Ajeng risau dan takut dengan kondisi papanya, yang tiba-tiba memburuk. Dia bersikukuh untuk tetap berada di rumah sakit. Bian berusaha menenangkan dan berhasil membujuk Ajeng untuk pulang bersamanya. “Kamu tenang saja, Dokter Abdi adalah dokter terbaik di rumah sakit itu. Papamu pasti mendapat perawatan yang terbaik,” ucap Bian begitu mereka masuk ke dalam mobil. “Yakin tu dokter enggak akan mencelakai papa?” sinis Ajeng. Terus terang dia menaruh curiga pada Bian. Karena percakapannya dengan seseorang tadi terdengar ganjil. Mungkin saja laki-laki yang baru menjadi suaminya itu, ada kaitannya dengan kesehatan papanya. Bian menoleh menatap Ajeng dan perempuan itu balas menatapnya. Mereka berdua saling diam sejenak. “Capek. Buruan pulang!” Ajeng mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Bian curiga kepadanya. Dalam perjalanan, Ajeng dan Bian sempat berdebat ke mana mereka akan pulang. Ajeng bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Sama halnya dengan Bian yang juga ingin mengajak Ajeng unt
Bian berkacak pinggang sembari geleng-geleng kepala, melihat Ajeng yang masih tertidur pulas meski matahari mulai meninggi. Laki-laki itu berniat ingin membangunkan untuk sarapan. Bian kasihan, sejak kemarin perut istrinya belum terisi sama sekali, saat membuat jus pun justru dijahili olehnya. Tangannya bersiap menyentuh bahu Ajeng, membuat perempuan itu bangun. Tapi terhenti ketika melihat ekspresi Ajeng yang terlihat sedih, sedetik kemudian berganti senyuman. "Apa dia sedang bermimpi?" gumam Bian. Tanpa sadar bibirnya ikut tertarik ke belakang. Melihat Ajeng tersenyum dengan kedua mata tertutup seperti itu menimbulkan rasa yang berbeda di dalam hati Bian. Paras Ajeng yang memang sudah cantik sejak lahir, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. Namun, Bian segera menyadarkan diri tidak ingin terlalu larut. "Bangun!" Bian bernada agak tinggi. "Bangun tuan putri!" Bian semakin meninggikan suaranya. Dan akhirnya berhasil membuat Ajeng bangun. "Apaan sih! Berisik!" protes Ajen
Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri. Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat. Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit. Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya. “Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata. “Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat. Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng. Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat. “Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian. “Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah. Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah. Bian beralih menatap sepiring nasi goreng
Ajeng cukup terkejut dengan tindakan Bian kepadanya. Suaminya itu menghempaskan dirinya ke sofa. Kemudian mencengkeram pergelangan tangannyaTangan satunya lagi menahan tubuhnya, agar berjarak dengan Ajeng. Bian memang sengaja, agar Ajeng tidak menodongkan lagi pisau padanya. Netranya menatap marah pada Ajeng. Kini laki-laki itu ada di atas tubuh istrinya. Berseru dengan lantang, memberi tahu Ajeng mengenai orang tuanya. “Selama ini kamu tidak tahu, kan? Kalau om Himawan merawat karena merasa bersalah kepadaku. Kejadian di pabrik mebel sepuluh tahun yang lalu. Semua karena om Himawan. Dan kematian kedua orang tuaku juga rencana dari om Himawan,” jelas Bian. “Papa? Melakukan itu semua?” Kedua mata Ajeng melebar. Tidak menyangka mendengar cerita itu dari Bian. “Tidak mungkin. Papa tidak mungkin melakukan hal itu,” ucap Ajeng lirih. Tubuh lemas mendengar papanya dituduh menjadi pembunuh oleh Bian. Yang dia tahu selama ini, papanya bersahabat dekat dengan ora tua Bian. Itulah kenapa p
“Jangan harap kamu bisa punya anak dariku, Bian.” Ajeng berucap dalam hati. Rasanya dia ingin bersorak penuh kemenangan. Karena melihat ekspresi Bian yang terkejut setelah mendengar penjelasan dari pak Ridwan. Ajeng memang tidak pernah mau tahu tentang urusan pekerjaan papanya. Termasuk dengan pak Ridwan, Ajeng sendiri juga belum mengenalnya secara personal. Semuanya selaku diserahkan kepada Bian. Tapi, kali ini Ajeng merasa bangga dan berterima kasih. Papanya ternyata tidak menyerahkan perusahaannya begitu saja kepada Bian. “Saya juga mempunyai kewajiban untuk terus memantau kalian berdua. Karena pak Himawan memberikan kepercayaannya kepada saya. Untuk memastikan bahwa Ajeng selalu baik-baik saja,” ucap pak Ridwan. Setelah memberikan penjelasan panjang lebar. Pengacara pribadi Himawan itu pamit. “Saya percaya, Ajeng akan aman dan bahagia bersamamu, Bian.” Pak Ridwan menepuk pundak Bian. Kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat ke Bian. Pak Ridwan berbisik, “Percayalah.
Pagi ini Ajeng merasa kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Mau tidak mau, dia harus berterima kasih kepada Bian. Meskipun mulut suaminya itu sering berkata pedas dan kejam. Tapi soal makan Ajeng tidak pernah kekurangan. Ketrampilan memasak Bian memang harus diacungi jempol. Karena sudah terbiasa hidup sendiri sejak sekolah, Bian juga jadi terbiasa untuk memasak sendiri.“Tuh orang memang agak-agaknya bipolar deh. Kalau mau niat jahat kenapa nggak biarin aku mati kelaparan.” Ajeng bicara sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya. “Waktu aku sakit juga dia mau merawat aku. Aneh, kan? Masa iya mau balas dendam, tapi masih simpati sama aku.” Kali ini Ajeng duduk dinpinggir ranjangnya. “Apa jangan-jangan ....” Ajeng menggeleng cepat. “No! Masa Bian suka sama aku? Dia kan udah bilang nikahin aku karena mau balas dendam? Ah, si Danu. Ya, Bian itu sebenarnya baik, tapi dihasut sama di Danu itu.” Ajeng berpindah ke dekat jendela. Sembari mengelus dagunya, Ajeng menduga-duga sendiri. Ka
Keintiman Bian dan perempuan itu membuat hati Ajeng panas. Suaminya itu terlihat nyaman dan sangat akrab. Bahkan tertawa dengan lepas. Tidak seperti saat bersama dirinya.Yang paling membuat Ajeng tidak tahan adalah perempuan itu terlihat genit. Tangannya beberapa kali menepuk pundak Bian dan kadang mencubit pipinya. ‘Ke kantor apanya? Malah janjian sama cewek. Dasar playboy.’ Ajeng berucap dalam hati. “Hei! Kamu mau pesan apa, Ajeng?” Stella menjentikkan jari tepat di muka Ajeng. “Bengong! Lihatin apaan?” Stella hendak memutar tubuhnya, penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu. “Pesan ini!” Ajeng menunjuk asal makanan yang ada di buku menu. Dia tidak ingin Stella sampai tahu Bian ada di sana. Bisa heboh nanti, karena Stella begitu mengidolakan asisten papanya itu. Apa jadinya kalau Ajeng sampai memberitahu tentang pernikahannya dengan Bian. Bisa-bisa, Stella akan histeris. “Ok!” Stella mengangguk tanda mengerti. Kemudian melambai pada pelayan restoran untuk memesan
Stella jelas terkejut mendengar Ajeng mengaku sebagai istri Bian. Mulut perempuan itu membuka lebar saking syoknya.“Kapan kamu menikah sama Bian?” Stella berkacang pinggang.Ajeng pun nyengir.“Panjang ceritanya,” jawab Ajeng kemudian menggeser kakinya, memberi jarak pada sahabatnya itu.Stella kemudian menatap Bian, seolah meminta penjelasan dari laki-laki itu. Namun, Bian hanya mengedikkan bahunya sembari mengulum senyum.“Kamu jangan marah, Stella. Nanti aku ceritakan semuanya,” bujuk Ajeng.Stella mendengkus kasar, kemudian memasang wajah cemberut. Dia merasa seperti tidak dianggap oleh sahabatnya sendiri. “Baiklah karena sudah ada suamimu. Lebih baik aku pulang. Kita bisa bicara lain kali,” ketus Stella. Lalu melirik Bian sekilas kemudian bergegas meninggalkan Ajeng.“Stella! Tunggu!” Ajeng hendak mengejar Stella, tapi Bian menarik tangannya agar Ajeng tetap berada di tempat.Bian meminta Ajeng tetap tinggal karena belum mengambil obat. Dan, mau tidak mau Ajeng harus menurut