk akal. Terserahlah, pikirnya yang penting rumah beres.

“Bapak sudah berangkat ya?” tanyanya lagi sambil menandaskan segelas air putih. Evi meletakkan koper majikannya di dekat pintu kamar.

“Sudah Bu dari tadi,” jawab Evi

“Taruh saja di situ, Vi, nanti saya bawa masuk sekalian mau tidur dulu,” kata Vida. Dada Evi berdentum mendengarnya. Seketika dia ingat, dirinya belum sempat membereskan kamar itu. Seperti apakah rupanya? Evi memang terbiasa membereskan kamar itu hanya bila Vida di rumah. Dia tidak ingin dituduh macam-macam. Bagaimana kalau Vida mencurigai sesuatu. 

Dada Evi makin berdebar saat Vida membuka pintu kamar dan masuk. Dia menunggu Vida murka karena kamar itu berantakan. Namun lima menit berlalu tanpa ada keributan, Vida bahkan seperti menghilang di dalam kamar. 

Evi menghembuskan napas lega sambil melanjutkan kembali mengepel lantai. Namun baru saja Evi membilas lap pel dalam air, suara pintu kamar yang terbuka mengejutkan nya.

“Kamu membereskan kamar ini,Vi? Mengganti spreinya, kemaren spreinya bukan ini, lagi pula baru saya ganti?” tanyanya dengan bingung membuat Evi tergagap.

“Sa..saya nggak ganti, Bu. Saya belum masuk kamar Ibu,” jawab Evi. Vida makin mengernyit. Merasa ada yang janggal.

“Aneh, apa Bapak yang ganti? biasanya Bapak nggak pernah peduli sama sprei,” decaknya bingung. Menutup kembali pintu kamar. Evi tidak tahu harus lega atau malah makin was-was. Selama ini majikan lelakinya itu hanya tahu bekerja, tidak pernah tahu soal beberes rumah.  Hanya saja Evi sedikit lega jejak kejadian semalam tidak terlihat dengan digantinya sprei itu.

Mengingat itu, Evi mengepalkan tangannya kembali dengan dada bergemuruh.

***

“Masih belum diikat rambutmu, Vi?” tanya Vida. Evi nyaris terlonjak mendengarnya. Hampir saja wadah berisi ikan yang akan digoreng jatuh, untung perempuan cantik itu sigap menahan.

“Ibu ngagetin,” keluhnya sambil meletakkan tangan di dada, merasakan jantung yang seakan ingin lepas.

“Berarti kamu melamun kalau sampe segitu kagetnya,” tanggap Vida tidak acuh. 

“Rambutmu itu nanti jatuh ke makanan, masih belum ketemu karetnya?” lanjut Vida masih mempersoalkan rambut Evi. Evi tidak biasa seperti itu, dia selalu rapih saat mengerjakan pekerjaan dan memasak.

“Eh, iya Bu, sebentar, saya cari dulu,” pamit Evi meninggalkan ikan yang masih berada dalam penggorengan. Secara otomatis dia meminta bantuan Vida untuk menjaganya. Vida menghela napas. Sudah biasa memang, Evi kadang meminta bantuannya sebentar untuk menunggu masakan. Vida tidak pernah mempersoalkan.

Zaman sekarang sudah sulit mencari pembantu, hampir rata-rata memilih bekerja di luar kota atau di luar negeri. Evi bisa betah bekerja padanya selama tiga tahun sudah cukup membuatnya bersyukur. Apalagi Evi cekatan dan tidak neko-neko.

Sementara di kamarnya Evi merasa jantungnya berdetak tidak karuan saat mengikat rambutnya. Dia sungguh tidak percaya diri, takut kalau masih ada tanda merah yang tidak berhasil disamarkan. Tangan Evi mengepal mengingat itu. Dadanya seperti akan meledak, gara-gara itu segalanya sudah tidak sama lagi.

Evi keluar kamar dengan ragu. Rambut telah rapi diikat satu, dia juga sudah bolak-balik memeriksa leher sudah tidak ada lagi tandanya. Namun rasa takut masih memenuhi hati nya.

Evi menghembuskan napas panjang, memantapkan hati melangkah ke dapur, dirinya tidak mungkin meninggalkan penggorengan itu lama-lama dan mengandalkan majikannya. Bisa semakin marah nanti.

“Lama banget,Vi, besok beli karetnya selusin sekalian biar nggak repot,” gerutu Vida menyambut langkah Evi.

“Iya, Bu,” sahut Evi tidak enak hati,“ maaf.”

Alis Vida tampak bertaut melihat beberapa bagian di leher Evi seperti menggunakan krim. Warnanya berbeda, apa Evi sedang menutupi sesuatu? Karena tidak pernah menggunakan krim, Evi sepertinya fokus menggunakan pada daerah yang ingin ditutupi. Tidak meratakan nya.

“Kamu nggak aneh-aneh kan, Vi pas saya tinggal semalam?” selidiknya curiga, Evi tersentak.

“A … aneh-aneh gimana maksudnya, Bu?” Evi balik bertanya sekedar meredakan detak kencang di jantungnya, apa tanda merah itu ada yang terlihat.

“Siapa tahu kamu diam-diam membawa lelaki masuk ke rumah ini,” jawab Vida santai mencoba membaca reaksi Evi. Evi mengeleng kuat.

“Saya nggak mungkin berani, Bu,” sahut Evi dengan menunduk berusaha menghindari tatapan Vida ke arah lehernya. Vida menghembuskan napas. Dia sangat percaya perempuan muda di hadapannya tidak akan macam-macam.

Tiga tahun bersamanya selalu aman saja, dia tidak pernah macam-macam. Namun mengapa warna krim di lehernya membuat firasatnya tidak enak. Pikirannya jadi berasumsi macam-macam.

“Ya sudah, awas aja kalau kamu sampai berani dan bikin malu di sini!” ancam Vida sambil meninggalkan Evi, melihat jam yang hampir menunjukkan waktu zhuhur. Lama juga dirinya tertidur tadi. Perjalanan memang melelahkan sekali. 

Mereka mengikuti pengajian yang mengundang kyai kondang pada salah satu masjid di kota.Ramai sekali yang datang dari berbagai penjuru. Untungnya di dekat masjid itu ada lapangan sehingga dapat menampung pengunjung sebanyak itu.

Pulang dari pengajian dia menginap di tempat anak-anaknya, di sebuah perumahan. Anak-anak memang tinggal di sana sejak sekolahnya memasuki jenjang menengah atas. Agar mudah untuk memilih universitas dibandingkan tempat mereka tinggal yang merupakan ibukota kabupaten.

Vida sudah biasa melakukan itu, walaupun kadang suaminya merasa keberatan. Toh dia pergi tidak macam-macam. Benar-benar pergi pengajian. Kadang kegiatan kumpul-kumpul bersama ibu-ibu komplek rumahnya. Sejak anak-anak mulai besar dan tidak lagi tinggal bersama mereka, Vida mencari banyak kegiatan agar dirinya tidak kesepian.

 Evi melanjutkan kembali pekerjaannya sepeninggal Vida, hatinya dipenuhi rasa khawatir akan kecurigaan majikannya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status