Amanda hanya menggeleng. ‘Apa sekarang melihatnya merupakan suatu kejahatan?’
"Kenapa?" tuntut Illarion.
"Ti-tidak ada, Tuan," jawab Amanda gugup.
"Jawab." Kali ini Illarion memaksa sambil meletakan salah satu tangan ke tembok di belakang Amanda, dan tubuhnya semakin merapat ke arah gadis itu, membuat si pemilik bibir cherry itu terpojok di pinggir jendela.
"Sungguh… ," lirih Amanda. 'Apa yang harus aku katakan? Aku cemburu? Aku tak suka? Tak bisakah pria ini diam saja dan tak bertanya lagi? Aku tahu ia membenciku, mengungkapkan rasa suka hanya menambah sebab ia untuk menginjakku. Bagaimanapun aku punya harga diri untuk dijaga, walau aku juga aku tahu harga diriku telah jatuh s
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
Bruk! Tiba-tiba seorang pria botak dengan tubuh penuh tato menyampiri meja mereka. Si botak itu menggebrak meja dengan cara menaruh gelas bir besar hingga bersuara keras. Mengalihkan kekesalan yang mulai muncul di dada Illarion. “Hei! Darimana kau berasal bocah manis?” tanya pria botak itu dengan arogan. Sebenarnya ia begitu kesal sedari tadi pelayan wanita yang ditaksirnya justru terus menerus melihat ke arah Illarion. Bahkan sekarang pun pria botak yang ternyata bernama Dante itu, mengancam sambil melirik-lirik ke arah pelayan wanita tersebut agar diperhatikan. ‘Lihat lelaki manis yang kau incar adalah seorang pengecut yang hanya tahu cara merawat wajah. “Ck.” Illarion berdecih.
Amanda otomatis bangkit mendengar gumaman pria tampan itu. “Ia sangat ingin namanya dipanggil olehku. Apakah ia menyesal mengabdikan hidupnya untuk Tuan sepertiku?” Pria itu berkata sambil memacu kudanya pelan. Tampak kesedihan yang sarat di matanya. Amanda melihat punggung Illarion yang terlihat kosong dan kesepian. “Kasihan hidupnya dihabiskan untuk seseorang sepertiku,” lanjut Illarion kali ini dengan rasa rendah diri yang entah bagaimana menyelimutinya. Benar-benar sisi yang berbeda dari dirinya kembali ia tunjukkan pada Amanda hari ini. “Jenderal Andreas selalu membanggakan, Tuan. Bahkan Jenderal Andreas menceritakan Tuan dengan antusias pada seseorang yang ia benci seperti hamba," bantah Amanda secara tak langsung, rasanya ia ingin menepuk pelan pundak lebar milik Illarion, tapi gadis itu urung melakukannya
Prajurit itu kemudian memanggil temannya dan menyibak sedikit kain yang menutupi tubuh pucat di atas pedati itu. Tampak seonggok lengan dan kaki dengan warna putih seakan raga itu baru saja ditinggal jiwanya. Mereka berdua berpandangan, dan menutup kembali tubuh yang dianggap 'mayat' itu. "Dutchess dari Elger juga meninggal karena wabah, sepertinya penyakit menular sedang menggila di sana," ujar prajurit yang lain. Pria yang sedari tadi menanyai Illarion tampak berang. "Kalau begitu jika kau pergi ke sana, jangan pernah kembali lagi ke desa ini! Kau bisa menularkan penyakit!" usir prajurit itu sembari dengan cepat membuka pintu gerbang perbatasan. Illarion mengangguk singkat, kemudian memacu Blake agar bergegas pergi. Se
Gadis itu langsung merunduk melindungi kepalanya, begitu ketakutan. Amanda menjerit dalam hati, ketika tongkat kayu itu langsung diarahkan ke wajahnya. Nyaris tinggal beberapa senti kayu panjang itu mengenai Amanda, Illarion langsung menangkap tongkat itu dengan tangannya yang terluka. "Apa yang Anda lakukan?!" tanya pria itu sambil menahan sakit di lengannya saat menghentikan tongkat itu. "Sadarlah!" "Wanita itu keluarga Ratu! Pembunuh anakku!" cecar Duke Gramer membabi buta. "Pangeran! Dia yang membunuh istrimu! Putriku!" serang pria tua itu dengan muka memerah menahan amarah. Illarion menghempaskan tongkat itu ke ujung ruangan. "Ia dalam pengawasanku, Raja yang mengutusnya ke sini. Kita tidak bisa berbuat apa pun dan berlaku seenaknya pada dirinya," ucap Illarion menenangkan pria tua yang pernah menjadi
Amanda hanya membalas dengan senyum canggung yang muncul di wajahnya. ‘Pria ini benar, tapi… itu tetap mengerikan.’ Illarion kembali menengadahkan kepalanya, menatap lukisan besar di belakang Amanda. “Istri keduaku, seseorang yang bersinar. Bahkan terkadang aku berpikir sinarnya begitu menyilaukan, hingga aku harus menutupi mataku sejenak." Illarion tertawa pelan, seakan mengingat kenangan kecil yang tak akan pernah kembali. Tawa yang membuat dada Amanda berdenyut. ‘Sakit, aku cemburu?’ Tapi tak lama tawa itu tampak, air muka Illarion langsung berubah begitu cepat menjadi kelam. "Tapi aku menarik sinarnya dengan cepat. Harusnya
Sebuah ketukan pelan di pintu kamar Amanda menyadarkan gadis itu dari kegiatan bersih-bersih di kamarnya. Pelayan yang masuk tampak terkejut melihat kamar itu jauh lebih rapi dari sebelumnya. “Ini pakaian dari Tuan, dan makan malam sudah disiapkan. Anda diminta turun Nyonya,” ujar pelayan itu sembari menyodorkan gaun tua yang terlihat sudah pernah digunakan beberapa kali. Amanda tersenyum sambil menerima gaun itu. “I-itu milik nona muda sebelumnya. Ha-hamba hanya memberikan apa yang Tuan perintahkan.” Pelayan itu ketakutan dianggap memberikan barang bekas pada istri Pangeran Hitam itu. “Ah tidak apa-apa,” jawab Amanda menenangkan. “Aku akan berpakaian sendiri, kau tak perlu membantu. Terima kasih,” lanjut gadis berkulit pucat itu. Membuat pelayan wanita tadi menengad
Illarion seakan tak peduli dengan amukan amarah yang sekali lagi merasuki Duke Gramer. Ia tetap menyantap makanannya dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Sedangkan Amanda mengkerut di tempatnya duduk, tak menyangka akan dimarahi sebegitu rupa. ‘Amanda bodoh, kenapa aku begitu lancang hanya karena melihat Duke begitu sedih. Tak semua orang suka berbicara denganmu dan butuh penghiburan!’batin Amanda mengutuk dirinya sendiri. “Aku dan Pangeran Hitam kehilangan begitu banyak, seorang anak! seorang istri! dan seorang ibu! Kau yang berasal dari keluarga pembunuh tak akan pernah mengerti-.” Duke Gramer menghentikan kata-katanya dan air mata menetes di kedua belah pipinya yang bergelambir. “Ha-hamba minta maaf jika menyinggung Anda,” ucap Amanda mulai keta
Illarion tak berkata apapun dan hanya mengangguk. Pria tua itu menghembuskan asap kembali ke udara, dan Duke Gramer kembali melanjutkan perkataannya. “Beberapa waktu lalu, rakyat yang begitu ku perjuangkan itu pergi karena ketakutan akan wabah yang semakin ganas dan tak kunjung reda, hingga memakan banyak korban." "Meninggalkan Elger untuk mengungsi ke daerah lain yang lebih aman. Hingga membuatku bertanya-tanya, apa rakyatku pantas ku perjuangkan seperti ini? Hingga akhirnya aku mengambil sebuah langkah ekstrim untuk mengatasi musibah ini, demi kesejahteraan bersama, dan agar mereka tetap menetap di sini.” “Apa itu?” tanya Illarion menaikkan sebelah alisnya. Ia masih belum mendengarkan permintaan dari Duke Gramer. Duke Gramer menelan salivanya. “Aku menggunaka