Kurasakan kedua telapak tanganku mendadak dingin. Sungguh, kejadian seperti ini tak pernah kuprediksi sebelumnya.Aku benar-benar tak menyangka jika ternyata Galang bisa senekat itu. Bertindak begitu jauh pada sahabat baik yang pernah sangat kubenci, tapi mendengarnya menderita, menghadirkan denyut prihatin yang menjalar di dadaku. Kenapa kau tega, Galang? Kenapa?Kenapa kau harus menjadikan Alia sebagai tempat pelampiasan kemarahanmu?"Sayang, kamu kenapa?" Aku yang pikirannya tengah melanglang buana entah ke mana, dibuat tersentak oleh pertanyaan suamiku beberapa saat setelah mendengar suara pintu berderit."Ah, eng-enggak apa-apa." Aku masih ragu apakah menjelaskan perihal musibah yang mendera Alia adalah sesuatu yang pantas untuk dibicarakan bersama suamiku detik ini.Darren yang menyusulku ke kamar saat mungkin menyadari aku tak kunjung keluar, menatap heran padaku."Kamu yakin, kamu baik-baik saja?" tanya pria bertubuh tinggi ini sembari memindai ekspresi wajahku yang entah terl
Selama dalam perjalanan menuju Jakarta, aku terus-terusan dibuat tak tenang ketika mengingat lagi tentang beban hidup yang tengah dijalani oleh Alia saat ini.Kamu harus kuat, Alia. Kamu harus kuat!Darren dan Arman bergantian mengendalikan kemudi saat merasa itu diperlukan ketika mobil yang kami naiki, membelah tol Cikopo-Palimanan.Beruntung, tak ada kendala berarti selama perjalanan. Membuat kami sampai di Jakarta sesuai dengan estimasi.Hampir tengah malam, kami bertiga sampai di Jakarta. Membuatku merasa lega saat bisa kembali ke rumah, dengan hati yang lebih lapang.Seolah mengabaikan waktu yang sudah merangkak hampir tengah malam, seluruh keluargaku—termasuk Bik Minah, menyambut kepulanganku dengan penuh sukacita.Aku merasa bersyukur saat merasa dendam dan kebencian tak lagi menguasai hati.Mungkin benar memang, memaafkan awalnya terasa berat. Namun, pada akhirnya semua akan berjalan indah andaikan kita ikhlas menerima takdir yang didapatkan.***Paginya, aku yang sejak semala
"Nggak usah repot-repot menyeret dia ke kantor polisi, De. Gue udah telpon polisi soalnya. Tunggu saja, mereka bakal ke sini sebentar lagi."Kedatangan Mas Danar yang secara tiba-tiba, terasa sangat mengejutkan. Membuat suamiku yang semula tengah memfokuskan pandangan ke arah kamar, menoleh sambil tersenyum tipis melihat kepulangan lelaki yang juga merupakan salah satu sahabatnya."Wanita iblis ini memang paling tahu saat yang tepat untuk menganiaya dan mengintimidasi Alia, De," ujar Mas Danar dengan raut wajah yang terlihat sedikit garang ketika sepasang matanya menatap tajam ke satu arah. Ke arah dalam kamar Alia lebih tepatnya.Aku tak tahu bagaimana Tante Melly berekspresi, karena aku sendiri tak melihatnya secara langsung. Namun, yang jelas kutangkap, suaranya terdengar menggelegar saat menanggapi olok-olokan sang keponakan."Tutup mulutmu, Danar! Berani kau macam-macam denganku, sekarang juga tanggung akibatnya!"Jantungku berdegup lebih cepat saat melihat Darren dan Mas Danar t
Seketika air mataku luruh tak terbendung mendengar pertanyaan darinya yang seperti berputus asa dengan keadaan ini."Jangan pernah berpikir seperti itu, Al." Meski aku tahu betapa berat apa yang dialaminya sekarang, aku mencoba menyalurkan energi positif untuknya yang sedang berputus asa."Tapi aku capek, Ndah.""Percayalah, Alia, badai pasti berlalu."Alia tersedu kembali ketika aku mengusap lagi punggungnya.Sejenak kemudian, aku dan Alia kompak menoleh ke arah pintu saat menyadari ada yang mengetuk pintu kamarnya."Si-siapa?" tanya Alia di sela-sela isak tangisnya."Aku." Kudengar suara seorang pria menyahut. Membuat mataku membelalak lebar dengan napas memburu saat menyadari suara siapa orang yang saat ini berdiri di balik pintu.Galang?Mau apa dia?Berani sekali dia tunjuk muka setelah membuat kekacauan ini."Mau apa kamu ke sini, ha?!" balas Alia dengan suara lantang."Aku ingin bicara, Al." Dari balik pintu, Galang membalas pernyataan gadis yang telah diperlakukan sewenang-wen
Aku terus meyakinkan Alia jika dirinya tak perlu merasa bersalah atas apa yang menimpa Tante Melly. Selain itu, aku pun terus menekankan padanya jika semua yang terjadi adalah takdir yang sudah digariskan oleh Sang pemberi kehidupan.Bukankah hidup mati manusia telah dituliskan sejak masih dalam kandungan?Menurut apa yang Darren sampaikan, Tante Melly mengalami kecelakaan saat dia yang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tak bisa mengelakkan diri dari tabrakan dengan truk pengangkut barang yang kehilangan kendali saat menghindari insiden crush. Dan naasnya, saat itu, mobil yang dikendarai Tante Melly, tertimpa truk pengangkut barang yang oleng. Membuat wanita itu harus meregang nyawa saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.Ah, siapa yang menyangka, wanita yang beberapa jam sebelumnya masih terlihat dalam kondisi bugar dan baik-baik saja, bahkan sempat mengibarkan bendera perang pada polisi setelah membuat huru-hara di rumah sang keponakan, harus menghadapi maut secepat itu.Be
"Ish! Kurang ajar banget, sih!" gerutu Alia seperti ingin menutupi keadaan hatinya yang rasanya dalam kondisi tak aman usai Galang mengecup pipinya."Ya, memang." Galang melepas pelukannya dengan pelan."Selalu jaga kesehatan, ya, Sayang."Sebuah kecupan hangat kembali melayang di kening gadis berambut panjang itu."Bye."Galang berlalu. Meninggalkan Alia yang berdiri kaku setelah mendapatkan dua kecupan hangat di pipi dan kening."Tenang, Al. Aku nggak lihat apa-apa, kok, tadi." Aku buru-buru membuang muka saat merasa gadis itu mungkin tengah merasa malu saat aku menjadi saksi bagaimana seorang Galang berbuat sedikit agresif padanya pagi-pagi seperti ini."Ish, apaan, sih." Kulihat wajah Alia bersemu merah saat aku menggodanya."Menurutku … kalian pasangan yang serasi," ujarku kemudian."Tolong, berhenti membual, Indah!""Enggak. Aku serius.""Ingat, Indah. Dia mantan berondong Tante Melly dan sekaligus penjahat kelamin," ucap Alia tajam, tapi tetap aku tanggapi dengan santai."Tapi
[Share loc, Man.]Kulihat suamiku mengetik pesan demikian sesaat setelah mencoba menenangkan diriku yang sedari tadi belum bisa berpikir jernih setelah mengetahui kabar buruk tentang adikku satu-satunya.[Wait.]Arman membalas singkat pesan yang dikirimkan Darren padanya.Tak berapa lama kemudian, terlihat sepupu Resti membagikan titik lokasi terkini. Membuat suamiku mengangguk-angguk saat mungkin sudah paham betul di mana keberadaan apartemen yang bisa jadi hampir menjadi tempat yang menimbulkan malapetaka untuk Lira, seandainya tak ada satu orang pun yang menolong.Darren pun lantas gerak cepat.Usai memakai pakaian lengkap yang dibalut dengan jaket kulit, suamiku gegas mengeluarkan mobil Pajero sport black edition miliknya menuju ke tempat di mana Arman membagikan keberadaannya saat ini."Kamu nggak usah mikir macam-macam, ya. Tenang, Lira bakal baik-baik saja." Darren mengusap lembut puncak kepalaku sebelum naik dan menyalakan mesin mobil yang belum sampai satu jam berada di garas
"Mungkin … kalau dia sudah menemukan gadis yang tepat, dia juga akan berhenti mendatangi tempat-tempat seperti itu," ujar suamiku sebelum menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang, di sampingku.Aku mengangguk pelan mendengar pendapat yang disampaikan suamiku."Seperti aku contohnya," tambahnya lirih.Aku tersenyum samar."Kamu yakin kalau kamu berhenti mengakhiri hingar-bingar dunia malam karena aku?" tanyaku, yang entah bagaimana ceritanya bisa sukses membuat wajah suamiku menggelap."Bukan karena orang lain?" tambahku yang entah kenapa membuat suamiku terlihat gelagapan saat hendak memberikan jawaban.Ada apa?"Kamu yakin bisa berubah karena aku? Bukan karena orang lain?" ulangku penuh penekanan."Kamu lagi ngomongin apa, sih, Sayang? Please, deh, jangan overthinking, ya, oke?" ucapnya sambil menunjukkan tampang datar usai dirinya menarik napas dengan berat."Kenapa tegang begitu? Aku cuma ingin memastikan, apakah orang lain ini yang membuatmu berubah?" tanyaku sambil mengusap lembut p