Gadis bermanik amethyst itu tadinya hanya ingin mengantarkan obat untuk lengan Pangeran Hitam. Ia meraciknya sendiri, keahlian yang diam-diam dimilikinya -meramu obat-obatan-. Tapi mendengar permintaan Duke Gramer membuatnya tak berani masuk ke dalam ruangan.
“Bagaimana ritual itu dilaksanakan?”
Suara Illarion terdengar antusias di telinga Amanda.
“Dari Lembah Gila tempat wabah itu mulai berkembang, mereka akan digiring ke Padang Rale. Kemudian aku akan menguburkan gadis itu bersama dengan para pengidap wabah penyakit itu, dan juga mayat istriku tentunya.”
Amanda mencengkram cawan berisi cairan obat dengan tangan gemetar.
“Itukah cara tabib ekstrimis Anda mengatasi wabah?” tanya Illarion tak percaya. Tapi ang
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
Dengan manik ungu besarnya, Amanda bertanya maksud Illarion. "Jadi Tuan akan mengingat hamba sebagai apa?" "Tentu saja seorang pengkhianat," jawab Illarion sambil memamerkan senyum sinisnya. 'Ia yang duluan berselingkuh dengan pria lain kan.' Amanda masih tersenyum walau matanya menunjukkan kesedihan, gadis itu bersandar di kursinya. 'Ia akan mengingatku sebagai keluarga Baginda Ratu rupanya.' Kereta kuda pun berhenti, ketukan pelan di pintu kereta menampilkan wajah tua milik Duke Gramer. "Pangeran, dari sini kita akan berjalan kaki atau mengendarai kuda," ucap pria tua itu. Illarion keluar dari keretanya kemudian membantu Amanda untuk turun. "Kau mengendarai Blake saja, aku yang akan menuntunnya." "Tid
Kosong. “Ada apa?!” tanya Illarion waspada. Duke Gramer di kebingungan di ujung ruangan dengan hidung berkerut, tak begitu suka melihat mantan menantunya itu berpelukan dengan Amanda. 'Gadis sialan, tukang mencari perhatian.' “Ti-tikus, cuma tikus…,” bisik Amanda takut-takut. “Hah?!” Illarion terkejut kemudian mendesis kesal. “Ma-maaf,” lanjut Amanda sambil memisahkan diri dari Illarion. Tepat saat gadis bersurai perak itu menjauh, pipa angin di belakang Amanda terjatuh dan mengeluarkan ratusan tikus yang berhamburan lari keluar. Amanda kembali berlari sambil menjerit ke dalam pelukan Illarion. Pria berbadan
“Anda tidak bisa.” “Maaf, Tuan. Kami tak ingin Anda juga terkena penyakit ini. Anda adalah orang penting, kami benar-benar tak ingin tuan tertular.” “Ritual sangat sakral dan tidak bisa ada orang luar.” Para tabib saling sahut menyahut menolak permintaan Illarion. “Aku akan ikut atau kalian tak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan,” ancam Illarion dingin. Tentu saja selain tumbal, para tabib ekstrim terkenal dengan bayaran mahal mereka. Pemimpin tabib itu terlihat gentar, ia berpaling ke arah teman-temannya. Salah satu tabib maju ke depan Illarion. “Kalau begitu kami tak akan melakukan ritual apa pun. Aku harap Anda bisa menerima bertambahnya korban dengan lapang dada h
“Haus…,” erang salah satu dari mereka. Amanda tersenyum dan menyodorkan botol minumnya pada wanita itu. Beberapa dari mereka bergerak dan menginginkan hal yang sama. “Lapar... haus… Nona!” “Tolong beri aku air….” Amanda berdiri dari tempatnya. “Mundur! Kembali ke tempat kalian masing-masing! Aku akan memberikan kalian makanan dan minuman asal kalian tertib!” Entah bagaimana ketegasan tiba-tiba muncul di dirinya. 'Bergaul dengan Pangeran Hitam rupanya membuatku lebih berani, huh,' batin Amanda sembari tersenyum. “Apa aku akan sembuh nona? Begitukah kata para tabib?” tanya wanita yang Amanda beri minum itu.
"Bukankah Anda mengirimku ke sini untuk menjadi tumbal? Bolehkah aku saja yang merawat mereka. Beri aku waktu dan jangan membakar kami," pinta Amanda. Para pasien memberikan reaksi beragam mendengar permintaan Amanda. "Kita akan segera mati, untuk apa ia merawat kita?" "Aku ingin hidup walau hanya seminggu lebih lama…." Amanda melihat wajah-wajah semangat dan putus asa yang silih berganti bermunculan di tempat itu. "Aku tak akan menumbalkan mu, begitu juga orang-orang di dalam sana. Kau tahu obat yang kau buat kemarin, kurasa itu antibiotik yang tepat untuk mereka." Para pasien di dalam sana mulai bergumam pelan. "Ada obat untuk kita?"
Tiba-tiba seorang nenek yang tadi menatap Amanda melangkah kedepan. “Umurku tak lama lagi, tapi aku bersedia menjadi sukarelawan merawat mereka.” Setelahnya beberapa orang mulai maju di belakang si nenek. Duke Gramer terlihat geram, apalagi setelah pria tua itu dibisiki oleh pemimpin tabib. “Apa Pangeran mau menanggung akibatnya jika Dewa marah dan menimpakan lebih banyak korban?” Illarion berjalan mendekat ke arah Duke tua itu. “Sudah beberapa kali kubilang, aku bersedia. Berikan aku waktu satu minggu, dan jika aku berhasil Anda harus terus mendukungku dalam pengambil alihan kekuasaan ini.” Illarion tahu, walau tanpa berkata seperti itu pun, jika ia bisa mengatasi masalah wabah ini, maka warga sendiri yang akan tetap membelanya. Tak peduli apa kata Duke Gramer yang menguasai daerah tempat tinggal mereka.
Tanpa Amanda ketahui itu adalah tatapan kagum, pandangan yang penuh penghormatan dan pengharapan. Seolah gadis dengan rambut putih yang melambai lambai itu adalah seorang juru selamat, saintess. Amanda berhenti beberapa langkah di depan Illarion, menjaga jarak. Tentunya gadis itu tak ingin pria yang mampu membuat jantungnya berdebar kencang itu sakit karena tertular melalui perantaranya. “Setelah kau mandi dan berganti pakaian, aku akan membantumu meracik cairan obat dalam porsi yang lebih besar,” ucap Illarion setelah melihat Amanda menunggu perintahnya. Gadis itu mengangguk sembari tersenyum, kali ini dengan senyuman yang lebih bercahaya ketimbang sebelum belumnya. ‘Tak menjadi tumbal kemudian tak jadi mengorbankan warga desa yang sakit karena pengaruh pr
Semburat kemerahan langsung menerpa wajah pucat Amanda, manik ungunya bergetar melempar pandangan ke arah lain dengan malu-malu. “Ti-tidak ada, aku akan kembali ke kamar,” ucap Amanda gugup dan langsung berbalik, membuat tangan Illarion di pergelangan tangannya terlepas. Pria tampan itu kembali melihat punggung gadis mungil itu yang berjalan menjauhinya, sebuah napas berat dihembuskan oleh Illarion. “Ck! Apa sih yang aku pikirkan…,” gumamnya. “Aku tak boleh bahagia, dan melupakan balas dendam ini,” ucap pria dengan manik kelam itu. Bayangan ketika ibunya terbakar dan menjerit-jerit mengatakan ‘balaskan dendamku Illarion!’ selalu menjadi mimpi di tiap-tiap malam pria itu. “Aku ingin tidur dengan tenang. Lagi,” gumam pelan Illarion sembari kembali mengaduk cairan