Tak bertapa lama kemudian, aku dibuat tak berkutik saat hidungnya yang mancung, menyentuh pipiku secara perlahan."Daddy kangen Mommy, Sayang," ucapnya sambil mengusap lembut perutku dari belakang. Membuatku makin tak karuan rasa dibuatnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Uti hari itu. Ya, sewajarnya ibu hamil memang ingin dimanja oleh sang suami. Nyatanya, hanya dengan usapan lembut seperti ini saja mampu membuatku merasa diperhatikan.Menyadari aku tak melakukan perlawanan sama sekali, Darren nekat menciumi pipiku dan lantas membuat diriku membalikkan badan dan menatapnya."Kamu … makin cantik," ucapnya sambil melempar senyum yang entah kenapa terlihat berkali-kali lipat lebih manis dari biasanya.Pipiku menghangat mendengar pujiannya. Sebenarnya, ada beberapa banyak gula yang dibawa ke sini? Kenapa semuanya terasa manis seperti ini?Ya ampun! Receh sekali bukan?Bagaimana bisa dipuji cantik begitu saja, sudah membuatku melambung tinggi dan tak berkutik seperti ini?Huh!Apakah in
Sejenak, suasana kaku datang menghampiri. Membuat kami, pasangan suami istri yang telah lama terpisah dan baru kembali bertemu setelah sekian lama, terjebak dalam kesunyian.Sungguh, aku benar-benar tak memiliki ide tentang apa yang harus diperbuat saat ini. Apakah harus memulai dengan percakapan santai atau harus … membahas mengenai hal-hal romantis dengannya? Ah, tidak! Aku benar-benar tidak memiliki ide cemerlang untuk melewati saat-saat canggung seperti sekarang ini.Akhirnya, aku yang terus-menerus yang diserang perasaan canggung, memilih naik lebih dulu ke atas ranjang. Rasanya, menghindari tatapan matanya yang memukau dan semudah itu membuatku terpikat, adalah cara terbaik untuk menormalkan debaran dalam dada yang semakin tak terkontrol semenjak kedatangannya ke rumah Mbah Uti sore ini."Kamu … serius mau tidur pake jilbab begitu?" tanya Darren saat menarik langkah mendekati diriku.Aku yang semula telah berbaring miring, tergemap mendengar pertanyaan darinya.Astaghfirullah!S
Aku kembali merasakan bulu kudukku meremang saat tangan kanannya bergerak membuka ikat rambutku. Membuat rambut panjangku tergerai sempurna di hadapannya."Cantik," ucapnya pelan saat memindai wajahku. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, walaupun cuma satu kata, tapi pujian yang terlontar dari bibirnya benar-benar mampu membuat pipiku terasa semakin hangat dan seperti dihipnotis.Aku dibuat semakin salah tingkah saat tanpa aba-aba, kedua tangannya uang lebar, menyibakkan rambutku dengan pelan ke belakang telinga.Bersama jantung yang semakin meningkat ritmenya, aku memejamkan mata saat menyadari saat dia mulai merapatkan wajahnya ke wajahku. Aku pun tak sanggup menolak saat dirinya membuat tubuhku terbaring karena sentuhannya.Hangat napas, serta parfum beraroma woody maskulin yang melekat di tubuhnya, membuat indera penciumanku benar-benar dimanjakan.Cukup lama aku menunggu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda jika apa yang sedari tadi aku perkirakan, bakal terjadi.Ya
Aku memilin jari jemari dengan kaku, tak bisa membayangkan semerah apa wajahku sekarang. Sungguh, andai mampu ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi saja detik ini.Ya malu. Aku benar-benar malu dengan kenyataan jika aku memang seagresif itu ternyata.Menatapku yang mungkin terlihat begitu salah tingkah, membuat Arman tergelak puas. Seolah menganggap jika apa yang terjadi padaku seperti hiburan tersendiri untuknya pagi ini."Udah, ah, ayo buruan, sholat. Udah mau fajar, ini, Mas," ucapku berusaha mengalihkan perhatian. Membuat suamiku mengangguk setuju, sementara Arman terlihat berdeham berkali-kali."Ya … habis sholat, jangan lupa sambung extra part, ya, Gaes, ya. Siapa tahu yang tadi malam masih kurang, kan? HAHAHA." Tawa Arman membahana saat mengucap kalimat yang entah kenapa terdengar sangat menjengkelkan.Darren mengangguk-angguk. Seperti tak keberatan sama sekali dengan saran yang diberikan oleh sahabat yang gemar menyindir dan meledek sejak kemarin. Ah, tidak! Aku baru sad
"Emang, ya, gampang banget bapak-bapak kalau ngomong, anak satu aja belum lahir, udah pengen nambah! Ish, kurang kerjaan banget perasaan!" ucapku dengan nada geram. Membuat Darren terbahak-bahak melihat kekesalanku."Kalau kamu yang ngidam nggak apa-apa, emang dikira ngidam, tuh, enak, apa?" Aku masih tertarik memperolok dirinya yang sewenang-wenang ingin menjadikanku tempat pencetak anak."Ya ampun. Kamu marah, Sayang? Ya udah, minta maaf, deh, kalau gitu. Tapi syaratnya, kita 'main' dulu, ya, sekali lagi?" ujarnya sambil mengerling nakal ke arah ranjang. Tempat yang menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya aktivitas penyatuan cinta dua manusia yang tengah dilanda gelora malam tadi."Ish! Gitu amat perasaan syaratnya, enggak-enggak, aku nggak setuju. Lagian, aku harus masak, bantuin Uti! Enak aja minta jatah terus!" Aku berusaha mengalihkan pembahasan dan memperolok dirinya saat menyadari Mbah Uti pasti sudah sibuk di dapur jam segini."Oh … belum pengen lanjut sekarang yang hot-hotnya?
"Ndah," ucapnya pelan, tapi mampu mengembalikan pikiran yang sebelumnya tengah berkelana entah ke mana."Hm?" balasku sambil mendongakkan kepala menatap lelaki dengan tinggi enam kaki, yang entah sejak kapan telah mampu membuatku jatuh cinta bahkan hanya dengan mengingat wajahnya.Eh, tumben dia panggil nama? Bukan memanggil sayang atau Mommy seperti biasanya?Astaghfirullah!Kenapa soal panggilan saja membuatmu sangat risau, Indah?Refleks aku menepuk kening saat merasa belakangan ini aku sudah sangat berlebihan. Membuat suamiku memekik tawa."Kenapa?""Ng-nggak apa-apa." Aku kembali dibuat grogi saat menyadari sepasang matanya tak berhenti menatapku."Kamu ... beneran Indah Putri Nuraida, kan?" tanyanya yang sontak membuat diriku heran sekaligus bingung.Bukankah pertanyaannya terdengar menggelitik?"Iya, lah, kenapa pake nanya segala, ish!" balasku ketus.Darren terkekeh pelan melihatku yang tak bisa menyembunyikan raut wajah kesal ketika dia mempertanyakan namaku."Nggak apa-apa,
Kurasakan kedua telapak tanganku mendadak dingin. Sungguh, kejadian seperti ini tak pernah kuprediksi sebelumnya.Aku benar-benar tak menyangka jika ternyata Galang bisa senekat itu. Bertindak begitu jauh pada sahabat baik yang pernah sangat kubenci, tapi mendengarnya menderita, menghadirkan denyut prihatin yang menjalar di dadaku. Kenapa kau tega, Galang? Kenapa?Kenapa kau harus menjadikan Alia sebagai tempat pelampiasan kemarahanmu?"Sayang, kamu kenapa?" Aku yang pikirannya tengah melanglang buana entah ke mana, dibuat tersentak oleh pertanyaan suamiku beberapa saat setelah mendengar suara pintu berderit."Ah, eng-enggak apa-apa." Aku masih ragu apakah menjelaskan perihal musibah yang mendera Alia adalah sesuatu yang pantas untuk dibicarakan bersama suamiku detik ini.Darren yang menyusulku ke kamar saat mungkin menyadari aku tak kunjung keluar, menatap heran padaku."Kamu yakin, kamu baik-baik saja?" tanya pria bertubuh tinggi ini sembari memindai ekspresi wajahku yang entah terl
Selama dalam perjalanan menuju Jakarta, aku terus-terusan dibuat tak tenang ketika mengingat lagi tentang beban hidup yang tengah dijalani oleh Alia saat ini.Kamu harus kuat, Alia. Kamu harus kuat!Darren dan Arman bergantian mengendalikan kemudi saat merasa itu diperlukan ketika mobil yang kami naiki, membelah tol Cikopo-Palimanan.Beruntung, tak ada kendala berarti selama perjalanan. Membuat kami sampai di Jakarta sesuai dengan estimasi.Hampir tengah malam, kami bertiga sampai di Jakarta. Membuatku merasa lega saat bisa kembali ke rumah, dengan hati yang lebih lapang.Seolah mengabaikan waktu yang sudah merangkak hampir tengah malam, seluruh keluargaku—termasuk Bik Minah, menyambut kepulanganku dengan penuh sukacita.Aku merasa bersyukur saat merasa dendam dan kebencian tak lagi menguasai hati.Mungkin benar memang, memaafkan awalnya terasa berat. Namun, pada akhirnya semua akan berjalan indah andaikan kita ikhlas menerima takdir yang didapatkan.***Paginya, aku yang sejak semala