Aku kembali merasakan bulu kudukku meremang saat tangan kanannya bergerak membuka ikat rambutku. Membuat rambut panjangku tergerai sempurna di hadapannya."Cantik," ucapnya pelan saat memindai wajahku. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, walaupun cuma satu kata, tapi pujian yang terlontar dari bibirnya benar-benar mampu membuat pipiku terasa semakin hangat dan seperti dihipnotis.Aku dibuat semakin salah tingkah saat tanpa aba-aba, kedua tangannya uang lebar, menyibakkan rambutku dengan pelan ke belakang telinga.Bersama jantung yang semakin meningkat ritmenya, aku memejamkan mata saat menyadari saat dia mulai merapatkan wajahnya ke wajahku. Aku pun tak sanggup menolak saat dirinya membuat tubuhku terbaring karena sentuhannya.Hangat napas, serta parfum beraroma woody maskulin yang melekat di tubuhnya, membuat indera penciumanku benar-benar dimanjakan.Cukup lama aku menunggu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda jika apa yang sedari tadi aku perkirakan, bakal terjadi.Ya
Aku memilin jari jemari dengan kaku, tak bisa membayangkan semerah apa wajahku sekarang. Sungguh, andai mampu ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi saja detik ini.Ya malu. Aku benar-benar malu dengan kenyataan jika aku memang seagresif itu ternyata.Menatapku yang mungkin terlihat begitu salah tingkah, membuat Arman tergelak puas. Seolah menganggap jika apa yang terjadi padaku seperti hiburan tersendiri untuknya pagi ini."Udah, ah, ayo buruan, sholat. Udah mau fajar, ini, Mas," ucapku berusaha mengalihkan perhatian. Membuat suamiku mengangguk setuju, sementara Arman terlihat berdeham berkali-kali."Ya … habis sholat, jangan lupa sambung extra part, ya, Gaes, ya. Siapa tahu yang tadi malam masih kurang, kan? HAHAHA." Tawa Arman membahana saat mengucap kalimat yang entah kenapa terdengar sangat menjengkelkan.Darren mengangguk-angguk. Seperti tak keberatan sama sekali dengan saran yang diberikan oleh sahabat yang gemar menyindir dan meledek sejak kemarin. Ah, tidak! Aku baru sad
"Emang, ya, gampang banget bapak-bapak kalau ngomong, anak satu aja belum lahir, udah pengen nambah! Ish, kurang kerjaan banget perasaan!" ucapku dengan nada geram. Membuat Darren terbahak-bahak melihat kekesalanku."Kalau kamu yang ngidam nggak apa-apa, emang dikira ngidam, tuh, enak, apa?" Aku masih tertarik memperolok dirinya yang sewenang-wenang ingin menjadikanku tempat pencetak anak."Ya ampun. Kamu marah, Sayang? Ya udah, minta maaf, deh, kalau gitu. Tapi syaratnya, kita 'main' dulu, ya, sekali lagi?" ujarnya sambil mengerling nakal ke arah ranjang. Tempat yang menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya aktivitas penyatuan cinta dua manusia yang tengah dilanda gelora malam tadi."Ish! Gitu amat perasaan syaratnya, enggak-enggak, aku nggak setuju. Lagian, aku harus masak, bantuin Uti! Enak aja minta jatah terus!" Aku berusaha mengalihkan pembahasan dan memperolok dirinya saat menyadari Mbah Uti pasti sudah sibuk di dapur jam segini."Oh … belum pengen lanjut sekarang yang hot-hotnya?
"Ndah," ucapnya pelan, tapi mampu mengembalikan pikiran yang sebelumnya tengah berkelana entah ke mana."Hm?" balasku sambil mendongakkan kepala menatap lelaki dengan tinggi enam kaki, yang entah sejak kapan telah mampu membuatku jatuh cinta bahkan hanya dengan mengingat wajahnya.Eh, tumben dia panggil nama? Bukan memanggil sayang atau Mommy seperti biasanya?Astaghfirullah!Kenapa soal panggilan saja membuatmu sangat risau, Indah?Refleks aku menepuk kening saat merasa belakangan ini aku sudah sangat berlebihan. Membuat suamiku memekik tawa."Kenapa?""Ng-nggak apa-apa." Aku kembali dibuat grogi saat menyadari sepasang matanya tak berhenti menatapku."Kamu ... beneran Indah Putri Nuraida, kan?" tanyanya yang sontak membuat diriku heran sekaligus bingung.Bukankah pertanyaannya terdengar menggelitik?"Iya, lah, kenapa pake nanya segala, ish!" balasku ketus.Darren terkekeh pelan melihatku yang tak bisa menyembunyikan raut wajah kesal ketika dia mempertanyakan namaku."Nggak apa-apa,
Kurasakan kedua telapak tanganku mendadak dingin. Sungguh, kejadian seperti ini tak pernah kuprediksi sebelumnya.Aku benar-benar tak menyangka jika ternyata Galang bisa senekat itu. Bertindak begitu jauh pada sahabat baik yang pernah sangat kubenci, tapi mendengarnya menderita, menghadirkan denyut prihatin yang menjalar di dadaku. Kenapa kau tega, Galang? Kenapa?Kenapa kau harus menjadikan Alia sebagai tempat pelampiasan kemarahanmu?"Sayang, kamu kenapa?" Aku yang pikirannya tengah melanglang buana entah ke mana, dibuat tersentak oleh pertanyaan suamiku beberapa saat setelah mendengar suara pintu berderit."Ah, eng-enggak apa-apa." Aku masih ragu apakah menjelaskan perihal musibah yang mendera Alia adalah sesuatu yang pantas untuk dibicarakan bersama suamiku detik ini.Darren yang menyusulku ke kamar saat mungkin menyadari aku tak kunjung keluar, menatap heran padaku."Kamu yakin, kamu baik-baik saja?" tanya pria bertubuh tinggi ini sembari memindai ekspresi wajahku yang entah terl
Selama dalam perjalanan menuju Jakarta, aku terus-terusan dibuat tak tenang ketika mengingat lagi tentang beban hidup yang tengah dijalani oleh Alia saat ini.Kamu harus kuat, Alia. Kamu harus kuat!Darren dan Arman bergantian mengendalikan kemudi saat merasa itu diperlukan ketika mobil yang kami naiki, membelah tol Cikopo-Palimanan.Beruntung, tak ada kendala berarti selama perjalanan. Membuat kami sampai di Jakarta sesuai dengan estimasi.Hampir tengah malam, kami bertiga sampai di Jakarta. Membuatku merasa lega saat bisa kembali ke rumah, dengan hati yang lebih lapang.Seolah mengabaikan waktu yang sudah merangkak hampir tengah malam, seluruh keluargaku—termasuk Bik Minah, menyambut kepulanganku dengan penuh sukacita.Aku merasa bersyukur saat merasa dendam dan kebencian tak lagi menguasai hati.Mungkin benar memang, memaafkan awalnya terasa berat. Namun, pada akhirnya semua akan berjalan indah andaikan kita ikhlas menerima takdir yang didapatkan.***Paginya, aku yang sejak semala
"Nggak usah repot-repot menyeret dia ke kantor polisi, De. Gue udah telpon polisi soalnya. Tunggu saja, mereka bakal ke sini sebentar lagi."Kedatangan Mas Danar yang secara tiba-tiba, terasa sangat mengejutkan. Membuat suamiku yang semula tengah memfokuskan pandangan ke arah kamar, menoleh sambil tersenyum tipis melihat kepulangan lelaki yang juga merupakan salah satu sahabatnya."Wanita iblis ini memang paling tahu saat yang tepat untuk menganiaya dan mengintimidasi Alia, De," ujar Mas Danar dengan raut wajah yang terlihat sedikit garang ketika sepasang matanya menatap tajam ke satu arah. Ke arah dalam kamar Alia lebih tepatnya.Aku tak tahu bagaimana Tante Melly berekspresi, karena aku sendiri tak melihatnya secara langsung. Namun, yang jelas kutangkap, suaranya terdengar menggelegar saat menanggapi olok-olokan sang keponakan."Tutup mulutmu, Danar! Berani kau macam-macam denganku, sekarang juga tanggung akibatnya!"Jantungku berdegup lebih cepat saat melihat Darren dan Mas Danar t
Seketika air mataku luruh tak terbendung mendengar pertanyaan darinya yang seperti berputus asa dengan keadaan ini."Jangan pernah berpikir seperti itu, Al." Meski aku tahu betapa berat apa yang dialaminya sekarang, aku mencoba menyalurkan energi positif untuknya yang sedang berputus asa."Tapi aku capek, Ndah.""Percayalah, Alia, badai pasti berlalu."Alia tersedu kembali ketika aku mengusap lagi punggungnya.Sejenak kemudian, aku dan Alia kompak menoleh ke arah pintu saat menyadari ada yang mengetuk pintu kamarnya."Si-siapa?" tanya Alia di sela-sela isak tangisnya."Aku." Kudengar suara seorang pria menyahut. Membuat mataku membelalak lebar dengan napas memburu saat menyadari suara siapa orang yang saat ini berdiri di balik pintu.Galang?Mau apa dia?Berani sekali dia tunjuk muka setelah membuat kekacauan ini."Mau apa kamu ke sini, ha?!" balas Alia dengan suara lantang."Aku ingin bicara, Al." Dari balik pintu, Galang membalas pernyataan gadis yang telah diperlakukan sewenang-wen