"Tidak Bram! kamu tidak bisa menceraikan aku sekarang. Aku bahkan sedang mengandung anakmu," tolak Mawar.Melihat suasana memanas, Wisnu bersama Suti mendekat."Kita buktikan saja besok, itu benar anakku atau bukan," lirih Bram."Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu, Bram. ini anakmu," sentak Mawar.Tiara merasa tidak enak hati, melihat pertengkaran di depannya. Menganggap, ucapannya-lah yang mematik amarah Bram, hingga berbuntut kekacauan."Ara!" Tiara terkejut, mendengar Wisnu memanggilnya. Sementara Suti, tengah berusaha memenangkan Mawar yang terisak, sambil menahan Bram agar tidak pergi, dengan merangkul erat tangan pria itu.Keadaan benar-benar kacau, Bram semakin murka, manakala tanpa sadar Mawar mengadu pada Suti. Dan, itu semakin meyakinkam Bram, bahwa sebenarnya mereka memang memiliki hubungan yang tidak ia ketahui.'Keluarga penipu,' geram Bram dalam hati."Tiara," ulang Wisnu pelan.Sejujurnya, Tiara sangat merindukan sosok yang kini tengah menatap dirnya penuh arti. I
"Aku tidak suka diabaikan, pusatkan pandanganmu hanya padaku. Lihat betapa kuat pria yang pernah kau tinggalkan ini, Tiara," tekan Bram.Terdengar jerit tertahan saat Bram mulai memasuki tubuh kecil Tiara. Meski rasa aneh, malu, gugup serta takut terus saja membayangi pikiran wanita itu. Namun, Tiara sekuat hati berusaha menahan apa yang Bram lakukan pada tubuhnya.Berharap, jika hal itu bisa meredam marah Bram. Tapi ternyata?Tidak semudah yang Tiara pikirkan. Bram berlaku buas, sama sekali tidak menaruh iba. Walaupun dengan jelas ia mendengar, Tiara sering berdesis menahan sakit. Pria itu seolah menulikan pendengaran dan membutakan pandangan."Bram," gumam Tiara.Bram tetap acuh. 'Tahan Tiara, kamu harus menahannya,' tekad wanita dalam hati.Ia berusaha bertahan, meski sadar permainan Bram begitu kasar padanya."Kamu harus melahirkan anak sebanyak mungkin untukku, Ara," rancau pria itu tanpa peduli dengan apa yang Tiara rasakan."Bram," panggil Tiara terbata.Tiara tak henti-hent
"Ayo sayang, Nana makan ya .. setelah itu kita cari mama," pinta Sari lembut."Nana gak mau makan, mbak. Nana mau ketemu mama, mama dimana? kenapa gak pulang-pulang, hiks .. hiks ..," ucap bocah itu disela tangisnya.Meski dia sendiri tidak tahu keberadaan Tiara, yang tanpa kabar sejak kemarin. Namun, Sari tetap membujuk agar anak asuhnya itu, mau makan walau hanya sedikit. Pasalnya, sejek tahu sang ibu tidak pulang, Nana terlihat murung.Tetapi, ternyata tidak membuahkan hasil, Nana tetap menolak setiap kali Sari berniat menyuapinya."Mama pasti pulang, sayang," jawab Sari, "Makanya, Nana makan dulu ya .. biar nanti mamak nggak marah."Sebenarnya, Sari sendiri bingung memikirkan kemana perginya ibu dari anak asuhnya itu. Kemarin, sepulang sekolah, saat mereka mendatangi toko seperti biasa, mendapati toko ternyata tutup. Awalnya, Sari berpikir mungkin Tiara ada keperluan di luar seperti beberapa hari lalu. Ia-pun memutuskan mengajak Nana menunggu di rumah.Namun, setelah ditunggu hingg
"Mulai hari ini, kalian akan tinggal di rumahku," ucap Bram, "Nanti, setelah mamamu kembali, kita akan tinggal sama-sama," lanjutnya.Rupanya, tidak hanya Sari yang terkejut, Nana-pun merasakan hal yang sama. Sembari mengusap kasar pipinya, gadis kecil itu sekali lagi meminta persetujuan pengasuhnya."Apa mama tahu, Nana akan tinggal di rumah paman?" tanyanya ragu begitu melihat Sari mengangguk pelan."Iya, paman sudah membicarakan hal ini pada mamamu," jawab Bram yang bisa sedikit melunak.Sari berdiri gelisah di belakang Bram, meremas ponsel pria itu yang masih ada di genggamannya. Belum cukup keterkejutan Sari, perihal berita pernikahan Tiara. Kini, dirinya kembali dikejutkan dengan keputusan pria itu yang berniat membawa Nana.Lalu, apakah ia memiliki hak untuk melarang? secara, pria itu sekarang merupakan ayah sambung Nana. Sementara dirinya, hanya pengasuh.Sari mengiris ngilu mengingat itu.
"Tolong, jangan sakiti aku. Ambil saja apa yang kamu inginkan, dan segeralah pergi. Sebelum warga kampung menangkapmu," ucap Tiara dengan tubuh bergetar saat tiba-tiba lengan besar melingkar di lehernya."Kamu mengusirku?" tanya Bram pelan.Sontak, Tiara menghela nafas lega. Rupanya bukan maling, ataupun perampok seperti yang ia khawatirkanSeminggu berlalu setelah hari pernikahan, tanpa memberitahu sebelumnya, Bram datang dan mengejutkan Tiara yang malam itu berniat membuat makanan di dapur.Tiara, yang sudah mulai terbiasa sendiri dalam seminggu terakhir. Tentu saja terkejut, mengetahui ada tangan besar yang melingkar di lehernya. Walaupun tidak erat, namun, tinggal seorang diri di tengah hutan, tanpa ada alat komunikasi, tidak jarang membuat rasa takut menggelayuti pikiran ibu satu anak itu."Kamu belum makan?" tanya Bram seraya melepaskan tangannya dari leher Tiara."Belum,""Apa kamu hidup dengan baik selama aku tidak ada?""Iya, penduduk kampung sering memberiku sayur saat memane
Bram menggeliat, tanpa sengaja satu tangannya meraba sebelah kiri, kosong. Dengan malas, pria itu mengangkat kepala untuk mencari keberadaan Tiara, yang tidak ada di tempatnya."Kemana dia?" gumam Bram setelah kedua matanya terbuka sempurna.Pria itu merubah posisi tidurnya menjadi terlentang, lalu pandangannya beralih pada benda, penunjuk waktu yang menempel di dinding. Ternyata sudah pukul enam pagi."Jam berapa dia bangun tadi?" tanyanya pada diri sendiri seraya beranjak bangkit, setelah menyikat selimut yang menutupi setengah tubuhnya.Setelah sempat duduk sebentar, Bram langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Tanpa berniat menutup tubuh polosnya terlebih dahulu."Bram!" pekik Tiara begitu tahu pria itu yang membuka pintu.Tidak hanya Tiara, Bram juga tak kalah terkejut mendapati dirinya duduk bersandar di atas kloset."Kenapa pintunya tidak dikunci?" tanya Bram mengabaika
"Karena apa?" tanya Nana tidak sabaran, karena Thomas sengaja menggantung kalimatnya.Thomas tersenyum, seraya mengacak puncak kepala Nana, begitu melihatnya sangat antusias."Karena paman sudah terbiasa, usia kami hanya berbeda dua tahun, jadi sejak kecil kami bersikap layaknya teman," jelas Thomas."Pasti menyenangkan punya teman bermain sejak kecil, tidak seperti Nana hanya punya, Mickey, Minnie, dan Pusy," jelasnya menyebut beberapa nama boneka miliknya.'Sebentar lagi, kamu pasti tidak merasa kesepian lagi. Karena ibumu akan melahirkan banyak adik," batin Thomas. Lalu, pria itu-pun tersenyum saat membayangkan akan ada makhluk-makhluk kecil berlarian di rumahnya."Kenapa tiba-tiba paman tersenyum, apa paman sakit?" tanya Nana."Heem!" Thomas berdehem, sambil menegakkan posisi duduknya."Tidak, kamu tenang saja, paman masih sehat," celetuknya."Hihi .. paman lucu." Melihat Nana terkikik geli, Thomas kembali tersenyum.'Kamu begitu menggemaskan, Na. Tidak heran, jika Bram yang sel
Selesai membersihkan diri dari sisa-sisa percintaannya, semalam dan pagi tadi. Bram berdiri di balkon kamar. Tatapan bak elang pria itu lurus ke depan, memperhatikan Tiara yang tengah bersenda gurau dengan para petani wanita di bawah sana.Tadi, setelah percintaannya yang terakhir dengan wanita itu, Bram sempat ketiduran, dan saat dirinya bangun sudah tidak lagi mendapati Tiara di ranjang mereka. Sadar matahari sudah tinggi, Bram bergegas membersihkan diri, dan berniat melihat aktivitas di kebun belakang rumahnya. Benar saja, disana ada Tiara yang terlihat akrab dengan para petani yang pagi itu tengah memanen sayuran."Kamu memang pandai menyesuaikan diri di sembarang tempat, Ara," ucapannya pelan.Pandangan Bram tetap tak lepas dari wanita itu, yang sesekali terlihat tertawa lepas."Apa kau juga pernah begitu bahagia saat bersamanya? Bahkan, membayangkan hal itu saja, darahku langsung mendidih," imbuhnya.Rasa ce