Aku diperbolehkan pulang setelah dua hari mendapatkan perawatan secara intensif di salah satu rumah sakit ternama di ibukota ini.Selama dirawat itulah, aku jadi lebih mengenal sosok mertuaku. Wanita cantik berwajah oriental yang awalnya seperti mustahil bisa menerimaku sebagai menantu, nyatanya adalah sosok wanita yang penyayang dan begitu mengagumkan. Bahkan, sesekali waktu, ibu mertuaku tak keberatan menyuapi diriku makan selama aku dirawat. Membuatku merasa jika apa yang terjadi padaku masih seperti mimpi yang bahkan tak pernah hadir dalam tidurku."Pulang ke rumah kita, kan, De?" tanya Mommy, seperti ingin memastikan jika tujuan kami setelah ini adalah rumah mewah mereka yang semegah istana.Darren bertanya padaku melalui sorot matanya. Seperti ingin meminta pendapat, apakah aku setuju atau tidak dengan ide sekaligus tawaran yang dilontarkan Nyonya Laura belum lama ini.Aku mengangguk pelan saat merasa jika sekarang sudah saatnya aku membiasakan diri menjadi bagian dari keluarga
"Jadi … kalian beneran pacaran?" tanyaku pelan dan penuh kehati-hatian. Takut suamiku tak benar-benar serius dengan apa yang disampaikannya belum lama ini."Ya … begitulah." Mas Danar yang tiba-tiba muncul bak superhero di ruang tamu, menyahut pelan ucapanku. Membuatku sontak diam membisu mendengar kabar yang memang baru aku ketahui."Bukan cuma pacaran, sih, sebenarnya. Dia … calon istriku," balas Mas Danar sambil menggenggam erat tangan sahabatku sesaat sebelum dirinya mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Resti.Sungguh, ini seperti mimpi bukan?Sahabatku akhirnya akan menikah dengan sahabat suamiku?Luar biasa!Jika benar begitu ceritanya, bukankah Resti bakal bergelar sebagai kakak ipar untuk Alia? Sahabat baikku akan menjadi ipar sahabat lamaku?Ya Tuhan. Bisakah ini dipercaya? Benarkah peribahasa yang mengatakan jika dunia itu cuma seluas daun kelor?***Hari ini menjadi satu sejarah baru untukku. Hal yang sebelumnya mati-matian berusaha untuk aku hindari, akhirnya kujalan
"Mas Arman, tunggu!"Tak lama setelah Arman turun dari atas pelaminan, terlihat Lira menyusul turun lelaki 25 tahun yang tampaknya memang sedang kecewa berat kali ini.Melihat adegan tersebut, terlihat Kayla tersenyum sinis. Membuatku ragu, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah di sini.Benarkah semua yang dikatakan Kayla? Jika Lira … semurah itu?Jika benar, kapan Lira melakukan perbuatan menjijikkan dengan calon suami sahabatnya itu? Bukankah belakangan adikku tengah dekat dengan Arman? Apakah mungkin … kejadiannya saat aku masih di Purworejo?Dan kejadian saat Arman tanpa sengaja bertemu Lira di klub malam yang berlanjut sampai ke apartemen itu … bukan kejadian pertama? Hatiku terus menerka-nerka."Selamat, ya, Mbak Indah, semoga pernikahan Mbak Indah bahagia selalu," ucap Kayla menyentak lamunanku."I-iya, makasih, ya," balasku sedikit gugup."Aku hanya berharap, adik Mbak Indah nggak akan putar balik dan berpikir untuk merebut Mas Darren suatu hari nanti, ya," ujarnya pel
"Bagaimana enggak? Secara, dia, 'kan laki-laki yang menjadi cinta pertamaku," ucapku sambil mengulum senyum. Sungguh, mengingat lagi tentang cinta pertama yang terjadi saat aku masih berusia 14 tahun, memang selalu menghadirkan memori indah sekaligus menggelikan yang pastinya tak akan pernah terulang kembali.Mengingat bagaimana aku menerima cintanya—yang mungkin masih bisa dikategorikan sebagai cinta monyet hari itu, membuatku terus menarik bibir. Ya, saat itu kami merupakan teman sekelas. Jadi, ketika teman-teman di kelas tahu kami dekat, sontak semuanya heboh dan tak berhenti meledek.Ya, selalu ada cerita indah di masa sekolah. Begitulah yang aku rasakan."Apa dia … lebih ganteng dari aku?" tanya Darren terlihat begitu penasaran. Sungguh, detik ini aku sangat menikmati bagaimana dia berekspresi. Rasa kesal yang terpancar jelas dari sinar matanya, menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri yang menyelinap ke dalam kalbu.Ya, jujur aku menikmati rasa cemburunya."Eum … gimana, ya? Ganten
"Kapan? Kapan kau melakukannya, Lira?" tanyaku saat rasa penasaran dalam hati berubah menjadi sebuah rasa kecewa tak tertahankan. Sungguh, aku tak menyangka jika apa yang diucapkan oleh Kayla nyatanya adalah sebuah kebenaran, bukan fitnah seperti apa yang aku perkirakan sebelum ini.Ya, ternyata, memang serendah itu adikku.Lira yang masih bersujud di kakiku, memilih tak langsung menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Detik ini, hanya isak tangisnya yang terdengar memenuhi rongga pendengaran. Membuatku yang sudah kesal, bertambah geram."Kapan, Lira?!" Aku yang masih tak habis pikir dengan perangainya yang ternyata senista itu, meninggikan suara tanpa terasa."Waktu … waktu Mbak Indah ada di Purworejo," balasnya lirih.Aku menarik napas dalam mendengar kejujurannya. Masih tak mengerti dengan satu kebiasaan buruknya yang suka mematahkan hati seorang wanita dengan perbuatannya yang jauh dari kata terpuji."Kenapa kau tega menghancurkan hati kakak Kayla, ha?! Tak cukupkah kau menghancurka
Aku berinisiatif membuka pintu terlebih dulu saat melihat adikku seperti tak tergerak hati untuk melakukan hal itu.Begitu menginjakkan kaki di ruang tamu, sesosok lelaki yang wajahnya tak terlalu asing di mataku, terlihat sedang duduk santai di sofa ruang tamu."Ngapain kamu ke sini, ha?" Lira yang ternyata menyusul langkah kakiku ke sini, buru-buru bertanya dengan nada tinggi pada lelaki yang entah sekali atau dua kali kujumpai itu.Kalau tidak salah melihat, rasanya … dia adalah lelaki yang sama dengan pemuda yang mengantar Lira di hari yang sama dengan saat Galang memutuskan pergi dari rumah ini."Siapa yang memintamu datang, ha?!"Dia tersenyum santai. Seperti tak terpengaruh sama sekali dengan ekspresi Lira yang tak ingin menunjukkan kesan ramah padanya."Aku hanya ingin menawarkan opsi damai denganmu dan menghapus semua video, asalkan—." Dia menyahut enteng ucapan Lira dan lantas menahan kata di akhir kalimat."Asalkan apa, ha?!" tanya Lira masih dengan nada tinggi."Asalkan ka
"Mungkin … menikah dengan Fabian bisa menjadi pilihan terbaik untuk kamu ambil setelah ini, Lira."Lira menatap nanar padaku saat akhirnya aku mengucap kalimat senada dengan apa yang disampaikan oleh Mama belum lama ini."Tapi … aku tidak pernah mencintainya, Mbak," ujarnya sambil dengan pandangan matanya yang kosong.Aku mendesah singkat mendengar kejujurannya. Merasa ikut dilema dengan apa yang dialami oleh adikku sekarang."Tapi dia memegang semua kendali atas dirimu, Lira," ucapku sambil menatapnya lamat-lamat.Lira menggeleng kuat."Aku nggak mungkin sanggup jika harus hidup bersama seorang lelaki egois yang suka mengancam seperti dia, Mbak. Aku nggak mungkin sanggup."Aku menarik napas dalam sebelum bertanya, "Lalu, bagaimana dulu kamu bisa dekat dan bahkan sampai melakukan hubungan 'itu' dengan dia, ha?""Aku … aku cuma ….""Cuma ingin menunjukkan pada dunia kalau gadis secantik dirimu bisa dengan mudahnya mendapatkan pengganti bahkan di hari pertama saat Galang membatalkan per
Laki-laki itu terlihat puas melihat bagaimana suamiku tak berkutik mendengar kalimat-kalimat menohok yang baru diucapkannya. Tentang masa lalu, dan semua kenyataan mencengangkan yang membuatku ingin meninggalkan acara seandainya itu pantas dilakukan.Dia mendengus kecil dengan tatapan mengejek sebelum melanjutkan ucapan."Dari dulu … seleramu memang tidak berubah," ujarnya dengan tatapan menyeringai selepas memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tutup mulutmu, Fred!" Kulihat napas Darren memburu ketika memberikan peringatan tajam pada lelaki yang kuperkirakan berusia sebaya dengannya. Sementara aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, hanya terdiam tanpa bicara. Berusaha mencerna setiap kata demi kata dan percakapan dua orang yang katanya pernah menjadi teman satu kelas ini."Sudahi omong kosongmu kalau kau masih ingin bernapas besok pagi!" Darren terdengar mengancam kali ini."Uh … takut," balas Fred dengan nada meledek. Membuat pikiranku justru berkelana ke mana-mana