"Mungkin … kalau dia sudah menemukan gadis yang tepat, dia juga akan berhenti mendatangi tempat-tempat seperti itu," ujar suamiku sebelum menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang, di sampingku.Aku mengangguk pelan mendengar pendapat yang disampaikan suamiku."Seperti aku contohnya," tambahnya lirih.Aku tersenyum samar."Kamu yakin kalau kamu berhenti mengakhiri hingar-bingar dunia malam karena aku?" tanyaku, yang entah bagaimana ceritanya bisa sukses membuat wajah suamiku menggelap."Bukan karena orang lain?" tambahku yang entah kenapa membuat suamiku terlihat gelagapan saat hendak memberikan jawaban.Ada apa?"Kamu yakin bisa berubah karena aku? Bukan karena orang lain?" ulangku penuh penekanan."Kamu lagi ngomongin apa, sih, Sayang? Please, deh, jangan overthinking, ya, oke?" ucapnya sambil menunjukkan tampang datar usai dirinya menarik napas dengan berat."Kenapa tegang begitu? Aku cuma ingin memastikan, apakah orang lain ini yang membuatmu berubah?" tanyaku sambil mengusap lembut p
"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku janji, aku nggak akan memaafkan Mommy sampai kapan pun," desis Darren saat membaringkan tubuhku di jok seat kedua mobil Pajero sport black edition kesayangannya. Membuat wajah ibu mertuaku terlihat semakin pucat.Rini—salah satu pembantu rumah tangga di keluarga mertuaku, tampak sigap membantu saat mungkin merasa jika pertolongannya diperlukan saat ini. Bagaimana tidak, bahkan mertuaku terlihat bingung, seperti antara ingin membantuku atau tidak ketika aku hendak dilarikan ke rumah sakit. Entah itu karena gengsi, atau justru takut dimarahi oleh anaknya. Aku tak mengerti."Kamu yang tenang, ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," ucap Darren terus berusaha menenangkan diriku yang tak bisa menyembunyikan rintihan lirih saat kurasakan remasan di perut semakin menjadi.Nyonya Laura yang akhirnya memutuskan untuk ikut, duduk di jok depan saat mendampingi anaknya yang selama dalam perjalanan tampak mengemudi dengan tak tenang. Terlihat seseka
"Iya. Mommy," balasnya sambil mengangguk berulang kali saat kedua tangannya yang halus, terulur dan menggapai tangan kananku yang bebas dari selang infus."Baik, Mommy, Indah cuma ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah Indah lakukan dulu," ucapku sambil terisak pelan saat merasa sikapku terhadap Darren kala itu sudah sangat keterlaluan. Sehingga sempat membuat Nyonya Laura murka."Kamu nggak perlu meminta maaf, Indah. Justru … Mommy yang harus meminta maaf karena gagal mendidik Darren sampai dia membuat … masa depanmu hancur," ucapnya lantas menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan sudut matanya yang terlihat mengembun. Membuat hatiku semakin tersentuh.Aku menggeleng pelan saat merasa membahas tentang hal itu, bukan lagi menjadi sesuatu yang pantas untuk diungkit dan diperdebatkan.Nasi sudah menjadi bubur bukan?Bukankah bubur juga masih bisa dinikmati, jika ditambah berbagai toping lezat yang menggugah selera?Lantas, apa salahnya melupakan kesalahan dan masa
Aku diperbolehkan pulang setelah dua hari mendapatkan perawatan secara intensif di salah satu rumah sakit ternama di ibukota ini.Selama dirawat itulah, aku jadi lebih mengenal sosok mertuaku. Wanita cantik berwajah oriental yang awalnya seperti mustahil bisa menerimaku sebagai menantu, nyatanya adalah sosok wanita yang penyayang dan begitu mengagumkan. Bahkan, sesekali waktu, ibu mertuaku tak keberatan menyuapi diriku makan selama aku dirawat. Membuatku merasa jika apa yang terjadi padaku masih seperti mimpi yang bahkan tak pernah hadir dalam tidurku."Pulang ke rumah kita, kan, De?" tanya Mommy, seperti ingin memastikan jika tujuan kami setelah ini adalah rumah mewah mereka yang semegah istana.Darren bertanya padaku melalui sorot matanya. Seperti ingin meminta pendapat, apakah aku setuju atau tidak dengan ide sekaligus tawaran yang dilontarkan Nyonya Laura belum lama ini.Aku mengangguk pelan saat merasa jika sekarang sudah saatnya aku membiasakan diri menjadi bagian dari keluarga
"Jadi … kalian beneran pacaran?" tanyaku pelan dan penuh kehati-hatian. Takut suamiku tak benar-benar serius dengan apa yang disampaikannya belum lama ini."Ya … begitulah." Mas Danar yang tiba-tiba muncul bak superhero di ruang tamu, menyahut pelan ucapanku. Membuatku sontak diam membisu mendengar kabar yang memang baru aku ketahui."Bukan cuma pacaran, sih, sebenarnya. Dia … calon istriku," balas Mas Danar sambil menggenggam erat tangan sahabatku sesaat sebelum dirinya mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Resti.Sungguh, ini seperti mimpi bukan?Sahabatku akhirnya akan menikah dengan sahabat suamiku?Luar biasa!Jika benar begitu ceritanya, bukankah Resti bakal bergelar sebagai kakak ipar untuk Alia? Sahabat baikku akan menjadi ipar sahabat lamaku?Ya Tuhan. Bisakah ini dipercaya? Benarkah peribahasa yang mengatakan jika dunia itu cuma seluas daun kelor?***Hari ini menjadi satu sejarah baru untukku. Hal yang sebelumnya mati-matian berusaha untuk aku hindari, akhirnya kujalan
"Mas Arman, tunggu!"Tak lama setelah Arman turun dari atas pelaminan, terlihat Lira menyusul turun lelaki 25 tahun yang tampaknya memang sedang kecewa berat kali ini.Melihat adegan tersebut, terlihat Kayla tersenyum sinis. Membuatku ragu, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah di sini.Benarkah semua yang dikatakan Kayla? Jika Lira … semurah itu?Jika benar, kapan Lira melakukan perbuatan menjijikkan dengan calon suami sahabatnya itu? Bukankah belakangan adikku tengah dekat dengan Arman? Apakah mungkin … kejadiannya saat aku masih di Purworejo?Dan kejadian saat Arman tanpa sengaja bertemu Lira di klub malam yang berlanjut sampai ke apartemen itu … bukan kejadian pertama? Hatiku terus menerka-nerka."Selamat, ya, Mbak Indah, semoga pernikahan Mbak Indah bahagia selalu," ucap Kayla menyentak lamunanku."I-iya, makasih, ya," balasku sedikit gugup."Aku hanya berharap, adik Mbak Indah nggak akan putar balik dan berpikir untuk merebut Mas Darren suatu hari nanti, ya," ujarnya pel
"Bagaimana enggak? Secara, dia, 'kan laki-laki yang menjadi cinta pertamaku," ucapku sambil mengulum senyum. Sungguh, mengingat lagi tentang cinta pertama yang terjadi saat aku masih berusia 14 tahun, memang selalu menghadirkan memori indah sekaligus menggelikan yang pastinya tak akan pernah terulang kembali.Mengingat bagaimana aku menerima cintanya—yang mungkin masih bisa dikategorikan sebagai cinta monyet hari itu, membuatku terus menarik bibir. Ya, saat itu kami merupakan teman sekelas. Jadi, ketika teman-teman di kelas tahu kami dekat, sontak semuanya heboh dan tak berhenti meledek.Ya, selalu ada cerita indah di masa sekolah. Begitulah yang aku rasakan."Apa dia … lebih ganteng dari aku?" tanya Darren terlihat begitu penasaran. Sungguh, detik ini aku sangat menikmati bagaimana dia berekspresi. Rasa kesal yang terpancar jelas dari sinar matanya, menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri yang menyelinap ke dalam kalbu.Ya, jujur aku menikmati rasa cemburunya."Eum … gimana, ya? Ganten
"Kapan? Kapan kau melakukannya, Lira?" tanyaku saat rasa penasaran dalam hati berubah menjadi sebuah rasa kecewa tak tertahankan. Sungguh, aku tak menyangka jika apa yang diucapkan oleh Kayla nyatanya adalah sebuah kebenaran, bukan fitnah seperti apa yang aku perkirakan sebelum ini.Ya, ternyata, memang serendah itu adikku.Lira yang masih bersujud di kakiku, memilih tak langsung menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Detik ini, hanya isak tangisnya yang terdengar memenuhi rongga pendengaran. Membuatku yang sudah kesal, bertambah geram."Kapan, Lira?!" Aku yang masih tak habis pikir dengan perangainya yang ternyata senista itu, meninggikan suara tanpa terasa."Waktu … waktu Mbak Indah ada di Purworejo," balasnya lirih.Aku menarik napas dalam mendengar kejujurannya. Masih tak mengerti dengan satu kebiasaan buruknya yang suka mematahkan hati seorang wanita dengan perbuatannya yang jauh dari kata terpuji."Kenapa kau tega menghancurkan hati kakak Kayla, ha?! Tak cukupkah kau menghancurka