Mata wanita cantik itu seketika membulat, seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya menggeleng sambil menatap benda kecil yang ada di tangannya. Garis dua berwarna merah itu membuat tubuhnya tak berdaya sehingga terperosok ke lantai.
"Ya Tuhan, ini tidak mungkin," ucapnya dengan rasa tak percaya.
Tentu sulit untuk dipercaya! Dosa yang ia lakukan satu kali itu membuat rahimnya terisi janin, benar-benar di luar dugaan.
Ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata, berusaha menenangkan diri lalu bangkit dari lantai. Bagaimana pun ia harus memberitahu tentang kehamilannya kepada pria itu.
"Permisi Mam," ucapnya sambil menjulurkan kepala dari balik pintu yang tak tertutup rapat.
Wanita yang tengah duduk di kursi goyang, refleks memutar mata ke arah datangnya suara.
"Eh Amira, silahkan masuk," ucapnya.
Iya, wanita cantik itu adalah Amira yang saat ini baru berusia 19 tahun. Ia terpaksa bekerja di sebuah kelap malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Maaf, aku sudah mengganggu waktu istirahat Mami Sarah," ucap Amira sambil mendaratkan bokongnya di atas kursi.
"Tidak apa-apa. Oh iya, apa ada hal penting?" jawab mami Sarah sembari bertanya.
Sebelum membuka mulut, Amira terlebih dahulu menghela napas, "Mam, boleh aku minta nomor ponsel pria itu?"
"Untuk apa?" Tentu mami Sarah bertanya!
"Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya, Mam." Amira tidak berani mengatakan yang sebenarnya kepada Sarah.
"Amira, pria yang kamu layani malam itu bukanlah pria sembarang. Jadi Mami tidak memiliki nomornya, lagipula untuk apa kamu menghubunginya? Percuma saja Amira, dia tidak pernah mengencani wanita sampai dua kali." Mami Sarah berpikir, Amira menghubungi pria itu untuk mengajaknya kembali berkencan.
Sedangkan pria yang identitasnya disembunyikan itu, hanya mengencani wanita yang masih perawan. Tetapi karena Amira memaksa dan memohon! Sarah pun memberikan nomor sopir pria itu.
"Terima kasih Mam," ucap Amira.
Ia bergegas meninggalkan ruangan mami Sarah, melangkah menuju kamar mandi yang terletak di ruang ganti. Jari lentiknya dengan liar menekan angka yang ada di layar ponselnya. Hanya menunggu beberapa detik, panggilannya terhubung.
"Halo." Terdengar suara pria dari seberang sana.
"Maaf Pak, bisakah aku bicara dengan tuan, Bapak?" sahut Amira sembari bertanya.
"Maksudnya tuan Mar...."
"Iya Pak, iya," sahut Amira yang membuat pria di seberang sana berhenti bicara.
Tidak menunggu lama, terdengar suara yang berbeda dari seberang sana. Tentu Amira langsung mengenalinya! Walaupun baru satu kali didengarnya.
"Iya," ucap pria itu.
"Om, ini aku Amira, yang menemani om tidur satu bulan yang lalu." Amira berusaha mengingatkan pria itu.
"Iya, ada apa?" tanya dari seberang sana.
"Aku hamil Om," jawab singkat Amira.
"Hubungan kita sudah berakhir malam itu, dan kamu sudah menandatangani surat perjanjian. Jadi urusan kita sudah selesai, jangan mencari ataupun menghubungi aku lagi." Kata-kata terakhir sebelum sambungan telepon terputus.
Dada Amira terasa sesak, bahkan ia sulit untuk bernapas. Butiran bening yang membendung di kelopak mata, seketika menetes di kedua pipi mulusnya.
Amira tak tahu harus berbuat apa, pria yang menghamilinya sudah menolaknya mentah-mentah. Pria itu tidak mau tahu tentang dirinya dan janinnya, Amira pun tak bisa memaksa karena hal itu sudah tertulis di surat perjanjian.
Sesungguhnya Amira tak ingin melakukan dosa itu, tetapi sesuatu hal memaksanya untuk melakukannya. Walupun begitu Amira tidak menyesal dengan apa yang terjadi kepadanya, mungkin itu sudah takdir dari yang kuasa.
Sebelum ke luar dari kamar mandi, Amira terlebih dahulu membasuh wajahnya. Ia tak ingin menunjukkan kesedihannya di depan teman-temannya. Amira pun kembali bekerja sebagai waiters, walupun hatinya sedang kacau balau! Tetapi ia berusaha untuk terlihat tenang seperti biasa.
"Amira, ayo ikut denganku," ajak mami Sarah saat Amira ke luar dari ruang ganti.
Wanita cantik yang tengah hamil 1 bulan itu mengikuti mami Sarah menuju room Presiden Suite. Namun saat tiba di depan pintu, mami Sarah menghentikan langkahnya.
"Amira, tolong jangan kecewakan Mami," ucap Sarah yang membuat Amira sedikit bingung.
"Maksud Mami?" Tentu Amira bertanya!
"Sudahlah Amira, Mami tahu saat ini kamu sedang membutuhkan uang. Itu sebabnya Mami mencarikan tamu spesial untukmu, tenang saja! Kamu akan mendapatkan uang banyak darinya. Dia tidak kalah kaya dari pria waktu itu, justru tamu kali ini lebih kaya." Mami Sarah berpikir demikian.
"Tapi Mam, aku...."
Amira berhenti bicara karena mami Sarah refleks membuka pintu, lalu menarik tangannya agar masuk ke dalam ruangan. Entah mengapa Amira tiba-tiba gugup, padahal ini bukan pertama kalinya ia memasuki ruangan itu.
Amira berusaha tersenyum, matanya berputar melihat ketiga pria yang duduk di sofa. Dua diantara pria itu sudah memiliki pasangan, hanya pria berkemeja putih yang duduk di tengah yang tak memiliki pasangan.
Amira pun menghampirinya setelah diperintahkan Mami Sarah, ia mendaratkan bokongnya tepat di samping pria itu lalu menawarkan untuk menuangkan minuman ke dalam gelas.
"Biar aku saja Om," tawar Amira saat pria itu menyentuh botol wine yang terletak di atas meja.
"Enggak usah, biar aku saja," tolak pria itu tampan melihat lawan bicaranya.
"Tapi Om,...."
Amira berhenti bicara karena pria itu refleks memutar kepala, walupun ruangan itu hanya diterangi cahaya lampu remang-remang! Amira bisa melihatnya dengan jelas! Bahan pria itu menatapnya tajam.
"Aku tak butuh bantuan," ucap pria itu.
Amira hanya tersenyum tipis, ia melipat kedua tangan di dada lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Wanita cantik berusia 19 tahun itu hanya diam sambil menatap pria itu menghabiskan beberapa botol Wine yang terletak di atas meja.
"Kamu gak minum?" tanya pria itu tiba-tiba.
"Ha, apa Om?" Amira bukannya menjawab, ia justru balik bertanya.
Tentu saja Amira balik bertanya, sebab ruangan itu dipenuhi musim remix yang membuat telinga Amira tidak bisa mendengar suara pria itu dengan jelas.
Pria itu pun tak menjawab, ia menuangkan Wine ke dalam gelas lalu menyodorkannya kepada Amira.
"Aku gak bisa minum Om," tolak Amira sambil tersenyum paksa.
"Kalau begitu ke luar lah." Pria itu mengusir Amira secara langsung.
Bokong Amira sudah terangkat, tapi ia tiba-tiba mengigat pesan mami Sarah. Akhirnya Amira mengurungkan niat untuk pergi, tangannya segera meraih gelas dari tangan pria itu lalu meneguknya hingga tandas.
=============Amira yang tak biasa meminum alkohol, lantas merasa kepalanya pusing. Dua gelas Wine sudah membuat kesadarannya hilang dan pandangannya buram."Om, aku ke kamar mandi dulu ya?" ucap Amira sambil memijat kening dengan jarinya.Amira baru saja bangkit dari tempatnya, tiba-tiba tubuhnya terperosok hingga terjatuh di atas pangkuan pria itu."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira dengan nada khas mabuk.Ia berusaha bangkit, tetapi tenaganya tidak cukup untuk berdiri sendiri. Akhirnya pria itu membantunya bangkit lalu menuntunnya untuk duduk, seketika itu juga Amira tertidur pulas. Saat terbangun, ia sudah berada di tempat yang berbeda."Aw...." rintih Amira saat bangkit dari tidurnya sambil memijit keningnya yang masih terasa pusing."Kamu sudah bangun?"Amira refleks memutar kepala, seorang pria duduk di sofa yang terletak di samping tempat tidur. Pria itu terlihat sedang memainkan ponsel dengan berpakaian rapi."Om, Om....""Jangan berpikir aku menyentuhmu," sela pria itu yang membuat Amira tid
Tak lama kemudian mobil mewah itupun memasuki sebuah gerbang. Jantung Amira seketika berdegup kencang menatap bangunan tinggi berlantai tiga, bahkan seluruh jari tangannya tiba-tiba dingin dan berkeringat."Bagus, apa yang kamu ketahui dan kamu dengar! Cukup sampai di sini, apa kamu paham," ucap Marc setelah mobil berhenti, kepada sopir pribadinya."Baik Tuan, aku mengerti," sahut pria yang panggil Bagus itu.Ia segera turun dari mobil, bergegas membukakan pintu untuk Marc dan Amira."Ayo," ajak Marc kepada Amira yang masih berdiri di dekat pintu mobil."A...a...aku pulang aja Om." Amira benar-benar gugup, nyalinya seketika menciut setelah melihat kediaman Louis.Marc menghela napas, ia melangkah menghampiri Amira, menarik tangan wanita cantik itu lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Setibanya di pintu langkah Amira seketika terhenti, kakinya tiba-tiba sulit digerakkan saat melihat seorang wanita duduk di atas kursi roda di dekat tangga."Siapa wanita itu?" tanya wanita itu."Mamah,"
"Apa kamu sudah gila menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya. Jika orang-orang sampai mengetahui hal ini! Mamah tidak bisa membayangkannya." Caterina menekan tombol kursi rodanya, lalu pergi dengan wajah kecewa.Amira pun segera menghampiri Marc, "Maaf Om, aku harus pergi. Aku tidak mau terlibat dalam urusan keluarga Om."Amira melangkah melewati Marc yang berdiri di bibir pintu, namun langkah kakinya harus terhenti karena Marc menarik tangannya."Setelah suasana semakin kacau, kamu ingin pergi begitu saja?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya."Bukan begitu Om," bantah Amira."Aku tidak menerima alasan apapun, kamu harus tetap tinggal di rumah ini sampai anak itu lahir." Marc melepaskan tangan Amira, lalu pergi."Ya Tuhan, ini ujian apa cobaan? Masalah yang satu saja belum selesai, sekarang malah timbul masalah baru. Amira, Amira, kamu benar-benar ceroboh, kenapa harus menuruti perintah Marc! Sekarang kamu jadi terjebak di lobang yang salah," ucap dalam batin Amira, sambil m
"Aku yakin, suatu saat mereka pasti menerimaku."Jawaban Amira membuat amarah Karra memuncak. Wanita cantik bertubuh tinggi itu meremas seluruh jari lentiknya, sungguh ia tak menyangka Amira berani menantangnya."Kamu begitu yakin?" tegas Karra."Kamu di sini?" Terdengar suara bariton Marc, "Sayang, angin malam tidak baik untuk wanita hamil," lanjutnya berpura-pura mesra.Jantung Amira seketika berdegup kencang mendengar Marc memanggilnya sayang. Bahkan ia sulit untuk menelan saliva, tetapi Amira berusaha tetap tenang agar Karra tidak curiga."I..iya Mas," sahut Amira dengan senyuman manis, "Aku masuk dulu ya?" lanjutnya pamit kepada Karra.Karra mengangguk sambil tersenyum paksa, matanya menatap punggung Amira yang sedang melangkah sambil bergelayut di lengan Marc. Ingin rasanya menghajar Amira habis-habisan, memberi pelajaran kepada wanita hamil itu. Tetapi Karra tidak mungkin melakukan hal itu di hadapan Marc.Mau tidak mau, Karra harus tetap terlihat baik dan sopan. Menunjukkan si
pria tampan itu hanya melilitkan handuk berwarna putih di pinggulnya, sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang begitu sixpack bak roti sobek. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan terlena, begitu juga dengan Amira! Tanpa sadar ia menatap Marc dari ujung kaki hingga ujung kepala, sambil menelan saliva dengan susah paya."Jangan menatapku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta," tegur Marc yang membuat Amira malu dan salah tingkah."Ma...ma...maaf Om," ucap Amira yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Marc bertelanjang dada membuat jantung Amira berdegup kencang, dan mengigat seseorang. Dada itu tidak jauh berbeda dengan pria yang sudah menghamilinya, sayangnya Amira tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena malam itu suasana kamar benar-benar gelap tanpa adanya cahaya lampu. Pada saat ia terbangun di pagi hari, pria itu sudah tak ada lagi di sampingnya."Marc, Marc."Amira terperanjat mendengar suara teriakan Caterina memanggil Marc. Ia bergegas ke lu
Tanpa terasa benda bulat yang tertempel di tembok menunjukkan pukul 7 malam. Di mana saat ini keluarga Louis sudah berkumpul di meja makan, hanya Amira yang tak ada di sana."Hanum," panggil Marc."Iya Tuan." Hanun segera menghampiri Marc."Panggilkan nyonya ke kamar," perintah Marc.Caterina refleks menghela napas kasar, selera makannya tiba-tiba hilang membayangkan wajah Amira."Mamah kenapa?" tanya Marcell yang duduk di samping Caterina."Tidak apa-apa," jawab singkat Caterina.Walupun Caterina tidak mengatakan apapun, Marc sudah tahu ada apa dengan ibunya. Sebenarnya Marc tidak ingin membuat ibunya kesal, tetapi Marc sudah bosan selalu dipaksa untuk menikah dengan Karra.Hanya dengan cara ini lah ibunya berhenti memaksanya, Karra pun tak mungkin bersedia menjadi istri yang kedua begitu juga dengan keluarganya.Hanya menunggu beberapa menit, Hanun terlihat melangkah menuju ruang makan bersama Amira. Wanita cantik itu sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Caterina. Na
Tepat pukul 8 pagi, Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sebelum ke rumah sakit ia terlebih dahulu menemui sahabatnya Erika. "Amira," ucap Erika yang baru membuka pintu. "Suprise." Amira langsung memeluk sahabatnya. Keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil berbincang-bincang. Tentu Eribka bertanya dari mana sahabatnya selama ini! Sebab Amira pergi tanpa memberitahu Eribka. "Kamu dari mana Ra? Kok gak bilang-bilang? Ponselmu juga kenapa gak bisa dihubungi? Kamu baik-baik saja kak?" Eribka menjajah Amira dengan berbagai pertanyaan. "Iya, aku baik-baik saja, ini buktinya! Aku masih bisa datang kemari dalam keadaan utuh," jawab Amira sambil tersenyum dengan nada bercanda. "Kamu udah buat aku khawatir Amira! Kamu menghilang begitu saja, kamu pergi ke mana sih?" Eribka terus saja bertanya. "Maaf Rib, aku sudah membuatmu khawatir," sesal Amira dengan wajah bersalah. "Iya, iya. Tapi katak dulu kamu pergi ke mana?" Sebelum membuka mulut Amira terlebih dahulu
Setelah menaruh tas ke dalam kamar, Amira segera menuju kamar mandi yang terletak di lantai satu. Matanya seketika membulat melihat pakaian yang bertumpu di atas ember, sungguh Amira tak menduga pakai yang akan ia cuci sebanyak itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Tiba-tiba terdengar suara Caterina.Amira memutar tubuh, "Tidak Nyonya," seiring bersama anggukan kepala."Kalau tidak keberatan! Ayo kerjakan," desak Caterina dengan wajah malas, "Satu lagi, jangan menggunakan mesin cuci," lanjutnya."Tapi Nyonya....""Tidak ada tapi-tapian," sela Caterina yang membuat Amira terdiam, "Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis. Kamu sadar gak, kalau kamu tidak pantas menjadi menantu keluarga Louis?" lanjutnya menghina Amira."Iya Nyonya, aku sadar," jawab Amira."Kalau begitu akhiri hubunganmu dengan Marc, kalau tidak! Kamu akan menjadi babu di rumah ini, selamanya akan dianggap sebagai babu," tegas Caterina dan langsung pergi.Amira hanya terdiam mematung, dipandangnya punggung Caterina ya