Hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 menit, mobil mewah milik Marlon telah tiba di halaman rumah kediamannya yang berlantai dua dengan pilar depan yang menjulang tinggi, menambah kegagahan rumah bercat warna putih tersebut.
Sejak tiga tahun terakhir itu, dia memang sudah menghabiskan hari-harinya untuk tinggal di rumah yang dia beli. Rumah itu khusus untuk tinggal dirinya bersama istrinya---Sarah.
Meskipun begitu, Marlon lebih banyak hidup di luar. Marlon terpaksa menyebut rumahnya itu adalah rumah utama. Ya! Rumah yang dia tempati bersama Sarah. Karena tidak mungkin bagi Marlon harus tinggal bersama papanya di rumah tempat dia dibesarkan.
Apalagi jika ada acara keluarga, rumah Marlon yang akan menjadi tempat utama. Padahal rumah itu tidak semewah mansion milik tuan Carlos. Orang tua Marlon dan Sarah memang sudah percaya penuh terhadap mereka, meskipun pernikahan mereka hanyalah sebuah permainan saja bagi mereka.
Sandiwara pernikahan itu sudah membuat kesan yang mendalam bagi keluarga kedua belah pihak. Nampak kebahagiaan selalu terpancar dari wajah mereka saat memandangi Marlon dan Sarah, padahal sekali pun keduanya tidak terlihat romantis atau bermesraan di hadapan mereka. Marlon dan Sarah hanya bersikap seolah kompak dan memang menjalani kehidupan rumah tangga yang normal.
"Selamat pagi, Den."
Seorang pembantu menyambut kedatangan Marlon sambil membungkukkan badannya setelah membukakan pintu untuk Marlon.
"Pagi. Sarah ada di mana, Bi?" tanya Marlon menyebut pembantunya tersebut.
Kedua bola mata Marlon menyapu seluruh ruangan rumahnya yang sudah dia tinggal sejak dua hari lalu. Tidak ada yang berubah, tetap sama. Hanya ada beberapa vas yang diganti bunganya karena layu.
"Non ada di kamarnya. Non sedang sakit, Den. Semalam non muntah-muntah sampai badannya lemas, tapi sudah diperiksa oleh dokter," terang pembantu.
"Sakit?" ulang Marlon sambil mengerutkan keningnya.
Marlon merasa harus menunggu sampai keadaan Sarah membaik untuk berbicara. Apalagi, Marlon berniat membicarakan hal penting. Marlon pikir itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama, sebab selama ini Marlon lihat, Sarah tidak pernah sakit.
"Ya benar, Den." Pembantu itu membenarkan.
"Ohh ya sudah, kalau gitu aku pergi lagi saja. Kalau dia sudah mendingan, Bibi kabari aku. Aku mau bicara dengannya nanti," pesan Marlon.
Marlon berbalik badan dan hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba ketika baru mendapatkan beberapa langkah, pembantunya itu memanggilnya.
"Den, tunggu!"
Pembantunya menyusul langkah Marlon dan berhenti di hadapannya."Kenapa, Bi?"
Marlon memandangi Sumi---pembantunya dengan dahi berkerut."Sebaiknya Aden jangan pergi dulu, sebentar lagi kedua orang tua non Sarah akan datang ke sini. Sebenarnya saya sudah ingin telpon Aden sejak pagi tadi, tapi non Sarah melarang saya, Den," adu Sumi.
Marlon mengeraskan rahangnya, dia merasa kesal. Hal seperti itu mengapa justru Sarah malah ingin mengacaukannya?
Marlon sudah dapat menebak jika dia tidak ada di rumah saat mertuanya berkunjung, maka Marlon akan mendapatkan banyak pertanyaan saat berjumpa. Dah itu bisa membahayakan untuk dia dan keluarganya ke depannya.
Pastilah Marlon tidak akan mendapatkan kebebasan seperti kemarin-kemarin, karena hidupnya akan terus dipantau oleh orang suruhan orang tua Sarah dan juga papanya sendiri---tuan Carlos.
"Baiklah aku akan tetap di rumah, kapan mereka akan kemari?" tanya Marlon mencoba bersikap tenang.
"Sebentar lagi, Den. Katanya di dalam telepon tadi jam 10 mereka akan ke sini," sahut Sumi.
Marlon jadi berfikir tentang panggilan Sarah dan papanya tadi pagi. Mungkin mereka mau mengabarkan hal itu.
Marlon terdiam. Dia mengamati arloji di lengan tangan kirinya. Masih banyak waktu.
Karena merasa tidak dibutuhkan lagi akhirnya Sumi berkata:
"Kalau gitu saya permisi, Den. Mau meneruskan masak." Sumi pun berlalu.***
Beberapa jam kemudian.
Kedua orang tua Sarah benar-benar datang, bahkan kedua orang tua Sarah mengatakan bahwa papa Marlon---Carlos akan datang pula.
Sumi yang menyambut kedatangan mereka pun segera melaporkan kepada Marlon, yang ketika itu Marlon sedang berada di ruang pribadinya.
Marlon menghembuskan nafas pelan.
Setelah merapikan pakaiannya, Marlon pun pergi menuju kamar Sarah yang masih satu lantai dengannya. Mereka akan sama-sama menemui orang tua itu di bawah.
"Aku tidak mau tau dengan keadaanmu. Mereka datang ke sini karena hal ini. Jadi aku tidak mau ada urusan ribet dengan mereka," ujar Marlon pelan saat menjemput Sarah, lelaki itu berdiri di ambang pintu kamar Sarah.
"Kamu ngomong apa? Sama sekali aku tidak mengundang mereka ke rumah, apalagi mengabarkan tentang kesehatanku. Aku paling benci dituduh seperti ini, Marlon!"
"Sssttt! Kamu bisa gak ngomong pelan saja? Kamu menginginkan sandiwara kita terbongkar di detik ini juga ya?" ingat Marlon sedikit jengkel.
Mendengar ucapan Marlon, Sarah langsung menepiskan tangan Marlon yang hendak menuntunnya.
"Lepaskan aku, aku tidak butuh bantuanmu!" Sarah berjalan mendahului Marlon.
Marlon kembali jengkel dengan tingkah Sarah yang terlihat seperti anak kecil, yang sedang ngambek.
"Gila! Harusnya aku yang marah, kenapa malah dia? Dasar mak lampir!" hujat Marlon pelan tapi penuh dengan tekanan. Marlon juga tidak berniat menyentuhnya, hanya saja Marlon pikir Sarah akan membutuhkan bantuannya mengingat Sarah sedang sakit.
"Aku mendengarnya, Marlon!"
Marlon langsung berlarian menyusul Sarah dan berjalan di sampingnya.
"Lalu kenapa kalau aku menyebutmu mak lampir? Gak terima?" tanya Marlon masih membahas nama julukan untuk istrinya itu.
"Tak masalah kamu menyebutku seperti itu, kau juga kaya gerandong!" balas Sarah. Keduanya kini terus berjalan dan hendak menuruni anakan tangga.
"Kau berani menyebutku gerandong, Sarah!"
Marlon menarik tangan Sarah dengan kuat hingga akhirnya Sarah yang sedang dalam lemah itu tertarik oleh tangan Marlon yang kekar dan akhirnya tubuhnya tidak dapat menjaga keseimbangan sehingga kini tubuh Sarah berada dipelukan Marlon.Tentu saja keduanya tersentak kaget.
Sepasang mata milik Marlon dan Sarah saling bertatapan, jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Hidung mancung milik Marlon dapat dengan jelas membau aroma parfum tubuh Sarah itu.
Sungguh sangat menggoda.
Apalagi, rambut Sarah yang sangat wangi dan lembut menyentuh wajah Marlon.
Sebaliknya, Sarah baru menyadari jika suaminya yang amat dingin dan cuek itu memiliki wajah yang sangat tampan. Sarah yakin, dia bisa mendapatkan wanita berapapun yang dia mau di luar sana.
Tapi sayangnya Marlon harus menikah dengan Sarah, padahal Sarah tahu bahwa Marlon tidak mencintainya. Begitu juga dengan dirinya.
Hingga akhirnya keduanya mau tak mau harus menahan diri untuk tidak mengenal lawan jenis dimuka publik, apalagi berpacaran karena takut ketahuan oleh orang tua mereka masing-masing. Apa kata mereka nanti? Marlon termasuk lelaki yang sempurna. Begitu yang ada dipikiran Sarah.
Dengan Marlon, Sarah terpaksa harus mengenal makhluk aneh yaitu cowok sebagai suaminya. Sarah akui, dia tidak tahu menahu tentang kepribadian Marlon di luar sana yang sering tidak pulang. Tapi Sarah juga tidak mau tahu, sebab hal itu tidak penting bagi Sarah.
Marlon bisa mendengar dan merasakan detak jantung Sarah, mengalun tidak karuan.
"Kamu deg-degan, Sar?" celetuk Marlon. Kedua bola mata Sarah hampir saja loncat keluar mendapat pertanyaan tersebut dari Marlon.
Refleks di detik ke lima, Sarah mendorong tubuh Marlon dengan kuat. Meskipun begitu, dorongan Sarah tidak ada artinya bagi Marlon. Bahkan Marlon tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri.
"Dasar otak kotor!"
Wajah Sarah memerah karena malu, sebab apa yang Marlon ucapkan adalah benar. Sarah tidak tahu kenapa dia memiliki perasaan seperti tadi, sampai-sampai detak jantungnya berdegup begitu kencang.
Mungkin ini pertama kalinya Sarah sangat dekat dengan suaminya setelah berumah tangga selama 3 tahun.
Sarah mulai menuruni anakan tangga dengan cepat. Dia sudah terlalu lama bersama dengan Marlon di atas. Sarah merasa tidak enak jika kedua orang tuanya harus menunggunya.
Marlon berdiri dengan menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.
"Sepertinya dia sudah memulai menaruh perasaan padaku, jangan sampai aku juga seperti itu. Aku harus jaga jarak, hal ini bisa membuat aku terjebak pernikahan dengannya sampai tua. Tapi gak mungkin kalau dia menyukaiku, akh! Masa bodo!" gumam Marlon membuang pikirannya jauh-jauh. Kemudian menyusul Sarah ke bawah untuk menemui orang tuanya.
"Hey, Sayang!" teriak seorang wanita paruh baya begitu melihat Sarah. Marlon dapat melihat dengan jelas wajah-wajah bahagia ketika menyambut kedatangan Sarah.
Wanita itu merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Sarah.
Sarah pun merangkul wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mama, Papa. Aku rindu kalian," ujar Sarah memeluk mamanya dan papanya secara bergantian.
Marlon langsung duduk di hadapan mereka, di saat yang bersamaan tuan Carlos datang diantar oleh Sumi untuk bergabung.
"Syukurlah, kita bisa bertemu lagi di rumah anak kita," kata tuan Jameson pada tuan Carlos. Tuan Carlos menerima jabatan tangan tuan Jameson. Kemudian duduk berdampingan. Senyuman terus mengembang di wajah mereka.
Akhirnya semuanya duduk di tempatnya masing-masing.
Marlon mencuri pandang ke arah tuan Carlos yang tampak memandangnya dengan tatapan tajam. Marlon tahu jika tuan Carlos sedang marah padanya.
Mungkin karena suatu hal, tapi entah apa. Marlon pun pagi tadi juga tidak sempat bertemu dengan tuan Carlos di kantor dan berbicara empat mata.
"Tumben Papa dan Mama ke sini? Ada apa?" tanya Marlon to the poin.
Sesaat semuanya terdiam melihat Sumi menyuguhkan minuman dan kue. Setelahnya, Sumi kembali ke belakang.
"Iya, Marlon. Kami memang sengaja janjian untuk ke sini. Setelah kalian menikah 3 tahun yang lalu, rasa-rasanya kami semua menginginkan cucu," ujar nyonya Yuki---mama Sarah diikuti anggukan tuan Jameson.
Marlon dan Sarah saling berpandangan.
Bagaikan mendengar petir di siang bolong, mereka hanya bisa melongo.
Selepas kepergian kedua orang tua Sarah dan juga papa Marlon dari rumah mereka beberapa menit yang lalu, akhirnya keduanya hanya terus bisa berdiam diri di tempat mereka masing-masing.Mereka dengan pikirannya yang tidak menentu.Marlon tidak mencintai Sarah, begitu juga sebaliknya. Sarah sama sekali tidak tertarik dengan pria tampan yang berada di hadapannya itu. Apalagi Marlon amat dingin terhadapnya, sikapnya sudah tidak Sarah suka sejak awal pertemuan mereka.Hal itu sudah wajar karena keduanya sudah memiliki kekasih masing-masing. Meskipun begitu keduanya tidak membuka kartu satu sama lain di hadapan kedua orang tua mereka ataupun khalayak publik.Marlon tidak tahu siapa cowok Sarah dan begitu juga dengan Sarah yang tidak tahu menahu siapa cewek Marlon.Tanpa aba-aba keduanya memandang satu sama lain. Awal mulanya tatapan mereka memiliki sebuah arti walaupun itu tidak begitu jelas.Lama-kelamaan mereka jadi teringat akan keberadaan mereka di rumah tersebut karena sebuah perjodoha
Seperti yang pernah Sarah rasakan beberapa waktu lalu.Rasanya sama seperti ketika Sarah memergoki Evan sedang makan berdua dengan salah satu sahabat ceweknya di tempat favorit Evan, tentunya saat awal-awal hubungan keduanya dulu.Sarah sebenarnya merasa sangat cemburu dengan keberadaan sahabatnya itu, yang menurut keterangan Evan adalah sahabat kecilnya dan sampai sekarang mereka masih tetap bersama dan berteman baik.Sarah pun tahu diri, kemudian merasa dirinya tidak memiliki hak untuk memisahkan sepasang sahabat tersebut ataupun melarang Evan untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu.Sarah sempat khawatir hubungannya dengan Evan rusak dengan kehadiran orang ketiga yaitu orang yang disebut sahabat. Namun, sekarang Sarah sangat mempercayai Evan.Evan memang tidak sekaya Marlon, bisa dikatakan Evan hanyalah pemuda dari kalangan bawah, tetapi rasa cinta Sarah terhadap Evan tidak diukur dengan harta."Iya, Sayang. Aku tau kok, kamu yang sabar ya."Lagi-lagi Marlon terus berbicara mesra
Seperti yang pernah Marlon bilang sebelumnya pada Natalia, malam ini dirinya tidak bisa menemani Natalia, akan tetapi Marlon tidak tega dan tidak mampu juga mengabaikannya saat Natalia menelponnya dan merengek minta di temani. Ternyata Natalia hendak pergi dari rumah ibu tirinya. "Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, aku seperti orang asing. Apa kamu bisa temani aku untuk mencari kontrakan untuk sementara waktu, Sayang? Karena aku tidak mungkin tinggal bersama papa dan mama tiriku lagi," ujar Natalia beberapa jam yang lalu. "Kenapa kamu tidak tinggal di rumah mama kandung kamu saja, Sayang?" tanya Marlon. Bukankah selama ini Natalia juga sering menginap di rumah mama kandungnya? "Aku tidak ingin membuat mama kepikiran jika dia tau yang sebenarnya mengapa aku menetap di rumah mama. Tentu saja mama akan marah pada papa dan aku tidak mau mereka bertengkar," jawabnya terdengar sedih. "Baiklah, aku yakin keputusanmu sangat baik untuk ke depannya, aku akan ke sana."Meskipun
Tidak butuh waktu lama, tepat pukul 9 malam mobil yang dikendarai oleh Sarah dan Vita kini sudah terparkir rapi di salah satu halaman cafe yang sedang digandrungi di kalangan masyarakat saat ini. "Gimana menurutmu, Sar? Bagus banget 'kan cafenya?" Vita meminta pendapat Sarah, Vita sangat yakin jika Sarah juga menyukainya karena keduanya memiliki selera yang hampir sama. Dari dalam mobil Sarah dapat melihat dengan jelas bagian depan cafe yang terlihat sangat elegan, dindingnya dihiasi lampu-lampu kecil. Tidak begitu ramai akan tetapi terlihat begitu natural. Sarah memperhatikan dari dalam mobil sambil kepalanya manggut-manggut. "Ya, lumayan bagus," sahut Sarah. Sarah sudah mengunjungi puluhan tempat di berbagai negara, untuk hal-hal seperti itu tentu saja Sarah pandai menilai. Parkiran hampir penuh, mobil Sarah paling mewah di antara semua kendaraan yang ada karena kebanyakan orang yang berkunjung dari kalangan menengah ke bawah. Vita buru-buru keluar dari dalam mobil. Dia khaw
Di meja nomor 18 "Gimana? Kamu suka gak makan di sini?" tanya Marlon yang tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Natalia yang duduk di hadapannya. Mereka sudah tiba di cafe itu beberapa menit yang lalu, kini mereka juga tengah menikmati masakan cafe tersebut. "Ini sangat bagus, Sayang. Lebih bagus dari tempatku bekerja, padahal ini hanya cafe sedangkan tempatku bekerja itu restoran. Kamu memang pandai memilih," sahut Natalia jujur. "Tentu saja, aku tidak mungkin mengajakmu ke tempat yang tidak biasa karena bagiku kamu itu ratu. Ayo di habiskan makananmu," pinta Marlon. Natalia mengangguk senang. Mereka menyantap makanan mereka dengan sesekali mengobrol random. "Ehh, coba deh kamu rasakan makanan aku. Ini enak banget," kata Marlon menyodorkan steak yang sudah berada di dekat mulut Natalia. Natalia pun membuka mulutnya. "Hmmm." "Gimana?" tanya Marlon melihat wajah Natalia tampak menikmati makanan yang dikunyahnya. "Ini sungguh enak, Sayang," sahut Natalia. Mereka berdua pun s
"Ya. Aku memang cemburu!" ujar Sarah dengan mantap, hal itu membuat Marlon berhenti tertawa. Tidak menyangka sama sekali jika istrinya itu akan cemburu pada Natalia. "Apa maksudmu? Kita sudah sepakat untuk mengurus urusan kita masing-masing tanpa kita ikut campur urusan kita satu sama lain," ingat Marlon pada Sarah. Terlihat sangat jelas wajah Sarah yang menahan amarah, tapi ada kesedihan juga di dalamnya. "Cemburu itu hakku, kenapa kamu mengaturnya?" tanya Sarah menantang. "Hak?" ulang Marlon tidak mengerti. Dia amat tidak menyangka sedikitpun jika Sarah sekarang berani mengungkapkan perasaannya itu pada Marlon. Sarah tahu jika dirinya saat ini seperti sebuah lelucon di mata Marlon. Bagaimana tidak? Dulu Sarah lah yang menginginkan kehidupan seperti yang terjadi sekarang tetapi kenyataannya, lambat laun Sarah diam-diam memperhatikan perhatian Marlon yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dan hal itu membuat Sarah terpengaruh memiliki rasa cemburu terhadap Marlon. Mulanya Sarah ing
Sarah tersenyum kecut, teramat begitu kecut. Bagaimana tidak, apa yang Marlon tebak itu benar adanya. Sarah memang menginginkan perpisahan tapi bukan waktu yang tepat untuk sekarang ini. "Kamu pikir enak ya jadi aku berada di posisi yang sekarang? Aku tau maunya kamu itu ke arah mana pada hubungan ini, aku pun sama. Tapi...." Ucapan Sarah berhenti. Marlon dan Sarah serempak menengok ke arah pintu, suara bel berbunyi. "Itu pasti dia datang, kamu lihat sana," pinta Marlon pada Sarah. Sarah agak melotot karena mendapatkan perintah dari Marlon. "Kamu menyuruhku? Sejak kapan kita saling suruh-menyuruh? Lagian sudah ada bi Sumi, iya kan?" tanya Sarah mengingatkan. Marlon menggelengkan kepalanya sendiri. "Kamu nurut saja, bukain pintu untuknya. Ini semua demi agar kita terlihat kompak dan baik-baik saja," ujar Marlon menjelaskan. Sarah telah salah sangka pada Marlon, apa yang Marlon bilang benar juga. 'Benar juga apa kata gerandong. Bukankah dengan begitu, kita akan terlihat sepert
APARTEMEN NATALIA Natalia menghela nafas panjang. Setelah Marlon mengantar ke apartemennya, Natalia segera mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur kemudian naik ke pembaringan. Tidak ada acara apapun setelahnya karena memang dirinya hanya tinggal sendiri, sedangkan perutnya juga sudah merasa kenyang meskipun dia tidak sempat menghabiskan makanannya di cafe bersama Marlon tadi. Sebenarnya Natalia masih merasa heran dengan sikap Marlon malam ini, tumben sekali dia tidak mampir saat Marlon mengantarkan Natalia pulang tadi. Biasanya Marlon akan tinggal beberapa jam, meskipun Marlon tidak menginap setidaknya akan ada sesi basa-basi. Sesibuk apapun, Marlon akan menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan Natalia. Malam ini tidak lagi. "Apa ini ada hubungannya dengan wanita yang berada di cafe tadi ya? Siapa dia? Kenapa wanita itu memanggil Marlon dengan sebutan tuan? Apa dia anak boss Marlon?" gumam Natalia bingung. Natalia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang memint