Share

2. Teman Lama

"Pergi! Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan, Pelacur!" Terdengar gema kemarahan dari sosok pria yang tengah duduk di atas kursi roda. Tatapannya dingin, sedingin kabut di musim salju. Penampilannya berantakan dengan hanya mengenakan jubah mandi di tubuhnya yang sudah tidak terpasang dengan benar. Dan sialnya tetap terlihat mengagumkan meski tubuhnya tidak bisa dikatakan indah. Tetesan air mengalir dari rambutnya yang mulai gondrong menambah kesan maskulin pada pria berwajah bak dewa tersebut.

Aland Amsrtong, pria yang dulunya kekar mempesona, kini hanya bisa duduk tidak berdaya di atas kursi roda. Ya, walau kelumpuhannya tidak memudarkan kadar ketampanannya sama sekali. Hanya saja dengan kondisinya yang sekarang, ia bahkan tidak bisa menyelamatkan diri saat para perawat yang menjaganya berlaku kurang ajar padanya dengan cara melecehkannya. Aland tidak bisa melindungi dirinya, ia merasa malu, jijik dan juga merasa hina terhadap dirinya sendiri.

Aland, pebisnis hebat di usianya yang masih terbilang muda. Dikenal sebagai pria yang cukup humble. Membuat banyak para gadis yang mengincar, juga tebar-tebar pesona padanya secara terang-terangan. Selain kekayaan yang melimpah ruah, pria blasteran itu juga memiliki wajah yang sangat rupawan. Tubuh tinggi tegap dengan manik perak yang begitu memukau yang ia warisi dari ayahnya.

Dulu, Aland hanya perlu menggerakkan mulut untuk memberi perintah, mengangkat sebelah tangan menolak seseorang. Sekarang, hal itu tidak berarti lagi.

Kejadian yang sama selama tiga tahun terakhir selalu terulang. Perawat yang dipilih ayahnya selalu melecehkannya.

Pagi ini, saat ia sedang mandi, perawat itu dengan tidak tahu malunya berani menyentuh dan meremas miliknya. Aland hanya bisa menggeram dan memaki dalam hati. Ternyata tidak hanya sampai di sana, perawat itu masih berulah saat Aland sudah duduk di kursi roda. Perawat murahan itu dengan lancangnya duduk di atas pangkuannya, memainkan jemari nakal di dadanya dan berusaha untuk mencuri ciuman Aland. Di saat seperti itulah Aland mengambil kesempatan. Menyambut ciuman si perawat lalu kemudian menggigitnya dengan kuat hingga si perawat murahan tersebut meminta ampun.

"Dasar pelacur! Cuiiihhh!! Aku tidak ingin melihat wajahmu di sini lagi! Pergi atau aku akan membunuhmu, Jalang!" Ancaman yang sebenarnya tidak memiliki arti karena sekedar untuk menggerakkan jemarinya saja, Aland tidak mampu melakukannya. Menyedihkan!

Wanita itu segera keluar dari kamar yang begitu gelap karena tidak ada pencahayaan sama sekali. Sejak tiga tahun lalu, tepatnya setelah ia mengalami kecelakaan, Aland menolak untuk membiarkan matahari atau cahaya apa pun menyinari kamarnya. Hidupnya berubah kelam sejak hari di mana Julia pergi meninggalkannya.

Perawat mesum itu membuka pintu dan terkejut dengan kehadiran Tuan Amstrong di depan pintu kamar. Si perawat segera menyeka darah yang ada di bibirnya akibat luka yang ia dapatkan dari gigitan Aland.

"Tuan, saya..."

Tuan Amstrong mengangguk mengerti. "Pergilah."

Carver Amstrong, pria setengah baya yang merupakan pria paling terpukul dengan keadaan dan kondisi putra semata wayangnya.

"Ini perawat ke 72 dan hanya bertahan selama dua hari," suaranya menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam. "Bagaimana akan sembuh, jika dia selalu menolak untuk mendapatkan perawatan." Adu pria tua itu pada Sofia. Setelah istirahat seharian, akhirnya keesokan harinya, Sofia menemui Tuan Amstrong agar mengantarnya ke kamar Aland.

"Apa alasannya menolak para perawat itu?" Sofia bertanya penasaran. Wajah wanita yang tadi keluar dari dalam kamar terlihat pucat pasi. Tapi, Sofia juga sempat melihat darah yang keluar dari bibir wanita itu. Tuan Amstrong mungkin tidak terlalu memperhatikan.

"Mungkin dia ingin membunuh dirinya secara perlahan demi perlahan. Dia tidak memiliki semangat untuk hidup lagi, Sofia. Aku bahkan tidak cukup untuk dijadikannya sebagai alasan bertahan."

Sofia menatap Tuan Amstrong dengan iba. "Kau sudah mulai menua, Uncle. Rambutmu juga sudah mulai memutih." Komentar Sofia, keluar dari konteks pembicaraan.

"Aku memang sudah tua sejak aku membawamu dan ibumu kemari, Nak." Kelakar pria itu sambil menatap hangat pada Sofia. "Aku senang kau sudah kembali, setidaknya aku memiliki teman untuk berbagi."

"Aku juga senang bisa kembali ke rumah ini, Uncle. Berhentilah memikirkan Aland, sebaiknya kau lebih memikirkan kesehatanmu."

"Aku akan berhenti memikirkannya jika kau berhasil membujuk Aland untuk mendapatkan pengobatan, Nak, dan tentunya kamu menerima lamaran kami."

"Aku akan mencoba untuk berbicara dengannya. Tentang pengobatan," Sofia buru-buru menambahkan sebelum Tuan Amstrong salah sangka. Untuk menikah, Sofia masih membutuhkan waktu yang cukup banyak.

"Dia pasti mendengarkanmu. Aku harap begitu."

"Semoga saja. Kami sudah lama tidak berkomunikasi. Mungkin saja dia tidak mengenaliku lagi."

Tuan Amstrong tertawa, "Ya, aku pun hampir tidak mengenalimu, Sayang. Kau terlihat mengagumkan dengan hijab yang menutupi kepalamu."

"Dia juga pasti akan terkecoh." Sofia tersenyum simpul.

"Masuklah, sapa dia."

Sofia mendadak gugup, tapi gadis yang kini berusia 25 tahun itu tetap menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum manis di tengah jantung yang menderu-deru tidak karuan. Sudah hampir tujuh tahun dia tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Aland. Apakah Aland masih sehangat dulu? Sofia tahu jawabannya adalah tidak!

"Doakan aku semoga putramu tidak melakukan sesuatu yang membuatku keluar dari kamar ini dalam keadaan pucat pasi," selorohnya.

"Berjanjilah untuk tetap tidak menyerah meski dia membuatmu ketakutan, Nak." Tuan Amstrong menggenggam tangan Sofia, menatap penuh harap pada gadis cantik tersebut.

"Permintaanmu terlalu berat, Uncle. Aku merasakan jantungku berdegup tidak menentu. Ini pertanda buruk." Wajah Sofia memelas yang dibalas Tuan Amstrong tidak kalah memelas.

"Baiklah, kau menang. Aku akan masuk. Jika aku tidak keluar dalam tiga puluh menit, tolong masuk dan pastikan apakah aku masih hidup atau tidak." Sofia melepaskan genggaman tangan tuan Amstrong. Ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan dan keberanian sebelum mendorong pintu.

Hal pertama yang ia lihat adalah kegelapan. Bulu kuduknya merinding seketika.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi, Jalang."

Sofia menggigil seketika mendengar suara Aland yang begitu dingin dan mencekam penuh ancaman.

Sofia memendarkan pandangan, mencari sosok si pemilik suara. Samar-samar ia melihat bayangan di depan jendela.

"Apa kau memang sudah bosan hidup, Jalang sialan?!"

"Sambutan yang cukup manis untuk seorang teman yang baru bertemu setelah delapan tahun tidak bertemu." Sofia meraba dinding mencari saklar lampu dan di detik selanjutnya, ruangan itu terang benderang. Terdengar umpatan kasar.

Terlihat lah sosok Aland yang sedang menatapnya dengan berbagai ekspresi yang bertukar setiap satu detik. Awalnya marah, kemudian bingung dan terakhir terkejut hingga pupil mata pria itu melebar.

"Sofia?" tebak pria itu dengan ragu.

Sofia berdehem, penampilan Aland sangat tidak sopan sekali. Hanya mengenakan jubah mandi yang tidak terpasang sempurna. Dengan memaksakan senyumnya, Sofia berkata, "Aku tersanjung kamu masih mengenalku, Tuan."

"Ciih." Aland mendengus dengan seringaian sinis. "Kuharap kemunculanmu di sini membawa kabar baik. Apa kau membawa ayahmu yang penipu itu kemari?!"

"Sayang sekali, aku tidak membawanya, Tuan." Sofia menjawab dengan tenang.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

"Menjenguk teman lama."

"Sejak kapan seorang pelayan berteman dengan tuannya?!" Sarkas pria itu.

"Wuaahh, kelumpuhanmu ternyata membuat lidahmu semakin tajam saja."

"Matikan lampunya, Sialan!"

"Lakukan sendiri. Itu pekerjaan yang sangat mudah, bukan, tuan Aland yang terhormat?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
nah ketemu pawangnya si Aland
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status