Pagi ini Diana sudah terlihat sehat. Perutnya juga sudah tak lagi bergejolak. Wajah yang biasanya pucat kembali tampak berseri. Bahkan sekarang terlihat lebih cantik dari sebelumnya.Ia sudah sangat rindu kembali ke sekolah. Bertemu murid-murid yang cerewet tapi menggemaskan. Bersama mereka, ia bisa tertawa lepas. Apalagi ketika bersama trio ceriwis yang selalu mengikutinya kala makan ke kantin. Selalu ada saja tingkah polah mereka yang membuatnya mengocok perut. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Gamis longgar yang selalu ia kenakan, tak mampu menutupi perutnya yang sudah sedikit membuncit. Setelah memastikan semua barang bawaannya lengkap, wanita berseragam keki dengan model gamis itu turun lebih dulu menuju ruang makan. Tak perlu menunggu sang suami selesai bersiap. Hatinya masih dongkol mengingat soal susu hamil semalam. Namun ia tetap menyiapkan pakaian kerja suaminya. Katanya hari ini pria dingin itu akan pergi ke kantor. Ada beberapa berkas penting yang harus ditand
"Aku antar!""Nggak perlu.""Mau membantah suami?"Diana menghembuskan nafas lelah. Ia binggung dengan sikap suaminya yang mirip bunglon. Berubah-ubah. Di dalam mobil, keduanya hanya diam. Diana memilih untuk menatap jendela, sementara Desta fokus menyetir. Suasana seperti ini membuat keduanya kembali canggung seperti awal pernikahan. Bunyi dering HP mengalihkan fokus Desta. Menggunakan satu tangan untuk menyetir, satu tangan lainnya untuk membuka gawainya yang terus menjerit minta diangkat. Belum sempat ia mengucap salam, orang di seberang telepon sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan. Pria itu tampak gusar. Alisnya mengernyit dengan rahang terkatup rapat seperti sedang menahan emosi. "Sudahlah, Met. Nanti aku jelaskan. Sekarang aku sedang menyetir. Tutup dulu telponnya."[...]"Ya. Aku bersamanya." Ekor mata pria itu melirik ke samping. Diana tahu siapa yang sedang menghubungi suaminya. Bahkan ia yang resmi bergelar istri saja tak memiliki waktu lebih lama dengan suamin
Meski panik, Diana harus bertindak cepat. Ketiga anak ini harus segera dilarikan ke rumah sakit jika tak ingin terjadi apa-apa. Dia segera meminta tolong salah satu siswa yang ada di kantin untuk mencari pak Sukri, sopir sekolah yang biasa mengoperasikan mobil inventaris. Ia juga memerintahkan murid lain untuk ke ruang guru mengabarkan hal ini. Hatinya diliputi rasa was-was melihat kondisi muridnya sudak tak bergerak. Ia sendiri tiba-tiba merasa pusing dan mual. Namun sekuat tenaga ia menahannya. Saat ini yang terpenting adalah nasib ketiga siswa ini. Sepuluh menit kemudian beberapa guru tergopoh-gopoh mendatangi lokasi. Puluhan siswa juga sudah berkerumun di sekitar mereka. "Apa yang terjadi, Bu Diana?" tanya Pak Seno, kepala sekolah. "Nggak tahu, Pak. Kami makan bersama, tapi tiba-tiba mereka mengeluh pusing dan akhirnya pingsan.""Apa yang mereka makan?""Mereka makan bekal dari rumah masing-masing ditambah bekal punya saya," lirih Diana. Tidak mungkin kan, mereka pingsan gara
"Berapa uang jaminan yang Bapak minta, akan saya berikan. Tapi tolong bebaskan dia. Kasihan dia sedang hamil muda," ucap Daniel saat tiba di kantor polisi. Ia segera menemui petugas untuk melakukan negosiasi. "Simpan saja uangmu, Pak. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nyawa tiga siswa dalam bahaya, dan kau malah kasihan pada penjahat itu?" Polisi tampak geram melihat Daniel yang berusaha membujuknya. Tatapan tajamnya menghunjam langsung pada manik kelam Daniel. "Dari pada menghamburkan uang, lebih baik cari pengacara saja untuk membelanya. Dan jangan lupa bawa bukti-bukti kalau dia memang tidak bersalah. Hukum akan berlaku adil kalau memang dia terbukti bersih dari kasus ini."Menghembuskan nafas panjang, Daniel berusaha tetap tenang. Benar kata polisi. Percuma ia bersikeras kalau ia tak memiliki bukti apapun. "Kalau begitu, bolehkah saya menemuinya sebentar, Pak?""Lima belas menit. Waktumu hanya lima belas menit saja."Keduanya berjalan menuju ruangan yang terdapat s
"Lihatlah, penghuni baru ini begitu pendiam!" ucap wanita bertubuh gempal yang sedang dikerumuni wanita lain sambil dipijat. "Hei, penghuni baru! Kenalan dulu, dong! Kita semua sama di sel ini, penjahat, ha ha ha ...." Diana tak menggubris ucapan wanita itu. Sejak sejam yang lalu, ia dipindahkan ke ruangan ini. Berbagi tempat dengan delapan tahanan lain yang tampaknya mereka tak ingin membuat Diana tenang. "Heh, sombong sekali kamu! Nggak usah sok suci! Penampilan seperti malaikat tapi ternyata berhati iblis! Nggak nyangka seorang guru tega meracuni anak didiknya sendiri," ucapnya lagi diikuti derai tawa yang lain. Telinga Diana sudah sangat panas mendengarnya. Namun ia mencoba bergeming. Pura-pura tak dengar karena tak mau bermasalah dengan penghuni lain. "Eh, ternyata selain jahat, dia juga tuli, Gaes!" Lagi-lagi derai tawa menggema mengejek Diana. Hanya satu yang diminta wanita hamil ini, segera bebas dari tempat ini. Jika terus-menerus di sini, ia khawatir mentalnya nggak aka
Lelaki berwibawa itu mengangguk. Lalu menatap sang menantu dengan tatapan iba. Sudah berusaha bernegosiasi dengan pihak polisi tapi sama seperti Daniel. Mereka harus membawa bukti kalau Diana nggak bersalah, baru bisa dibebaskan. Uang jaminan tak bisa membuatnya keluar dari sini berapapun jumlahnya. "Sabar ya, Nak. Daddy sedang berusaha mencari cara agar kamu segera bebas.""Iya, Dad. Maaf, Diana sudah menyusahkan kalian." Wanita itu menunduk sedih. Tangannya mengelus perut yang tiba-tiba bergerak. Ya, bayinya berubah aktif semenjak ia dipenjara. "Ini, Mommy bawakan bayak buah untukmu. Kamu harus makan banyak supaya calon cucu Mommy tumbuh dengan sehat." Wanita berpenampilan modis itu menyodorkan parsel buah kepada menantunya. "Waktu kalian sudah habis! Silahkan keluar dari ruangan ini!" ucap sipir penjara menginterupsi mereka. Sebelum keluar, Marini memeluk erat menantunya sekali lagi. Menghujani ciuman di pipi dan dahinya bertubi-tubi. Sesaat setelahnya, Diana dibawa masuk kemba
"Abang!" Pria itu menoleh. Matanya membola melihat sang adik sudah berdiri di belakangnya. "Loh, Diana?"Wanita itu tak mengindahkan keterkejutan abangnya. Ia langsung menubruk tubuh kejar itu dengan perasaan haru. "Makasih, Bang. Makasih sudah berjuang untuk membebaskanku. Aku yakin Abang pasti bisa mengumpulkan bukti-bukti."Daniel menjauhkan wajahnya. Meraih bahu adiknya dan menjatuhkan tatapan penuh tanya. "Bebas? Kamu beneran bebas?""Iya, Bang ... dan ini semua berkat Abang! Makasih, ya. Aku sayang banget sama Abang." Diana kemali memeluk Daniel. Rasa bahagianya tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan melebihi bahagianya mendapat hadiah dari bapak saat ia mendapat juara satu waktu sekolah dulu. "Tapi ... Abang belum melakukan apa-apa untukmu. Ini baru saja mau diskusi sama pengacara. Tapi kamu sudah bebas saja."Ucapan Daniel sukses membuat Diana melepaskan diri dari pelukan hangat sang kakak. Kalau bukan abangnya, lalu pria yang dimaksud pak polisi tadi siapa? Diana
Mata Bik Ijah membelalak lebar dengan mulut menganga kala melihat siapa yang ada di hadapannya. Untuk sesaat, bik Ijah lupa caranya berkedip. Tangannya mencubit lengannya sendiri. Sakit. Berarti ini nyata. Bukan mimpi. "Non! Non Diana? Benar ini Non Diana?" ucap Bik Ijah ekspresif. Wanita itu tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk istri majikannya itu. Lalu ia menoleh ke belakang seolah memberi tahu pada nyonya besar kalau menantu tercintanya sudah kembali. Namun tak ada kata yang bisa keluar, seolah kata-kata itu menyangkut di tenggorokan."Assalamu'alaikum, Bik.""Wa--wa'alaikumsalam, Non. Eh, beneran ini bukan mimpi. Ya Allah, Non. Akhirnya, Non bebas. Bibik yakin Non nggak bersalah. Ayo, Non kita masuk!"Bik Ijah heboh sendiri melihat orang yang ditangisi sudah ada di depannya. Memutari tubuh Diana seolah meneliti adakah luka di tubuhnya. "Non Diana baik-baik saja, kan? Pak polisi atau tahanan lain tidak menganiaya Non, kan di sana? Non juga makan kenyang kan?"Lagi-lagi bik