"Iya maaf, Prof. Saya gak biasa pakai perhiasan, jadi bingung mau jawab apa," sahut Intan, memelas."Ya sudah, nanti kamu bisa pilih sendiri mana yang kamu suka," ucap Zein.Ia terkesan otoriter dan menyebalkan. Namun Zein tetap memberikan kesempatan pada Intan untuk memilih. Secara tidak langsung ia menghargai pilihan calon istrinya itu."Baik, Prof," sahut Intan.Ia tidak menyangka Zein akan memperlakukannya seperti itu. Sehingga Intan pun merasa dihargai.Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di parkiran sebuah ruko. Beruntung Zein bisa memarkirkan mobilnya tepat di depan toko perhiasan yang ia tuju.Setelah memarkir mobilnya, Zein turun dan berjalan ke arah pintu Intan. Sebelum Zei
Sontak saja Zein dan Intan tersedak saat mendengar ucapan Rani. Bahkan air yang Intan minum sampai keluar dari hidung saking kagetnya."Lho, Intan. Kamu kenapa?" tanya Rani. Ia pun terkejut melihat reaksi Intan sampai seperti itu.Uhuk! Uhuk! Uhuk!Intan belum bisa menjawab pertanyaan Rani karena ia tersedak cukup parah.Rani mengambilkan tisu untuk Intan dan Intan pun menerimanya. Lalu mengelap mulut dan hidungnya yang basah itu."Ya ampun ... sampai segitunya. Maaf ya Mamah bicaranya di momen yang gak tepat," ucap Rani. Ia merasa bersalah karena bicara saat Intan sedang minum.Wajah Intan sampai merah padam karena tersedak tadi. Ia pu
Intan ternganga melihat sikap Zein seperti itu. Rasanya ia ingin melempar Zein dengan tasnya. Namun ia berusaha menahan diri karena masih sadar bahwa Zein adalah konsulennya."Oh, jadi dia mau pura-pura gak kenal sama aku. Oke, lo jual gue beli!" gumam Intan pelan. Ia pun akan bersikap sama seperti Zein, pura-pura tidak kenal.Intan masuk ke arah ruangannya. Kebetulan mereka harus naik lift yang sama untuk bisa naik ke ruangan mereka.Akhirnya Intan pun menunggu lift di sebelah Zein dan yang lainnya. Namun ia bersikap tidak kalah dingin dari Zein. Intan seolah tidak melihat Zein dan pura-pura tak kenal padanya.'Lho, kenapa dia malah ikutan nyuekin aku? Harusnya dia minta maaf atau baikin aku karena kemarin sudah sembarangan bicara, dong!' batin Zein
"Sore, Prof," sapa Intan seperti biasa saat memasuki mobil Zein. Kemudian ia langsung mengenakan seatbelt karena tidak ingin ada drama dipasangkan seatbelt oleh Zein lagi."Sore," sahut Zein. Kemudian ia melajukan kendaraannya.Saat sedang berada di jalan, mereka hanya terdiam. Zein masih kesal karena tadi Intan bersikap dingin padanyadan malah akrab dengan Bian. Sementara kekesalan Intan terhadap Zein memang sudah menggunung."Ini hari terakhir kamu kerja. Saya harap mulai besok kamu bisa istirahat di rumah. Jangan sampai ada drama sakit di hari pernikahan nanti," celetuk Zein. Ia tidak tahan jika hanya berdiam seperti itu.Intan ternganga. "Drama?" tanyanya sambil mengerutkan kening."
Zein yang sudah terlanjur ge'er itu berbelok ke arah Intan berada. Ia ingin pura-pura lewat sana agar disapa oleh Intan.Zein pun berjalan dengan penuh percaya diri dan keinginannya terkabul, saat ia melintasi Intan mereka semua yang ada di sana menyapa Zein.“Eh, ada Prof!” bisik salah seorang dokter."Pagi, Prof," ucap Intan dan yang lainnya.Setelah itu Intan langsung memalingkan wajah karena ia malu mengingat kejadian kemarin sore di mobil."Pagi," sahut Zein, pura-pura cool sambil berlalu.Namun ia tidak puas hanya seperti itu. Ia berharap Intan menghampirinya dan basa-basi padanya.
Zein tercekat mendengar pertanyaan seperti itu dari Intan. Saat ini lidahnya kelu, antara hati dan otak bertentangan. Ia bingung ingin mengaku, tetapi sangat gengsi. Alhasil Zein malah marah."Berani sekali kamu bicara seperti itu pada saya? Apa karena sekarang saya sudah bukan konsulen kamu lalu kamu tidak sopan seperti itu?" tanya Zein, kesal."Yang pasti karena saya sudah lelah menghadapi sikap Prof yang sangat aneh itu," skak Intan lagi."Oh, sekarang sifat asli kamu ketahuan, ya. Kemarin kamu berusaha keras untuk bersikap sopan di hadapan saya. Tapi setelah mendapatkan nilai, kamu bisa bicara seenaknya seperti itu." Zein masih mencari kesalahan Intan meski itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini."Terserah Prof
"Sudah cukup, Mas," ucap photografersaat Zein lupa melepaskan kecupannya. Seketika Zein pun langsung mundur. Ia malu karena sempat lupa diri. "Sabar ya, Mas, masih siang. Hehehe," ledek photografer sambil tersenyum melihat tingkah Zein. Intan mengulum senyuman. Ia senang karena Zein dipermalukan di depan umum. Ia lupa bahwa ada hal besar yang harus ia hadapi setelah ini.Namun ia pun canggung karena Zein baru saja mengecup bibirnya lagi. "Oke, selesai. Sekarang waktunya jamuan makan," ucap MC. Kemudian ia melakukan penutupan acara. Ehem!
Ucapan Zein barusan membuat mereka berdua canggung. Sehingga sepanjang perjalanan hanya ada keheningan.Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di hotel tempat mereka akan menginap. Hotel yang masih terletak di ibukota itu berada di tepi pantai dan mereka mendapat kamar tipe bungalow yang langsung menghadap ke pantai.Zein langsung melakukan check in menggunakan voucher yang ia miliki."Oh, ini yang paket bulan madu, ya?" tanya receptionis.Intan langsung malu mendengarnya."Iya," jawab Zein, singkat. Ia tidak merasakan hal yang sama dengan Intan. Alih-alih malu, Zein justru bangga atas hal itu.“Baik, mohon tunggu sebentar!” ucap receptionis.Setelah selesai check in, mereka diantar oleh seorang bell boy menuju kamar.Jika pasangan lain akan berjalan dengan mesra, minimal gandengan tangan. Lain halnya dengan pasangan yang satu ini. Mereka berjalan masing-masing, seolah tidak saling kenal.Mereka berjalan melewati beberapa bungalow yang ada di tepi pantai tersebut. Angin sore itu beg