Dani meninggalkan Ningroem di ruang perawatan, setelah tangannya ditancapi jarum impus. Ningroem harus bersabar selama tiga hari dengan jarum infus yang tertancap di tangannya. Demi bayi yang sehat. Ia pun harus rela ditinggal Dani beberapa saat untuk mengambil baju ganti dan peralatan yang dibutuhkan olehnya selama berada di rumah sakit. "Mbak sendirian?" Tanya ibu muda yang perutnya membesar, sepertinya ia akan segera melahirkan karena terlihat sedang mengusap-usap bagian pinggang belakangnya. yang sepertinya sakit karena menahan kontraksi.. "Iya, tadi ada suami tetapi lagi pulang untuk mengambil baju," sahut Ningroem. "Oh..., Sama berarti tadi saya hanya ingin kontrol eh tahu-tahu mules keterusan. Kata dokter ini tanda mau melahirkan, jadi saya tidak di ijinkan pulang. Mbak mau melahirkan juga?" "Enggak saya hanya perlu di infus tiga hari saja untuk menambah berat badan bayi. Usia kandungan saya baru menginjak tujuh bulan, Mbak." "Oh, saya kira sama seperti saya akan melahir
Pagi hari yang cerah burung-burung berkicau dengan riangnya, di ranting pohon mangga yang berada tak jauh dari ruang inap Ningroem.Burung gereja berbaris di atas ranting pohon sehingga sayang untuk dilewatkan.Ningroem memperhatikan burung-burung kecil dari jendela kamarnya. Burung itu terbang dan hinggap kembali di ranting pohon yang lain. Ada juga sepasang burung yang sedang memadu kasih keduanya saling Patuk mematuk paruh, saling mencarikan kutu satu dengan lainnya. Ningroem tersenyum memperhatikan tingkah laku burung-burung kecil itu."Assalamualaikum."Ningroem terperanjat saat mendengar ucapan salam dari seseorang. Yang Ningroem begitu hafal akan suaranya."Kok dia tahu jika aku berada di sini! Apa Mas Dani yang memberi tahunya?" bisik Ningroem di dalam hatinya. Ia pun menjawab ucapan salam tersebut."Walaikum salam, kok Mbak tahu jika aku berada di sini?" tanya Ningroem yang penasaran dengan kedatangan Ratna istri pertama dari Dani."Mas Dani semalam memberi tahu Mbak, jika Ad
Malam ini lain dari malam yang biasanya walaupun udara tetap terasa dingin. Namun, pemandangan di atas sana sayang untuk dilewatkan. Bulan terbentuk sempurna bulat, benderang sehingga langit terlihat terang seperti di pagi hari. Ningroem yang merasa bosan terus-menerus berada di kamar. Meminta Ratna untuk menemaninya ke luar sekedar untuk duduk di bangku taman yang sudah ada di tempatnya. "Mbak temani aku yuk, duduk di sana!" "Dingin, Dek. Ini kan sudah malam!" Ratna menolak dengan halus karena memang sudah malam, Jam dinding sudah menunjukkan jam delapan malam. "Tak apa Mbak, masih banyak orang yang berada di luar. Tuh lihat!" Ningroem menunjuk dengan telunjuknya ke arah jendela. Dengan terpaksa Ratna bangkit dari rebahannya di atas karpet dan melongok ke arah jendela. Sebetulnya Ratna enggan beranjak ingin rasanya bila berleha-leha saja. Namun, madunya —Ningrome memintanya untuk keluar mencari angin. Ratna tidak dapat menolak permintaannya, walaupun sebenarnya tanpa sengaja t
Pagi-pagi sekali Ningroem sudah bangun, ingin mandi sendiri. Rasanya tak enak jika terus melibatkan Ratna dalam urusan personal hygienenya. Kali ini wanita berlesung pipi ingin membersihkan dirinya sendiri. Ia sudah di beri tahu oleh perawat jika ingin melakukan aktifitas selang infusnya harus di tutup dulu supaya darah tidak ikut mengalir ke dalam selang, yang mengakibatkan selang infusan macet. Kali ini Ningroem ingin mempraktekkannya sendiri. Seumpama masih tetap selangnya macet ia harus bersedia di korek-korek lagi. Ningroem sebetulnya sudah ingin pulang, melepaskan selang infus yang masih tertancap di lengannya. Pergelangan tangan bagian atas sudah mulai memar karena membengkak. Rasanya sakit dan nyeri. Tetapi Ia masih mencoba bertahan hanya sampai hari ini saja. Besok pagi Ningroem sudah bisa pulang dan bernafas bisa lega. Namun, sebelum hari itu tiba wanita itu harus membersihkan dirinya dulu. Dengan berjalan hati-hati Ningroem memasuki kamar mandi, mulai melepaskan pakaian
Ratna yang mendengar teriakan Ningroem langsung menghampiri Madunya, wanita itu mendapati Ningroem dengan wajah panik. Ia melihat darah yang mengalir memenuhi pergelangan tangan Ningroem. kemudian darah itu menetes ke lantai sehingga mengotori lantai putih klinik. Ratna menjadi pucat melihat darah yang berceceran di lantai. Ia pun pingsan setelah memanggil nama Suaminya ---Dani yang sedang berada di luar ruangan. Dani yang sedang duduk di teras ruangan. Tempat Ningroem di rawat pun. Terlihat sedang mengobrol dengan sesama penunggu pasien yang seorang laki-laki juga. "Mas, dipanggil tuh?" "Iya, saya permisi masuk dulu." "Silahkan, Mas." Dani segera melangkah meninggalkan bapak yang sedari tadi berbincang dengannya. Dani melihat Ratna sedang digotong, di taruh di tempat tidur yang kosong. oleh beberapa orang yang melihat Ratna pingsan . Tangan Ningroem yang berdarah belum ada yang menolong. Sehingga Dani bergegas masuk mencoba menahan darah yang mengalir dengan memegang bekas i
Satu persatu dokter memeriksa dan menanyakan keluhan yang dirasakan klien setelah melahirkan. Tibalah Ningroem untuk diperiksa. "Ini ya yang kemarin melepaskan infusan sendiri hingga menjadi heboh." Ningroem tertunduk malu. ia merasa malu telah melakukan kesalahan kemarin. Dokter pria paruh baya memeriksa denyut nadi di tangan Ningroem dan pernafasannya. "Sudah lebih baik, bisa pulang sekarang setelah menebus dan menyelesaikan administrasi hari ini." "Baik, dok terima kasih banyak." Dani mewakili memberikan jawaban. Setelah itu dokter meninggalkan ruangan Ningroem. Dani menyuruh Ratna untuk merapikan peralatan yang dibawa Ningroem untuk berkemas pulang. Ningroem sangat senang, malam ini pasti ia akan bisa tidur lebih nyenyak. Karena beberapa hari ini ia kurang tidur. Karena tidak terbiasa tidur di tempat lain selain di rumahnya sendiri. "Yank, mau pulang pakai apa? Atau aku telpon ayah saja untuk mengantarkan mobil ke sini?" "Itu ide bagus. Yank minta supir untuk mengantar k
"Apa yang terjadi sehingga Ningroem bisa pingsan, Bu?" tanya Ratna seolah mencurigai ibunya. Yang telah berbuat sesuatu pada wanita yang di bawa kerumah itu secara mendadak. Wanita setengah baya hanya menggelengkan kepalanya saja, ia tidak menjawab pertanyaan putrinya. "Ibu, bohong. Pasti ibu mengatakan sesuatu yang membuat Ningroem merasa tidak nyaman. Jika ibu tidak senang Ningroem berada di sini. Baiklah aku akan keluar dari rumah ini." "Jangan tinggalkan ibu, Nak. Ibu hanya kasihan padamu sehingga mengatakan ibu kasihan jika anak ibu harus membagi Suaminya dengan dirinya. Ibu tak mampu membayangkannya, itu saja yang ibu katakan. Setelah itu Mirna jatuh pingsan." "Baiklah, ibu jangan pikirkan itu. Ini urusan Ratna jangan mencampuri urusan rumah tangga Ratna. Jika ibu masih ingin melihat aku ada disini!" Ratna terpaksa mengucapkan kalimat ancaman supaya ibunya tidak melakukan hal yang sama dan terulang lagi. Ratna sungguh mengkhawatirkan Ningroem dengan keadaannya yang tidak
Dua bulan kemudian. Sejak pagi Ningroem merasakan mulas pada bagian perutnya dan sekitaran pinggang. Jika dihitung memang ini sudah mendekati hari lahir si jabang bayi. Namun, masih kurang satu hari lagi baru genap sembilan bulan. Ningroem terus mengelus perutnya yang mulas. Bu Sarah melihat Ningroem yang mengelus perutnya terus menerus pun akhirnya bertanya, "Kau mules? Apa sudah keluar flek dan darah?" "Sudah tadi pas baru bangun tidur hendak pipis." "Sepertinya kau akan melahirkan hari ini atau malam. Sebaiknya kau kemas baju bayi dan beberapa baju daster milikmu untuk ganti." "Baik, Bu." Ratna yang mendengar pembicaraan Ibunya dan Ningroem langsung ikut berbicara. "Biar, Mbak yang menyiapkan keperluan bayi. Ning duduk saja atau berjalan-jalan untuk mempermudah persalinan. Kata orang seperti itu." Ratna segera menelpon Suaminya— Dani yang masih berada di pasar untuk berjualan. Setelah ponsel tersambung Ratna langsung menyampaikan, jika Ningroem sudah mulas- mulas, akan