"Sa-saya?" Aku menunjuk diri sendiri. Sungguh perasaan ini tak enak. "Iya kamu, Al. Kemarilah," titah Omah Fira—mamahnya Pak Fikri sekali lagi.Aku melangkah berat menuju sofa yang dimaksud Omah Fira. Di ruang tengah itu, semua keluarga Pak Fikri masih berkumpul. Hanya aku yang bukan siapa-siapa, turut bergabung di sana."Mulai sekarang, Mama titip Fikri sama kamu ya," ucap Omah Fira membuat wajahku mendongak terkejut."Maksudnya?" tanyaku setengah berdesis.Ada yang membuat hati ini terharu saat Omah Fira menyebut dirinya Mama untukku. Omah Fira Memang jauh berbeda dengan Omah Rani yang selalu saja menghinaku."Harus kamu pahami, Al. Fikri tak memiliki siapa-siapa lagi selain Mama dan kamu. Setelah ayahnya meninggal, Fikri hanya tinggal sama Mama. Tapi Mama tidak bisa di sini karena Mama juga ada rumah. Kamu urus suami kamu dengan baik. Mama titip Fikri sama kamu. Jadilah istri yang membuat suaminya nyaman," tutur Omah Fira dengan lembut. Sebelah tangannya bahkan mengusap rambutku d
"Ada apa, Al?" Pak Fikri menatapku nanar."Mba Naysila, telah mengambil uang saya, Pak." Aku menjawab jujur."Apa! Berani kamu menuduhku ya!" bantah Naysila. Padahal jelas sekali kalau amplop itu ada pada tangannya tadi. Wanita itu pandai sekali berkilah."Kamu jangan asal menuduh, Al." Pak Fikri juga tidak percaya dengan ucapanku."Saya tidak menuduh, Pak. Amplop berisi uang yang Pak Fikri berikan telah diambil Mba Naysila. Amplopnya ada pada tasnya. Periksa saja," tantangku. Namun kulihat wajah Mba Naysila nampak biasa saja. Dia malah langsung menyodorkan tasnya."Nih, periksa saja!" "Maaf, Nay. Saya periksa ya. Agar tidak ada fitnah," ucap Pak Fikri sebelum dia membuka tas Naysila.Benar saja, amplop itu ada di dalam tas Naysila. Pak Fikri mengambilnya. Lalu ia membuka isi amplop itu."Ini hanyalah surat, Nay. Kamu jangan asal menuduh." Kulihat isi amplop itu memang hanyalah berisi beberapa lembar surat saja. Ya ampun, lalu kemana perginya uang sepuluh juta milikku."Tapi, uang s
Aku melihat Naysila nampak mengekori langkah Pak Fikri. Ingin kucegah tapi mereka telah masuk ke kamar.Akhirnya aku kembali menguping di depan celah pintu yang terbuka."Mas, jangan periksa cctv sekarang!"Aku melihat Naysila menarik tangan Pak Fikri namun tak lama dihempaskan."Kenapa?" Suamiku bertanya pada adik iparnya."Karena Mama meminta kamu datang ke rumah sekarang." Naysila merengek. Kulihat tangannya bahkan kembali menggenggam suamiku."Tapi—""Aku mohon, Mas. Jangan sampai Mama berpikiran yang tidak-tidak tentang kamu. Dia menunggu di rumah sekarang juga. Kamu bisa memeriksa cctv di lain waktu kan. Oh iya, aku akan suruh security memeriksanya." Naysila masih memaksa dengan rengekannya."Oke kita ke rumah Mama sekarang." Wanita itu berhasil membawa suamiku pergi. Mereka berjalan seiringan menuju kendaraan roda empat milik Pak Fikri.Namun melihat itu, perasaan ini berkata lain. Aku melihat ada yang aneh dengan gelagat Naysila. Wanita itu seperti tengah menyembunyikan sesua
Ini adalah kali pertama aku melihat wajah Pak Fikri benar-benar marah. Setelah puas menampar wajah Rangga, dia kemudian masuk dan duduk di kursi depan. Tanpa basa-basi, suamiku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan mobil ini membuat jantung ini terasa berdebar keras tak seperti biasanya. Bukan hanya takut dengan kecepatan kendaraan roda empat ini, tapi aku juga takut dengan kemarahan Pak Fikri."Pak, jangan kencang-kencang bawa mobilnya. Saya takut." Akhirnya aku memberanikan diri."Saya bukan supir kamu! Jangan seenaknya memerintah saya," balas Pak Fikri terdengar pedas.Aku tak paham dengan pria yang Rangga sebut tua itu. Dia nampak benar-benar marah. Hingga sampai di rumah, tanpa basa-basi dia menyeretku masuk ke dalam rumah. Tubuh ini dilemparkan ke atas sofa. Memang tidak sakit, tapi hati ini yang sakit. Aku ini bukan budaknya yang bisa dilakukan seenaknya."Jangan kasar, Pak. Saya ini manusia," protesku akhirnya."Manusia macam apa kamu, berani-beraninya berselingkuh dengan
"Saya bukan manusia kurang kerjaan, Alsava. Pekerjaan saya banyak dan tidak ada waktu buat melihat kamar kamu!" bantahnya. Majikan jutekku itu membela diri tak terima dengan tuduhanku."Saya tidak percaya." Aku membuang pandangan ke samping."Ya terserah kamu kalau tidak percaya. Itu bukan urusan saya." Tanpa perduli, Pak Fikri kembali memainkan kedua jemarinya pada benda persegi di hadapannya."Tunggu, Pak. Jangan sampai Pak Fikri melihat saya di dalam kamar," cegahku lagi. Tentu aku tak mau kalau sampai tubuh ini ditonton oleh pria dewasa seperti Pak Fikri."Jangan kepedean kamu, Alsava. Saya hanya ingin melihat pelaku yang menghilangkan uang mingguan kamu. Kalau sampai pelakunya kamu sendiri, jangan harap saya bisa percaya lagi." Aku tak bisa lagi mencegah saat Pak Fikri kembali melanjutkan niatnya. Dipandangnya dengan seksama layar pada benda persegi itu. Resah dalam hati karena takut kalau pria dewasa di hadapanku berniat yang aneh-aneh."Ini kamu lihat." Pak Fikri menyodorkan l
Ada gundukan yang keras yang menindih pahaku. Entah apa itu. Membuat alirah darahku seakan berhenti mengalir."Maaf, Al. Kaki saya tersandung. Kamu tidak apa-apa kan?" Pak Fikri langsung bangkit dari tubuhku. Wajah juteknya kini berubah memerah seolah tengah menahan malu."Kaki saya sakit, Pak. Sepertinya keseleo," jawabku setengah menahan malu. Ini adalah kali pertama ada seorang pria menindihku. Meski tak sengaja, rasanya aku malu. Bahkan dalam benak masih bertanya-tanya tentang gundukan yang keras di pahaku tadi."Saya periksa ya."Aku mengangguk saja karena kakiku rasanya memang nyut-nyutan.Tangan Pak Fikri langsung meraih kakiku. Aku pikir tangannya akan kasar tapi ternyata sangat lembut, bahkan jauh berbeda dengan telapak tangan milikku yang agak kasar karena sering menggunakan sabun cuci piring dan cuci pakaian.Diusapnya kaki ini kemudian dipijat dengan lembut membuat aliran listrik yang berada di tubuhku terasa naik. Aku menarik kaki ini karena tak enak."Kenapa? Sudah sembu
"Tolong!" Aku masih berusaha berteriak."Alsava, bangun!"Sayup-sayup terdengar suara wanita. Tapi entah dari mana datangnya. Aku hanya bisa berteriak minta tolong. "Tolong!" Usahaku hanya itu karena tubuh ini terasa kaku bak tertimpa beban yang berat. Mungkin karena Pak Fikri menindihku."Bangun, Al." Seketika aku terkejut dan langsung duduk. Keringat terasa membasahi tubuh. Aku segera membuka mata. Di sampingku ada Mama Fira yang menatapku aneh."Pak Fikri," bisikku. Kuedarkan pandangan ke sekiling ruangan kamar. Tak kulihat majikanku itu. Dimana Pak Fikri? Cepat sekali dia lari."Al, kamu kenapa? Kamu mimpi buruk?" Mama Fira duduk di sampingku dan mengusap bahuku."Hah, mimpi?" Setengah lingkung bertanya pada mertuaku."Iya, Al. Kamu pasti mimpi ya. Sampai keringatan begitu." Mama Fira mengusap dahiku."Aku mimpi, Ma?" Aku masih saja linglung dengan keadaan. Beberapa kali menelan Saliva penuh rasa ketakutan."Ya ampun, Alsava. Memangnya kamu mimpi apaan? Sampai menyebut nama Fikri
"I-iya, Pak. Tapi Pak Fikri jangan melihat. Kalau melanggar, akan saya laporkan polisi," ancamku yang sepertinya tak berarti apa-apa.Kulihat Pak Fikri sudah berdiri menghadap pintu kamar mandi. Sementara aku masih saja bergeming. Aku tak bisa mandi karena kakiku sakit. Gegas aku duduk di kloset yang ditutup. Aku mulai menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah itu,"Sudah, Pak," ucapku."Kamu belum mandi, Al," suara Pak Fikri terdengar kesal."Saya gak jadi mandi. Kalau Mama bertanya, jawab saja saya sudah mandi. Gampangkan," saranku. Mana ada laki-laki yang tahan ketika melihat wanita bertelanjang bulat. Enak saja. Aku tak akan pernah mau bertelanjang di depan Pak Fikri, meski dia suamiku."Terserah kamu. Ayo keluar, dasar jorok."Pak Fikri kembali membopong tubuhku. Meski jorok, tubuhku tetap wangi kok. Apalagi sejak pake parfum pemberian almarhum Bu Nabila yang wanginya gak akan hilang selama seminggu."Sudah selesai ya? Duh kalian romantis sekali." Mama Fira.Aku tak menyangka kala