"Lihatlah, penghuni baru ini begitu pendiam!" ucap wanita bertubuh gempal yang sedang dikerumuni wanita lain sambil dipijat. "Hei, penghuni baru! Kenalan dulu, dong! Kita semua sama di sel ini, penjahat, ha ha ha ...." Diana tak menggubris ucapan wanita itu. Sejak sejam yang lalu, ia dipindahkan ke ruangan ini. Berbagi tempat dengan delapan tahanan lain yang tampaknya mereka tak ingin membuat Diana tenang. "Heh, sombong sekali kamu! Nggak usah sok suci! Penampilan seperti malaikat tapi ternyata berhati iblis! Nggak nyangka seorang guru tega meracuni anak didiknya sendiri," ucapnya lagi diikuti derai tawa yang lain. Telinga Diana sudah sangat panas mendengarnya. Namun ia mencoba bergeming. Pura-pura tak dengar karena tak mau bermasalah dengan penghuni lain. "Eh, ternyata selain jahat, dia juga tuli, Gaes!" Lagi-lagi derai tawa menggema mengejek Diana. Hanya satu yang diminta wanita hamil ini, segera bebas dari tempat ini. Jika terus-menerus di sini, ia khawatir mentalnya nggak aka
Lelaki berwibawa itu mengangguk. Lalu menatap sang menantu dengan tatapan iba. Sudah berusaha bernegosiasi dengan pihak polisi tapi sama seperti Daniel. Mereka harus membawa bukti kalau Diana nggak bersalah, baru bisa dibebaskan. Uang jaminan tak bisa membuatnya keluar dari sini berapapun jumlahnya. "Sabar ya, Nak. Daddy sedang berusaha mencari cara agar kamu segera bebas.""Iya, Dad. Maaf, Diana sudah menyusahkan kalian." Wanita itu menunduk sedih. Tangannya mengelus perut yang tiba-tiba bergerak. Ya, bayinya berubah aktif semenjak ia dipenjara. "Ini, Mommy bawakan bayak buah untukmu. Kamu harus makan banyak supaya calon cucu Mommy tumbuh dengan sehat." Wanita berpenampilan modis itu menyodorkan parsel buah kepada menantunya. "Waktu kalian sudah habis! Silahkan keluar dari ruangan ini!" ucap sipir penjara menginterupsi mereka. Sebelum keluar, Marini memeluk erat menantunya sekali lagi. Menghujani ciuman di pipi dan dahinya bertubi-tubi. Sesaat setelahnya, Diana dibawa masuk kemba
"Abang!" Pria itu menoleh. Matanya membola melihat sang adik sudah berdiri di belakangnya. "Loh, Diana?"Wanita itu tak mengindahkan keterkejutan abangnya. Ia langsung menubruk tubuh kejar itu dengan perasaan haru. "Makasih, Bang. Makasih sudah berjuang untuk membebaskanku. Aku yakin Abang pasti bisa mengumpulkan bukti-bukti."Daniel menjauhkan wajahnya. Meraih bahu adiknya dan menjatuhkan tatapan penuh tanya. "Bebas? Kamu beneran bebas?""Iya, Bang ... dan ini semua berkat Abang! Makasih, ya. Aku sayang banget sama Abang." Diana kemali memeluk Daniel. Rasa bahagianya tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan melebihi bahagianya mendapat hadiah dari bapak saat ia mendapat juara satu waktu sekolah dulu. "Tapi ... Abang belum melakukan apa-apa untukmu. Ini baru saja mau diskusi sama pengacara. Tapi kamu sudah bebas saja."Ucapan Daniel sukses membuat Diana melepaskan diri dari pelukan hangat sang kakak. Kalau bukan abangnya, lalu pria yang dimaksud pak polisi tadi siapa? Diana
Mata Bik Ijah membelalak lebar dengan mulut menganga kala melihat siapa yang ada di hadapannya. Untuk sesaat, bik Ijah lupa caranya berkedip. Tangannya mencubit lengannya sendiri. Sakit. Berarti ini nyata. Bukan mimpi. "Non! Non Diana? Benar ini Non Diana?" ucap Bik Ijah ekspresif. Wanita itu tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk istri majikannya itu. Lalu ia menoleh ke belakang seolah memberi tahu pada nyonya besar kalau menantu tercintanya sudah kembali. Namun tak ada kata yang bisa keluar, seolah kata-kata itu menyangkut di tenggorokan."Assalamu'alaikum, Bik.""Wa--wa'alaikumsalam, Non. Eh, beneran ini bukan mimpi. Ya Allah, Non. Akhirnya, Non bebas. Bibik yakin Non nggak bersalah. Ayo, Non kita masuk!"Bik Ijah heboh sendiri melihat orang yang ditangisi sudah ada di depannya. Memutari tubuh Diana seolah meneliti adakah luka di tubuhnya. "Non Diana baik-baik saja, kan? Pak polisi atau tahanan lain tidak menganiaya Non, kan di sana? Non juga makan kenyang kan?"Lagi-lagi bik
"Ma--mas," Untuk sesaat pria ini menegang. Tak menyangka sang istri akan membuka mata saat ia akan mencuri kecupan darinya. Memalukan. Wajahnya sudah memerah. Pria ini sangat menggemaskan kalau sedang salah tingkah. "Kenapa posisi tidurmu begitu? Lehermu bisa sakit nanti." Desta duduk di pinggir ranjang. "Tadi aku menunggumu." Wanita ini ikutan duduk. Rasa kantuk yang menggelayut telah sirna begitu saja. "Ada apa?" Pria ini kembali ke mode datar. Ekspresinya selalu kaku seperti kanebo kering. "Terimakasih.""Untuk?""Sudah membebaskanku." Senyum Diana mengembang. Andai ia memiliki keberanian lebih, ia ingin menubruk tubuh kekar suaminya. Sayang ia tak punya nyali untuk itu. Padahal sah-sah saja, kan? Mereka sudah halal. "Bukankah Daniel yang membebaskanmu? Dia selalu jadi pahlawan buatmu, kan?" Wanita bermata bening itu menggeleng lemah. Mengatur napas untuk menetralkan degub jantungnya yang menggila. "Bang Daniel baru membawa pengacara. Dia bilang baru mau berdiskusi denganny
Pria yang terlihat segar sehabis mandi ini menghadap sang istri. Menjadikan tangan kanannya sebagai tumpuan kepala. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyingkirkan anak-anak rambut Diana dan menyelipkannya ke belakang telinga."Saat aku dengar berita tentangmu dari salah satu karyawanku yang kebetulan ibu dari salah satu korban, aku langsung menuju ke rumah sakit. Membantu para dokter untuk menyembuhkan mereka." Tangan kiri Desta meraih pinggang sang istri. Lalu menarik tubuhnya agar mendekat, hingga kepala wanita itu masuk dalam dekapan hangat sang suami. Ada rasa haru menyelimuti. Juga seperti ribuan kembang api meledak dalam dadanya. Ini adalah momen yang sudah lama dinantikan keduanya. Saling berbagi cerita sebelum tidur. Sayangnya masalah yang mendera rumah tangganya membuat mereka harus menahan egonya masing-masing. "Aku memang nggak pernah ke kantor polisi. Untuk apa? Toh kalau aku ke sana tanpa membawa bukti, kamu tidak akan bisa bebas. Lagipula salah satu polisi di sana adal
"Andai aku tahu kalau aku akan dinikahkan denganmu waktu itu, aku memilih kabur biar Meta tak nekat berbuat jahat.""Kamu menyesal menikah denganku?" Suara Desta terkesan dingin dan tajam mencipta ketegangan di hati Diana."Bu--bukan begitu," lirihnya. Selanjutnya, Desta melakukan sesuatu yang membuat wanita itu hampir jantungan."Mas!" Diana memekik kala tubuhnya tiba-tiba terasa melayang. Serta merta ia mengalungkan tangannya ke leher sang suami. Wajah wanita itu memerah dengan jarak sedekat ini. Ia menelusupkan kepalanya pada dada bidang sang imam untuk menyembunyikan rona di ke dua pipi. Saat itulah ia mendengar degub jantung Desta sama cepatnya dengan jantung miliknya. "Kita mau ke mana, Mas? Kenapa membawaku ke mobil?" Terlalu sibuk menetralkan debar-debar dahsyat di dalam dada, Diana sampai tak menyadari kalau kini ia sudah di dudukkan dalam mobil. "Kita ke rumah sakit. Kita harus memeriksakan kandungan, karena aku nggak yakin selama dipenjara kamu makan dengan benar."Men
"Aku tahu beberapa hari setelah pernikahan kita." Diana tersenyum tipis. "Awalnya aku menyangkal. Karena Bapak dan Ibu tak pernah memperlakukan aku seperti anak pungut sebelumnya. Baru setelah kejadian itu mereka berubah sikap. Menjadi lebih dingin dan ketus.""Kenapa kamu diam saja?""Terus aku harus bagaimana? Mereka yang selama ini kuanggap keluargaku ternyata bukan. Bahkan mereka sangat membenciku. Katakan, apa yang harus kulakukan?"Benar. Apa yang harus Diana lakukan? Selama ini tak ada yang benar-benar peduli padanya. Bahkan dirinya yang sudah menjadi suami wanita ini, tak mau peduli. Ia lebih memilih untuk memperjuangkan cintanya yang ternyata palsu. Meta tak benar-benar cinta padanya. Ia hanya mengincar hartanya saja. Karena tahu dia adalah pewaris tunggal keluarga Wijaya. Ada berkah dibalik musibah. Itulah yang Desta tahu sekarang. Justru dari musibah yang baru saja dialami sang istri, ia bisa mengambil banyak pelajaran. Kebenaran akhirnya terungkap. "Dari mana kamu tahu k