Sementara itu Amanda sibuk mencari alas untuknya tidur. Di lantai terasa sangat menusuk terutama saat masuk musim dingin seperti ini. ‘Aku tak boleh sakit, karena besok masih harus membagikan obat pada para pasien.’
“Ia kenapa tak tidur di kamarnya sendiri sih?” gumam Amanda.
“Aku tak ingin ada gosip buruk yang menyebar tentang hubungan kita” bisik Illarion yang tiba-tiba sudah ada di samping Amanda.
Gadis itu langsung terjungkal dari tempatnya karena terkejut. “T-tuan!”
Melihat Amanda begitu kaget dengan ekspresi yang sangat lucu, Illarion malah tertawa keras. ‘Tampan sekali,’ puji Amanda dalam hati melihat Pangeran tampan dekat kedua lesung yang terbentuk di pipinya. Gadis itu bahkan melupakan fakta bahwa pria i
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
“Apa yang kau lakukan…?” tanya Illarion ketika membuka matanya dan melihat Amanda yang tanpa busana sudah berada di atas dirinya. “Astaga kukira kau Pangeran Landyork, maafkan aku…,” ujar gadis berkulit pucat itu kemudian bangkit dan mengambil gaun yang tersampir di kepala ranjang. Illarion menahan pergelangan tangan Amanda. “Apa maksudmu? Kau memancingku dan sekarang kau beranjak begitu saja?!” Amanda menatap remeh. “Astaga Tuan, bukankah hamba sudah mengatakan Pangeran Landyork itu lebih baik segala-galanya dari Anda. Dan… bukankah Anda harus ingat pesan ibu Tuan?” Muka Amanda perlahan-lahan meleleh seakan sebongkah lilin yang terkena panas, tak hanya itu kulitnya perlahan menghitam dan hanya tersisa otot di dalamnya. “Pesan yang mengatakan… Anda harus membalas den
Kaki dan tangan Amanda terikat kuat, bahkan mata gadis itu di tutup. Ia baru saja sadar dari obat bius. Namun, ia tahu kalau sedang berbaring di sebelah mayat. ‘Jenazah Dutchess Gramer kah?’ tanya Amanda dalam hati. Ia juga mendengar suara langkah kuda di luar sana, bahkan tubuhnya terantuk-antuk bahan kayu yang mengelilinginya. ‘Apakah aku berada di dalam peti mayat?’ tanya Amanda sambil bergidik ngeri. “Kau sudah bangun?” tanya Duke Gramer. “Kenapa aku ada di sini?” jerit Amanda, mulutnya tidak dibungkam jadi ia bisa berteriak dengan kencang. “Lepaskan aku! Atau kulaporkan Tuan pada Pangeran Hitam!” bentak ancaman Amanda terdengar nyaring dari dalam peti kayu itu. Duke Gramer tertawa keras khas dirin
“Illarion!” seru Amanda masih merasa hal ini bagai mimpi, dengan segera gadis itu menarik pria tampan itu ke dalam pelukannya. “Eh?” Kali ini Illarion yang bergumam. Di belakangnya sedang terjadi perkelahian -yang tentu saja sangat mudah diatasi- tapi sekarang pria bersurai hitam itu mendapat pelukan hangat dan nyaman. ‘Mungkinkah aku bisa meninggalkan semuanya yang kukejar, hanya untuk pelukan hangat ini?’ “Fokus!” seru Illarion lebih kepada dirinya sendiri, membuat Amanda melepas pelukannya, setelah itu Pangeran Hitam melemparkan belati yang menusuk punggung salah satu tabib. Sisanya sudah diringkus dengan mudah oleh para penduduk desa yang Illarion Black bawa, sepertinya warga sudah mulai melakukan perlawanan pada f
"Apa dia sangat lemah?” Nenek tua itu mengeratkan genggamannya, seakan takut salah bicara. “Bisa dibilang keadaanya sangat lemah, Pangeran. Tapi tidak terlalu mengkhawatirkan.” “Baiklah, terima kasih,” ujar Illarion yang kembali duduk di sebelah Amanda setelah tabib tua itu beranjak pergi meninggalkan mereka. “Apa aku harus melepasmu? Kau sudah terlalu jauh berkubang dalam keegoisan,” ucap Illarion berkata dengan lirih. Hari-hari selanjutnya menjadi lebih baik. Para pasien sudah banyak yang sembuh, wabah teratasi dengan cepat, dan bersamaan akan hal itu, Illarion mengangkat salah seorang mantan pengawal Duke Gramer yang juga salah satu dari sekian banyak penduduk desa yang dihormati, seorang warga biasa tanpa embel-embel kebangsawanan. Selain karena para bangsawan nyaris tak bersisa lagi dan meninggalkan Elger, penduduk wilayah itu juga ingin dipimpin dengan cara demokrasi. Tentu saja hal itu pengecualian untuk Pangeran Hitam. Penguasa
“La-landyork?” tanya Amanda dengan suara bergetar. Dari tadi ia merasa aneh, seragam tentara itu bukan milik Kerajaan Anarka, tapi Amanda tak menyangka kalau mereka akan ke Kerajaan Landyork. Illarion tersenyum sambil menatap Amanda. “Ya, kita ke Kerajaan Landyork. kau senang ‘kan?” “Ke-kenapa kita kesana, Tuan?” tanya Amanda kemudian menggigit bibirnya, jari jemarinya yang gemetaran ia sembunyikan di balik gaun. Bayangan saat Pangeran Apollo mencoba menggagahinya kembali berdatangan di ingatannya, dan seolah menusuk-nusuk paru-parunya. Amanda mencoba perlahan mengatur napasnya. ‘Tidak terjadi apa-apa Amanda, kau bersama pria ini, Pangeran Hitam! Ia akan takut, pria mengerikan itu tak akan berani berbuat macam-macam padamu!’
“Lewat sini,” ucap Apollo sambil mempersilahkan Illarion. Para saudaranya pamit undur diri pada Pangeran Hitam. “Kau tunggu di sini,” perintah Illarion pada Amanda. Perjalanan di lorong istana hanya dipenuhi gema langkah Pangeran Hitam dan Pangeran Apollo. “Kau akan melaporkanku pada Baginda Raja?” tanya Pangeran Apollo begitu sampai di depan pintu ruang pribadi sang penguasa Landyork. “Kita bukan anak kecil lagi yang saling melapor ke orang tua hanya karena masalah yang kita buat,” jawab Illarion yang membuat Pangeran Apollo diam-diam bernapas lega. “Tapi mungkin aku akan meminta izin pada Baginda Raja Landyork untuk duel dengan putra mahkota Kerajaan Landyork. Pertarungan hidup dan mati, kurasa itu lebih terhormat kan
Pangeran Apollo membelalakan matanya mendengar perkataan tabib kerajaannya itu. ‘Gadis ini hamil? Anak Pangeran Hitam?’ Pria tua itu mengerjap-ngerjapkan matanya. “Istri Anda hamil, Pangeran? Tuan tak tahu? Ah mungkin karena kehamilannya masih dini ya… Selamat, sepertinya ini akan jadi calon bayi yang-.” “Keluar,” potong Illarion dingin sambil menunjuk pintu kamar itu. Tabib tua itu kebingungan. “Tapi hamba masih harus memeriksa bag-.” “Keluar!” potong Illarion lagi, kali ini dengan satu oktaf lebih tinggi. Rahang pria itu semakin mengeras, dan wajahnya semakin suram. Bergegas tabib tua itu keluar dari ruangan saat dilihat muka Pangeran Hitam tampak mengerikan, seolah
“Le-lepaskan aku…,” rintih Amanda, setelah Pangeran Apollo melepaskan ciuman paksanya. “Pangeran Hitam akan membunuh Anda!” ancam gadis itu lagi saat Pangeran Apollo mendekatkan wajahnya kembali. Tawa keras terngiang di telinga Amanda saat pria bersurai coklat itu tergelak begitu puas. “Kau benar-benar tak percaya sudah ditinggal olehnya? Kau tak seberharga itu di mata Pangeran Hitam, Amanda sayang!” Sebelum Pangeran Apollo mengambil kesempatan lagi pada tubuh Amanda, gadis pemilik netra ungu itu melihat pisau pengupas buah di samping ranjangnya. Dengan sigap Amanda mengambil benda tajam itu dan langsung mengarahkan ke perutnya. “Pergi kau atau aku akan membunuh diriku di sini! Kemudian kau bisa melihat bagaimana reaksi Pangeran Hitam!” ancam Amanda. Kila