Ajeng risau dan takut dengan kondisi papanya, yang tiba-tiba memburuk. Dia bersikukuh untuk tetap berada di rumah sakit. Bian berusaha menenangkan dan berhasil membujuk Ajeng untuk pulang bersamanya.
“Kamu tenang saja, Dokter Abdi adalah dokter terbaik di rumah sakit itu. Papamu pasti mendapat perawatan yang terbaik,” ucap Bian begitu mereka masuk ke dalam mobil.“Yakin tu dokter enggak akan mencelakai papa?” sinis Ajeng. Terus terang dia menaruh curiga pada Bian. Karena percakapannya dengan seseorang tadi terdengar ganjil. Mungkin saja laki-laki yang baru menjadi suaminya itu, ada kaitannya dengan kesehatan papanya.Bian menoleh menatap Ajeng dan perempuan itu balas menatapnya. Mereka berdua saling diam sejenak.“Capek. Buruan pulang!” Ajeng mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Bian curiga kepadanya.Dalam perjalanan, Ajeng dan Bian sempat berdebat ke mana mereka akan pulang. Ajeng bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Sama halnya dengan Bian yang juga ingin mengajak Ajeng untuk ke rumahnya.Sudah menjadi hal yang wajar bukan, setelah menikah mempelai perempuan pulang ke rumah mempelai laki-laki.“Bisa nggak ngalah dulu?” seru Ajeng kemudian memutar bola matanya dengan malas.“Untuk menikah saja aku udah dipaksa sama papaku. Dan sekarang juga mau maksa aku buat pulang ke rumahmu?” sengit Ajeng. Kedua tangannya dilipat di dada.Benar apa kata Ajeng. Saat ini perempuan itu sedang tidak bisa berkutik. Mau sekarang atau nanti, toh Bian tetap harus membawa Ajeng ke rumahnya. Maka dari itu, untuk sekarang Bian mengalah membiarkan Ajeng pulang ke rumahnya sendiri.Begitu memasuki garasi rumah, Ajeng tampak girang. Rasanya seperti sudah berhari-hari meninggalkan rumah bak istana baginya.“Bi Atik? Buatin jus Alpukat!” teriak Ajeng begitu memasuki ruang tamu.“Bi Atik enggak ada. Kamu buat sendiri saja,” sahut Bian yang tiba-tiba sudah berada di belakang Ajeng.“Ngapain kamu ikut masuk?” sewot Ajeng, tidak suka dengan keberadaan Bian di sana.“Lupa? Aku sekarang menantu di rumah ini.” Bian tidak kalah sewot.Ajeng melengos, menganggap keberadaan Bian tidak ada.“Mang Adi? Buatin–““Mang Adi juga enggak ada!” Bian memotong sebelum Ajeng menyelesaikan ucapannya.Ajeng menatap heran Bian.“Aku yang meminta mereka berdua agar pulang kampung. Mulai sekarang jika butuh sesuatu kamu kerjakan sendiri.” Bian memberi penjelasan sebelum Ajeng bertanya lebih lanjut.“What?” Ajeng berkacak pinggang. Mulutnya membuka lebar. Heran dan kesal, belum ada satu hari Bian menjadi suaminya. Laki-laki itu sudah sok berkuasa.“Siapa kamu seenaknya—““Ah, katanya tadi mau buat jus, kan? Sekalian buatkan untukku. Aku mau ke kamar om Himawan dulu, ambil dokumen. “ Lagi Bian memotong ucapan Ajeng. Laki-laki itu membalikkan badan, menuju ke kamar Himawan di lantai atas.“Kamu ...” Ajeng meneriaki Bian. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat seolah sedang meremas tubuh suami barunya itu.Bian tersenyum penuh kemenangan. Tanpa Ajeng ketahui,Himawan memang sudah memberikan wewenang kepada Bian atas rumah itu. Dia boleh melakukan apa saja dan memberikan perintah kepada semua yang bekerja di rumah Himawan. Termasuk dua pembantu yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah itu, Bi Atik dan Mang Adi.Ajeng jelas tidak terima dengan Bian yang bersikap bak bos di rumahnya. Dia berniat mendatangi laki-laki itu untuk membuat perhitungan.Akan tetapi, perutnya lebih dulu protes. Sedari pagi bangun dari hotel, lalu pergi ke rumah sakit. Hingga sore ini Ajeng sama sekali belum makan. Apa boleh buat, hal itu menuntunnya untuk pergi ke dapur lebih dulu. Mencari sesuatu yang bisa dipakai mengganjal perut.Melihat tudung saji di meja makan, Ajeng semringah. Sayang, tidak ada apa-apa di baliknya. Hanya ada mangkuk kosong yang di tumpuk dengan rapi. Ajeng lalu beralih ke lemari pendingin. Kebetulan ada buah favoritnya, alpukat.“Gimana cara bikin jusnya?” Ajeng berdecak kesal. Satu tangannya masih memegang pintu lemari pendingin.Selama ini Ajeng terbiasa dilayani, bahkan untuk membuat jus saja dia tidak tahu bagaimana caranya.Bian diam-diam mengawasi dari jauh. Masuk ke dalam kamar Himawan hanya alibi. Sengaja ingin mengerjai Ajeng saja.“Masa sih, bikin jus saja tidak bisa.” Ajeng lalu mengambil satu alpukat dan mengupasnya. Memutuskan untuk membuat jus sendiri. Butuh waktu la baginya untuk mengupas buah itu, sampai jarinya tergores oleh pisau.“Aduh!” pekik Ajeng.Bian hampir saja ingin menghampiri Ajeng. Mengecek apakah perempuan itu baik-baik saja. Sesungguhnya Bian tidak tega melihat Ajeng membuat jus sendiri. Mengingat istrinya itu adalah anak yang manja.Namun, jika teringat akan dendam yang disimpan. Bian harus berlaku kejam pada Ajeng.“Ah bodoh! Kenapa harus dikupas. Harusnya dibelah saja kemudian keruk dagingnya.” Ajeng memukul kepala sendiri. Baru sadar kalau caranya salah.Bian sempat menahan tawa, melihat Ajeng menyadari kesalahannya. Tetapi cepat-cepat bersikap biasa saja, seolah tidak melihat kejadian tadi.“Not badlah, buat jus sendiri.” Ajeng berbangga diri setelah berhasil.Dia hendak menuangkan jus ke dalam gelas. Bukan sembarang gelas, melainkan gelas kesayangan miliknya. Dan ternyata gelas itu di tata di lemari bagian atas. Ajeng berjinjit berusaha meraih gelas tersebut tapi tangannya tidak sampai.Bian melangkah maju, ingin membantu Ajeng. Tapi, perempuan itu lebih dulu berhasil menggapainya.Sebuah insiden kecil terjadi. Tangan Ajeng meleset membawanya turun ke bawah, membuat gelasnya terjatuh.Bian berlari, tangannya meraih gelas itu sebelum menyentuh lantai.“Ceroboh!” ucap Bian. Ajeng terkesiap karena kehadiran Bian yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.“Mana?” Ajeng mengulurkan tangan.Bukannya memberikan gelasnya pada Ajeng. Bian justru menuangkan jus untuknya sendiri kemudian meneguknya hingga habis.“Makasih udah dibuatin.” Bian meletakkan gelas, lalu memberi seringaian.“Bian!” teriak Ajeng. Karena sudah terlalu kesal, perempuan itu mengepalkan tangan, melayangkan tepat di wajah Bian.Laki-laki itu dengan sigap menangkap pergelangan tangan Ajeng, mencengkeramnya dengan erat. Membuat Ajeng kesakitan.“Jangan coba-coba melawanku! Atau kamu sendiri yang akan terluka!” Bian memberi peringatan. Ajeng sama sekali tidak takut, memberontak agar tangannya bisa lepas.Bian semakin mempererat genggamannya.“Jangan manja! Jangan jadi tukang perintah lagi! Karena aku yang akan memerintahmu!” Bian menatap Ajeng dengan serius.Mendengar perkataan Bian. Ajeng semakin yakin, kalau laki-laki itu mempunyai niat yang tidak baik. Bian pasti punya maksud lain kenapa dia mau menikahinya. Apalagi kalau bukan harta papanya.“Siapa yang mau menuruti perintahmu? Aku? Jangan harap!” Ajeng tersenyum miring, menatap benci pada suami barunya itu.Dengan sekuat tenaga Ajeng menginjak kaki Bian, hingga akhirnya terpaksa melepas genggamannya.Ajeng memberikan tatapan mengejek pada Bian. Kemudian melesat pergi dari dapur. Ajeng masuk ke dalam kamar, membanting pintunya dengan keras, sengaja agar Bian mendengar. Perempuan itu terpaksa menahan lapar karena belum jadi memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Ajeng meringkuk di ranjang miliknya. Mendekap guling kesayangan.Saat itu juga rasa rindu kepada papanya sangat besar. Ajeng baru merasakan betapa dia sangat menginginkan papanya berada di sisinya saat ini. Ajeng merasa takut kalau Bian benar-benar memiliki rencana jahat, baik kepadanya maupun kepada papanya.“Papa, cepat sembuh!” rengek Ajeng. Air matanya mengalir.Sedangkan Bian masih berdiri di dapur, menatap gelas yang kosong miliknya. Jauh di lubuk hati, Bian merasa tidak seharusnya bersikap kasar kepada Ajeng. Hanya karena benci kepada Himawan, dia melampiaskan kepada anaknya.Mau bagaimana lagi, tetap harus tega karena tujuannya memang membuat sengsara Ajeng. Agar setimpal dengan apa yang dirasakannya selama ini.Mengingat kembali pertemuannya dengan Danu beberapa waktu yang lalu. Bian mengetahui sebuah fakta bahwa yang membuat orang tuanya meninggal adalah Himawan. Laki-laki yang kini menjadi mertuanya itu, sengaja menjebak kedua orang tuanya dalam peristiwa kebakaran sepuluh tahun yang lalu.Hal itu dilakukan Himawan, agar bisa menguasai sepenuhnya kepemilikan pabrik furniture yang didirikan bersama orang tua Bian.Bian sangat kecewa dan terluka. Orang yang selama ini dianggap sebagai penyelamat hidup ternyata adalah pembunuh kedua orang tuanya.“Baiklah, Himawan. Kamu yang memulai semua ini,” gumam Bian. Dia melangkah jauh dari dapur. Setelah sampai di ruang tamu, Bian merogoh ponsel di saku celana dan menghubungi Danu. Matanya menatap kamar Ajeng yang berada di lantai dua.“Om Danu? Lakukan sesuai rencana. Dia harus merasakan apa yang orang tuaku rasakan. Nyawa dibalas dengan nyawa,” ucap Bian. Satu tangannya mengepal kuat-kuat.Bian berkacak pinggang sembari geleng-geleng kepala, melihat Ajeng yang masih tertidur pulas meski matahari mulai meninggi. Laki-laki itu berniat ingin membangunkan untuk sarapan. Bian kasihan, sejak kemarin perut istrinya belum terisi sama sekali, saat membuat jus pun justru dijahili olehnya. Tangannya bersiap menyentuh bahu Ajeng, membuat perempuan itu bangun. Tapi terhenti ketika melihat ekspresi Ajeng yang terlihat sedih, sedetik kemudian berganti senyuman. "Apa dia sedang bermimpi?" gumam Bian. Tanpa sadar bibirnya ikut tertarik ke belakang. Melihat Ajeng tersenyum dengan kedua mata tertutup seperti itu menimbulkan rasa yang berbeda di dalam hati Bian. Paras Ajeng yang memang sudah cantik sejak lahir, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. Namun, Bian segera menyadarkan diri tidak ingin terlalu larut. "Bangun!" Bian bernada agak tinggi. "Bangun tuan putri!" Bian semakin meninggikan suaranya. Dan akhirnya berhasil membuat Ajeng bangun. "Apaan sih! Berisik!" protes Ajen
Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri. Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat. Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit. Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya. “Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata. “Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat. Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng. Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat. “Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian. “Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah. Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah. Bian beralih menatap sepiring nasi goreng
Ajeng cukup terkejut dengan tindakan Bian kepadanya. Suaminya itu menghempaskan dirinya ke sofa. Kemudian mencengkeram pergelangan tangannyaTangan satunya lagi menahan tubuhnya, agar berjarak dengan Ajeng. Bian memang sengaja, agar Ajeng tidak menodongkan lagi pisau padanya. Netranya menatap marah pada Ajeng. Kini laki-laki itu ada di atas tubuh istrinya. Berseru dengan lantang, memberi tahu Ajeng mengenai orang tuanya. “Selama ini kamu tidak tahu, kan? Kalau om Himawan merawat karena merasa bersalah kepadaku. Kejadian di pabrik mebel sepuluh tahun yang lalu. Semua karena om Himawan. Dan kematian kedua orang tuaku juga rencana dari om Himawan,” jelas Bian. “Papa? Melakukan itu semua?” Kedua mata Ajeng melebar. Tidak menyangka mendengar cerita itu dari Bian. “Tidak mungkin. Papa tidak mungkin melakukan hal itu,” ucap Ajeng lirih. Tubuh lemas mendengar papanya dituduh menjadi pembunuh oleh Bian. Yang dia tahu selama ini, papanya bersahabat dekat dengan ora tua Bian. Itulah kenapa p
“Jangan harap kamu bisa punya anak dariku, Bian.” Ajeng berucap dalam hati. Rasanya dia ingin bersorak penuh kemenangan. Karena melihat ekspresi Bian yang terkejut setelah mendengar penjelasan dari pak Ridwan. Ajeng memang tidak pernah mau tahu tentang urusan pekerjaan papanya. Termasuk dengan pak Ridwan, Ajeng sendiri juga belum mengenalnya secara personal. Semuanya selaku diserahkan kepada Bian. Tapi, kali ini Ajeng merasa bangga dan berterima kasih. Papanya ternyata tidak menyerahkan perusahaannya begitu saja kepada Bian. “Saya juga mempunyai kewajiban untuk terus memantau kalian berdua. Karena pak Himawan memberikan kepercayaannya kepada saya. Untuk memastikan bahwa Ajeng selalu baik-baik saja,” ucap pak Ridwan. Setelah memberikan penjelasan panjang lebar. Pengacara pribadi Himawan itu pamit. “Saya percaya, Ajeng akan aman dan bahagia bersamamu, Bian.” Pak Ridwan menepuk pundak Bian. Kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat ke Bian. Pak Ridwan berbisik, “Percayalah.
Pagi ini Ajeng merasa kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Mau tidak mau, dia harus berterima kasih kepada Bian. Meskipun mulut suaminya itu sering berkata pedas dan kejam. Tapi soal makan Ajeng tidak pernah kekurangan. Ketrampilan memasak Bian memang harus diacungi jempol. Karena sudah terbiasa hidup sendiri sejak sekolah, Bian juga jadi terbiasa untuk memasak sendiri.“Tuh orang memang agak-agaknya bipolar deh. Kalau mau niat jahat kenapa nggak biarin aku mati kelaparan.” Ajeng bicara sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya. “Waktu aku sakit juga dia mau merawat aku. Aneh, kan? Masa iya mau balas dendam, tapi masih simpati sama aku.” Kali ini Ajeng duduk dinpinggir ranjangnya. “Apa jangan-jangan ....” Ajeng menggeleng cepat. “No! Masa Bian suka sama aku? Dia kan udah bilang nikahin aku karena mau balas dendam? Ah, si Danu. Ya, Bian itu sebenarnya baik, tapi dihasut sama di Danu itu.” Ajeng berpindah ke dekat jendela. Sembari mengelus dagunya, Ajeng menduga-duga sendiri. Ka
Keintiman Bian dan perempuan itu membuat hati Ajeng panas. Suaminya itu terlihat nyaman dan sangat akrab. Bahkan tertawa dengan lepas. Tidak seperti saat bersama dirinya.Yang paling membuat Ajeng tidak tahan adalah perempuan itu terlihat genit. Tangannya beberapa kali menepuk pundak Bian dan kadang mencubit pipinya. ‘Ke kantor apanya? Malah janjian sama cewek. Dasar playboy.’ Ajeng berucap dalam hati. “Hei! Kamu mau pesan apa, Ajeng?” Stella menjentikkan jari tepat di muka Ajeng. “Bengong! Lihatin apaan?” Stella hendak memutar tubuhnya, penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu. “Pesan ini!” Ajeng menunjuk asal makanan yang ada di buku menu. Dia tidak ingin Stella sampai tahu Bian ada di sana. Bisa heboh nanti, karena Stella begitu mengidolakan asisten papanya itu. Apa jadinya kalau Ajeng sampai memberitahu tentang pernikahannya dengan Bian. Bisa-bisa, Stella akan histeris. “Ok!” Stella mengangguk tanda mengerti. Kemudian melambai pada pelayan restoran untuk memesan
Stella jelas terkejut mendengar Ajeng mengaku sebagai istri Bian. Mulut perempuan itu membuka lebar saking syoknya.“Kapan kamu menikah sama Bian?” Stella berkacang pinggang.Ajeng pun nyengir.“Panjang ceritanya,” jawab Ajeng kemudian menggeser kakinya, memberi jarak pada sahabatnya itu.Stella kemudian menatap Bian, seolah meminta penjelasan dari laki-laki itu. Namun, Bian hanya mengedikkan bahunya sembari mengulum senyum.“Kamu jangan marah, Stella. Nanti aku ceritakan semuanya,” bujuk Ajeng.Stella mendengkus kasar, kemudian memasang wajah cemberut. Dia merasa seperti tidak dianggap oleh sahabatnya sendiri. “Baiklah karena sudah ada suamimu. Lebih baik aku pulang. Kita bisa bicara lain kali,” ketus Stella. Lalu melirik Bian sekilas kemudian bergegas meninggalkan Ajeng.“Stella! Tunggu!” Ajeng hendak mengejar Stella, tapi Bian menarik tangannya agar Ajeng tetap berada di tempat.Bian meminta Ajeng tetap tinggal karena belum mengambil obat. Dan, mau tidak mau Ajeng harus menurut
Sebagai permintaan maaf dari pihak hotel, mereka menyediakan kamar vip untuk Bian dan Ajeng istirahat. Pihak hotel juga memanggil dokter untuk mengecek kondisi Ajeng. “Sekali lagi kami mohon maaf, atas kelalaian karyawan kami,” ucap manajer restoran.Bian sebenarnya ingin marah, tapi Ajeng meminta untuk tidak memperpanjang kan masalah. Dia hanya ingin istirahat sebentar, karena merasa tubuhnya sangat lemah.Bian pun akhirnya menyetujui tawaran dari hotel. “Silakan dinikmati semua fasilitas dari kami, jika memerlukan sesuatu Anda bisa menghubungi nomor telepon yang sudah tertera di daftar panggilan.” Manajer restoran yang mengantar Bian dan Ajeng meninggalkan kamar setelah undur diri.Bian menatap Ajeng yang ternyata sudah terlelap di ranjang berukuran besar dengan nuansa sprei dan selimut serba putih. Laki-laki itu perlahan menghampiri Ajeng dan duduk di sampingnya. Bian mengangkat tangan, hendak menyibakkan rambut Ajeng yang sebagian menutupi wajah. Namun, sedetik kemudian Bian