Aku terus meyakinkan Alia jika dirinya tak perlu merasa bersalah atas apa yang menimpa Tante Melly. Selain itu, aku pun terus menekankan padanya jika semua yang terjadi adalah takdir yang sudah digariskan oleh Sang pemberi kehidupan.Bukankah hidup mati manusia telah dituliskan sejak masih dalam kandungan?Menurut apa yang Darren sampaikan, Tante Melly mengalami kecelakaan saat dia yang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tak bisa mengelakkan diri dari tabrakan dengan truk pengangkut barang yang kehilangan kendali saat menghindari insiden crush. Dan naasnya, saat itu, mobil yang dikendarai Tante Melly, tertimpa truk pengangkut barang yang oleng. Membuat wanita itu harus meregang nyawa saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.Ah, siapa yang menyangka, wanita yang beberapa jam sebelumnya masih terlihat dalam kondisi bugar dan baik-baik saja, bahkan sempat mengibarkan bendera perang pada polisi setelah membuat huru-hara di rumah sang keponakan, harus menghadapi maut secepat itu.Be
"Ish! Kurang ajar banget, sih!" gerutu Alia seperti ingin menutupi keadaan hatinya yang rasanya dalam kondisi tak aman usai Galang mengecup pipinya."Ya, memang." Galang melepas pelukannya dengan pelan."Selalu jaga kesehatan, ya, Sayang."Sebuah kecupan hangat kembali melayang di kening gadis berambut panjang itu."Bye."Galang berlalu. Meninggalkan Alia yang berdiri kaku setelah mendapatkan dua kecupan hangat di pipi dan kening."Tenang, Al. Aku nggak lihat apa-apa, kok, tadi." Aku buru-buru membuang muka saat merasa gadis itu mungkin tengah merasa malu saat aku menjadi saksi bagaimana seorang Galang berbuat sedikit agresif padanya pagi-pagi seperti ini."Ish, apaan, sih." Kulihat wajah Alia bersemu merah saat aku menggodanya."Menurutku … kalian pasangan yang serasi," ujarku kemudian."Tolong, berhenti membual, Indah!""Enggak. Aku serius.""Ingat, Indah. Dia mantan berondong Tante Melly dan sekaligus penjahat kelamin," ucap Alia tajam, tapi tetap aku tanggapi dengan santai."Tapi
[Share loc, Man.]Kulihat suamiku mengetik pesan demikian sesaat setelah mencoba menenangkan diriku yang sedari tadi belum bisa berpikir jernih setelah mengetahui kabar buruk tentang adikku satu-satunya.[Wait.]Arman membalas singkat pesan yang dikirimkan Darren padanya.Tak berapa lama kemudian, terlihat sepupu Resti membagikan titik lokasi terkini. Membuat suamiku mengangguk-angguk saat mungkin sudah paham betul di mana keberadaan apartemen yang bisa jadi hampir menjadi tempat yang menimbulkan malapetaka untuk Lira, seandainya tak ada satu orang pun yang menolong.Darren pun lantas gerak cepat.Usai memakai pakaian lengkap yang dibalut dengan jaket kulit, suamiku gegas mengeluarkan mobil Pajero sport black edition miliknya menuju ke tempat di mana Arman membagikan keberadaannya saat ini."Kamu nggak usah mikir macam-macam, ya. Tenang, Lira bakal baik-baik saja." Darren mengusap lembut puncak kepalaku sebelum naik dan menyalakan mesin mobil yang belum sampai satu jam berada di garas
"Mungkin … kalau dia sudah menemukan gadis yang tepat, dia juga akan berhenti mendatangi tempat-tempat seperti itu," ujar suamiku sebelum menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang, di sampingku.Aku mengangguk pelan mendengar pendapat yang disampaikan suamiku."Seperti aku contohnya," tambahnya lirih.Aku tersenyum samar."Kamu yakin kalau kamu berhenti mengakhiri hingar-bingar dunia malam karena aku?" tanyaku, yang entah bagaimana ceritanya bisa sukses membuat wajah suamiku menggelap."Bukan karena orang lain?" tambahku yang entah kenapa membuat suamiku terlihat gelagapan saat hendak memberikan jawaban.Ada apa?"Kamu yakin bisa berubah karena aku? Bukan karena orang lain?" ulangku penuh penekanan."Kamu lagi ngomongin apa, sih, Sayang? Please, deh, jangan overthinking, ya, oke?" ucapnya sambil menunjukkan tampang datar usai dirinya menarik napas dengan berat."Kenapa tegang begitu? Aku cuma ingin memastikan, apakah orang lain ini yang membuatmu berubah?" tanyaku sambil mengusap lembut p
"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku janji, aku nggak akan memaafkan Mommy sampai kapan pun," desis Darren saat membaringkan tubuhku di jok seat kedua mobil Pajero sport black edition kesayangannya. Membuat wajah ibu mertuaku terlihat semakin pucat.Rini—salah satu pembantu rumah tangga di keluarga mertuaku, tampak sigap membantu saat mungkin merasa jika pertolongannya diperlukan saat ini. Bagaimana tidak, bahkan mertuaku terlihat bingung, seperti antara ingin membantuku atau tidak ketika aku hendak dilarikan ke rumah sakit. Entah itu karena gengsi, atau justru takut dimarahi oleh anaknya. Aku tak mengerti."Kamu yang tenang, ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," ucap Darren terus berusaha menenangkan diriku yang tak bisa menyembunyikan rintihan lirih saat kurasakan remasan di perut semakin menjadi.Nyonya Laura yang akhirnya memutuskan untuk ikut, duduk di jok depan saat mendampingi anaknya yang selama dalam perjalanan tampak mengemudi dengan tak tenang. Terlihat seseka
"Iya. Mommy," balasnya sambil mengangguk berulang kali saat kedua tangannya yang halus, terulur dan menggapai tangan kananku yang bebas dari selang infus."Baik, Mommy, Indah cuma ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah Indah lakukan dulu," ucapku sambil terisak pelan saat merasa sikapku terhadap Darren kala itu sudah sangat keterlaluan. Sehingga sempat membuat Nyonya Laura murka."Kamu nggak perlu meminta maaf, Indah. Justru … Mommy yang harus meminta maaf karena gagal mendidik Darren sampai dia membuat … masa depanmu hancur," ucapnya lantas menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan sudut matanya yang terlihat mengembun. Membuat hatiku semakin tersentuh.Aku menggeleng pelan saat merasa membahas tentang hal itu, bukan lagi menjadi sesuatu yang pantas untuk diungkit dan diperdebatkan.Nasi sudah menjadi bubur bukan?Bukankah bubur juga masih bisa dinikmati, jika ditambah berbagai toping lezat yang menggugah selera?Lantas, apa salahnya melupakan kesalahan dan masa
Aku diperbolehkan pulang setelah dua hari mendapatkan perawatan secara intensif di salah satu rumah sakit ternama di ibukota ini.Selama dirawat itulah, aku jadi lebih mengenal sosok mertuaku. Wanita cantik berwajah oriental yang awalnya seperti mustahil bisa menerimaku sebagai menantu, nyatanya adalah sosok wanita yang penyayang dan begitu mengagumkan. Bahkan, sesekali waktu, ibu mertuaku tak keberatan menyuapi diriku makan selama aku dirawat. Membuatku merasa jika apa yang terjadi padaku masih seperti mimpi yang bahkan tak pernah hadir dalam tidurku."Pulang ke rumah kita, kan, De?" tanya Mommy, seperti ingin memastikan jika tujuan kami setelah ini adalah rumah mewah mereka yang semegah istana.Darren bertanya padaku melalui sorot matanya. Seperti ingin meminta pendapat, apakah aku setuju atau tidak dengan ide sekaligus tawaran yang dilontarkan Nyonya Laura belum lama ini.Aku mengangguk pelan saat merasa jika sekarang sudah saatnya aku membiasakan diri menjadi bagian dari keluarga
"Jadi … kalian beneran pacaran?" tanyaku pelan dan penuh kehati-hatian. Takut suamiku tak benar-benar serius dengan apa yang disampaikannya belum lama ini."Ya … begitulah." Mas Danar yang tiba-tiba muncul bak superhero di ruang tamu, menyahut pelan ucapanku. Membuatku sontak diam membisu mendengar kabar yang memang baru aku ketahui."Bukan cuma pacaran, sih, sebenarnya. Dia … calon istriku," balas Mas Danar sambil menggenggam erat tangan sahabatku sesaat sebelum dirinya mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Resti.Sungguh, ini seperti mimpi bukan?Sahabatku akhirnya akan menikah dengan sahabat suamiku?Luar biasa!Jika benar begitu ceritanya, bukankah Resti bakal bergelar sebagai kakak ipar untuk Alia? Sahabat baikku akan menjadi ipar sahabat lamaku?Ya Tuhan. Bisakah ini dipercaya? Benarkah peribahasa yang mengatakan jika dunia itu cuma seluas daun kelor?***Hari ini menjadi satu sejarah baru untukku. Hal yang sebelumnya mati-matian berusaha untuk aku hindari, akhirnya kujalan