Disangka
Masih Hilang Ingatan
Part 3
"Auwkh! Kepalaku pusing banget!" rintihku kesakitan sembari memegangi kepala. Aku terbangun. Entah aku pingsan atau tertidur pulas. Kuremas pelan rambut kepala. Melihat sekitar ruangan.
Aku syok!
"Hah? Ini dimana? Dan bajuku? Kenapa bajuku kek gini?" Aku bingung. Kepala ini memutar dan sempat kulihat bintang berlalu lalang menghiasi sudut pandangan.
"Ini, kok kaya cat rumahku. Terus, ya! Ini kayak kamar pembantu?" Aku mulai ingat. Dan itu makin membuatku terkejut bukan main. Keadaanku yang terbaring di kasur lantai tipis yang sudah mulai rontok jahitannya. Baju yang kukenakan pun hanyalah sebuah baju daster.
What?
Apa yang terjadi?
Pintu kamar tertutup. Dan disampingku ada sebuah waskom berisi air agak hangat. Pasti bekas kompres kepala ini. Karena pas bangun ada handuk kecil terhampar. Namun sudah dingin. Aku hafal betul kalau ini bangunan kamar asisten rumah tangga. Ya, kamar ART rumahku.
Kalau aku sakit, kenapa Mbok Mun tidurkan aku disini? Lalu, kenapa pakaian ini terpasang di tubuhku?
Kepala ini masih mencecar dan mengingat. Yang kuingat, terakhir aku mengejar Mas Andri dengan selingkuhannya. Seorang karyawan hotel yang baru saja melamar kerja lima bulan yang lalu.
Kepala ini masih nyut-nyutan. Segera aku terperanjat melihat kalender yang terpasang di dekat lemari kamar yang sedang kutempati. Aku ingin tahu, hari apa dan tanggal berapa sekarang.
Akh sial! Mana tahu ini hari apa? Meskipun ada kalender, tapi aku tidak tahu. Memangnya kalender di ponsel! Langsung menunjukkan waktu dan tanggal hari itu juga.
Tapi, pasti ada yang salah.
Segera kuputar memori terakhir yang kuingat.
***
__________Flashback__________Saat itu aku baru saja pulang dari Mall. Dan aku melihat mobil Mas Andri pun sama sudah terparkir di Mall. Entah ia tak ngeuh atau bagaimana. Padahal mobilku juga terparkir disana. Memang agak jauh. Tapi aku pun hafal plat nomor mobil yang ia gunakan. Apalagi mobil itu adalah mobil yang kubelikan untuknya. Atas permintaannya.
Tapi, aku fikir, dia tak tahu kalau mobilku pula ada disana. Dan untuk apa di siang bolong ia ke Mall? Bukannya dia ada di kantor?
Aku ingin selidiki dan menunggu dengan siapa Mas Andri kembali. Jangan-jangan, dia dengan wanita, lagi!
Aku adalah seorang wanita yang tak memiliki orang tua. Mereka sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Bukan mereka, tapi mama. Sedangkan papa sudah meninggal sejak aku duduk di bangku SMA. Sejak saat itu hotel milik kami mama kelola sendiri. Kebetulan mama juga seorang wanita karir dulunya. Sebelum menikah dengan papa.
Aku menikah dengan Mas Andri dua tahun yang lalu. Setelah mama meninggal dan wariskan perusahaannya padaku. Ya, pada siapa lagi. Aku tak punya lagi saudara. Bahkan mama hanya seorang anak tunggal. Sama sepertiku. Dan saudara papa ada diluar kota semuanya.
Mas Andri melamarku. Dia menjabat sebagai seorang karyawan HRD. Aku tidak tahu entah mengapa aku sampai terpincut olehnya. Mungkin karena dia yang sering dekat denganku. Dia baik dan sejauh ini tak ada masalah. Akhirnya kami menikah. Dan kini usia pernikahanku belum genap satu tahun pun. Aku sudah merasa ada yang ganjal dengannya. Dengan melihat mobil Mersi-nya terparkir di parkiran Mall.
Aku meraih benda pipih di tas. Bermaksud mencari nomor yang berjumlah dua belas angka atas nama suamiku. Tak susah aku mencarinya. Dengan segera kukirimi ia pesan.
[ Mas, kamu dimana? Aku mau jalan ke kantor. Kita makan siang bareng, yuk! ]
Send.
Aku pura-pura mengajaknya. Ingin kutahu, bagaimana balasan yang akan ia kirim.
Ting.
Ia membalas dengan cepat. Berarti ia berada dekat dengan benda penting yang ia miliki itu. Di saku baju atau di saku celana. Hingga ia langsung membalas pesanku.
[ Aku lagi meeting diluar. Kamu balik saja. Aku masih lama. Pasti makan siang dengan investor. ] Balasan kiriman darinya. Diakhiri emoticon telapak tangan beradu tanda maaf.
Bohong. Apa dia meeting di Mall?
[ Dimana meetingnya? Aku kesana saja ]
Send.
Langsung centang dua biru. Tak menunggu lama tulisan 'mengetik' terpampang. Aku menunggunya. Lama.
Ting!
Aku dapat balasan.
[ Aku ada di restoran jauh dari hotel. Kamu lebih baik pulang saja. Gak enak kalau kamu kesini ] Jawabnya lagi diakhiri emoticon menutup mulut dengan kelima jari.Tak ingin aku berbasa-basi.
[ Oh, oke. Aku pulang saja. ] Begitu saja balasanku. Di akhiri emoticon sedikit berkeringat. Capek deh!
Aku tunggu saja sampai ia keluar. Mas Andri sudah jelas bohong. Tadi pagi ia berangkat memakai mobil yang sama, yang kulihat di parkiran.
Sampai setengah jam menunggu dari sudut yang jelas memperlihatkan letak mobilnya.
Apa yang aku lihat?
"Wanita itu!" kejutku. Wanita itu adalah karyawan hotel baru. Dia kerja sebagai karyawan biasa. Dan benak ini tak basa-basi lagi. Mas Andri dengan wanita itu memang ada hubungan. Bagaimana mungkin mereka berdua jalan bersama. Bawa belanjaan banyak. Terus si wanita itu gelendotan di pundak Mas Andri. Aku belum tahu mamanya. Tapi aku sudah sempat lihat ia bekerja. Dan katanya ia karyawan baru. Mas Andri pula yang masukkan.
Mereka nampak mesra. Masuk ke dalam mobil. Dan Mas Andri telah berbohong padaku. Dia enak-enakan pegang jabatan, lalu ia selewengkan. Mentang-mentang banyak uang. Awas kamu!
Kususuri kemana arah mobilnya pergi. Aku mengikutinya dari kejauhan. Beberapa ratus meter keluar dari parkiran. Kukejar mereka dan kupepet ke pinggir di jalan sepi.
"Mas Andri!" teriakku kesal seusai menekan knop kaca supaya ia melihatku dengan jelas.
"A-Aurel?" Dia syok. Wanita itu juga. Namun, bukannya berhenti dia malah makin menancap gas. Aku emosi, hingga kutancap gas menyusuri mobilnya. Mobil sport yang kupakai tak kalah kencang. Namun, Mas Andri seperti menjebakku. Dia sekaligus membanting stir, hingga mobilku membelok hilang kendali dan ...
Bragk!
Sejak saat itu aku tak ingat apa-apa lagi. Kepalaku terbentur hebat. Tak begitu mengeluarkan banyak darah, namun sakit.
____________
Flashback off______________Krek!
Lamunanku buyar seketika.
Pintu membuka. Dan yang datang adalah Mbok Mun. Ia membiarkan pintu membuka.
"Inah! Sampeyan wes bangun?" Maksudnya aku sudah bangun?
Inah?
Aku terkejut. Kening ini mengernyit heran dengan sebutan nama 'Inah' yang diucapkan oleh pembantuku sendiri.
Belum juga aku bertanya kenapa ia memanggilku Inah, tiba-tiba ada dua orang masuk menghampiriku. Dia suamiku. Dan aku kaget pas melihat ia datang dengan seorang wanita. Wanita yang jadi selingkuhannya. Mimpi apa ini? Berani-beraninya ia bawa wanita tak tahu diri itu.
Tapi aku diam dengan kebingungan.
"Inah? Kamu udah sadar?" tanya wanita itu. Aku belum tahu namanya. Aku hanya diam mematung dengan wajah kaget. Apa ini?
"Inah? Kok diem? Kepala kamu masih pusing?" ucap suamiku menyebutku dengan nama yang sama. Astaghfirullah! Jangan-jangan ...?
Aku teringat. Apa kepalaku terbentur lalu aku hilang ingatan? Dan mereka bikin aku jadi pembantu? Ah aku harus selidiki.
"Eh. Hem. Mbok, ini hari apa?" tanyaku segera pada Mbok Mun. Aku belum menjawab pertanyaan mereka. Karena kalau dugaanku benar tentang aku yang sempat amnesia, berarti ...?
"Kenapa? Sekarang hari Sabtu," jawab Mbok Mun santai. Jelas aku syok. Karena aku masih ingat, aku mengejar Mas Andri itu di hari Rabu. Wah, berarti aku sudah dibawa sejak beberapa hari yang lalu.
Mas Andri dan wanita itu tiba-tiba kaget. Mereka seperti ketakutan melihat gelagatku yang mungkin asing. Ya, memang aku tak tahu apa sandiwara mereka sebelumnya.
"I-Inah? Ka-kamu masih inget kalau kamu itu Inah 'kan?" ujar Mas Andri tiba-tiba gagap. Dan wanita itu malah sembunyi dibalik punggung Mas Andri. Si Mbok pun nampak syok.
Yang jelas, aku akan jawab saja seperti apa yang mereka mau. Itupun kalau aku memang pernah mengaku nama Inah. Kalau tidak, aku yang ketahuan bohong. Dan aku yakin, aku hilang ingatan sejak kecelakaan itu. Ini sudah hari ke empat sejak waktu itu.
"Em, aduh, kepala saya pusing." Aku meringis. Aku tak tahu sandiwara apa sebelumnya. Jadi aku harus mencari tahu lebih dulu. Niatku jebak mereka, malah-malah nanti aku yang kena. Ah, aku tak sebodoh itu.
Wanita itu mulai keluar dari persembunyiannya. Dari belakang Mas Andri seusai aku berkata seperti barusan.
"Aduh, kepala saya pusing. Gimana kalau saya minta istirahat. Boleh 'kan?" pintaku sambil meringis. Mereka nampak panik.
"Em, I-Inah, kamu kenal siapa wanita ini?" tanya Mas Andri. Pasti dia menyela. Ya, dia pasti berfikir aku masih seperti hari-hari yang lalu. Hilang Ingatan. Karena, untuk apa ia tanyakan wanita itu padaku. Kalau Mas Andri tahu, aku mengetahui wanita itu selingkuhannya, mereka pasti segera pergi.
Aku jawab saja. Semoga tak salah. "Lho, itu, pacarnya 'kan? Aduuuh! Kepalaku sakit. Boleh aku tidur sebentar." Aku segera memotong kalimat dan memindah tema. Aku tak tahu, aku harus panggil Mas Andri apa. Tuan 'kah? Mas 'kah? Bapak 'kah? Atau apa? Yang jelas, aku harus menyelidiki CCTV seluruh ruangan.
"Oh ya sudah. Inah, kamu inget nama kamu Inah, kan?" tanya suamiku. Aku hanya diam sambil tersenyum. Ya, setidaknya mereka tak curiga aku sudah mengingat. Aku tak akan menampakkan amarah.
"Kalau gitu saya keluar dulu. Mbok, biarkan juga Inah sendiri. Biar dia istirahat," kata Mas Andri. Dia mulai meninggalkan kamar yang sedang kutiduri perlahan. Amat gugup dan menaan rasa takut.
Mereka beruda telah pergi. Tinggal aku berdua dengan Mbok Mun. Aku akan selidiki, Mbok Mun berpihak pada siapa?
"Mbok, maaf saya merepotkan. Saya mau kerja saja." Aku angkat bicara. "Saya gak jadi tidur. Aduhh!" Aku pura-pura menahan kesakitan supaya Mbok angkat bicara meyakinkan.
"Jangan Inah. Kamu tidur saja. Biar aku kerjakan semua. Tuan juga bilang begtiu 'kan. Yo wes, aku keluar dulu. Kamu nanti kalau mau makan ke dapur saja. Ya, Nah?" kata si Mbok. Jawabannya amat meyakinan. Berarti benar, aku memang sempat hilang ingatan. Lalu aku dibawa ke rumah ini. Mas Andri dan selingkuhannya membuat diri ini menjadi pembantu.
Dasar bod*h!
"Em, iya, aku nanti ke dapur. Sekarang aku mau tidur dulu. Maaf ya, Mbok," ujarku lirih. Aku berpura-pura. Padahal sebentar lagi aku kan menyelinap keluar.
Mbok Mun telah pergi.
Aku terpaksa mengendap-endap keluar. Berjalan beberapa meter dan aku sudah tahu Mbok Mun ada di tempat cucian. Dia sedang mencuci.
Aku kembali berjalan. Aku melihat Mas Andri sedang berdebat dengan wanita itu. Aku mendengarkan dari sudut dinding yang mengarah ke ruang tengah. Jauh dari letak kamarku.
"Kamu denger 'kan? Aurel masih mengingat namanya Inah. Dan kalau dia sudah pulih, ia pasti mencakar kamu! Dia pasti ngamuk lihat kamu!" kata Mas Andri. Telinga ini masih berdiri mendengarkan.
"Tapi, gimana kalau ia pura-pura?" kata si wanita itu. Dia memang licik. Pikirannya menyelidik.
"Maya, Sayang. Kalau ingatan dia pulih, tadi dia pasti bertanya untuk apa dia disana. Dan kalau dia pura-pura hilang ingatan lagi, dia pasti bertanya namanya siapa. Tidak akan setenang tadi. Tapi kita harus tetap selidiki. Kalau aku sih tapi masih yakin, Aurel masih hilang ingatan. Nanti aku akan coba sesuatu untuk memancingnya. Kalau ia sudah pulih, ia pasti akan berbuat sesuatu."
Begitulah percakapan mereka. Jadi benar, aku telah dibuat jadi pembantu. Awas saja kalian! Aku yang akan tipu kalian. Alasan kamu tak buang aku, pasti kamu masih butuh tanda tanganku untuk mengalih nama perusahaan. Otakmu selicik itu, Mas. Dan aku baru tahu, wanita itu namanya Maya. Hemmh.
***
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 4♥️♥️♥️Sekarang aku tahu. Mereka memanfaatkan amnesiaku ini. Demi apa? Pasti demi harta, tahta dan kekuasaan. Aku yakin, ini diluar ekspektasi mereka. Tentang aku amnesia. Namun, itu malah dibuat peluang untuk mereka.Setelah aku tahu semua yang Mas Andri dan Maya bicarakan, aku langsung kembali ke kamar. Kepala ini masih sangat pusing. Maksudku adalah untuk memikirkan rencana. Untuk mengibuli mereka dengan secara tidak langsung melindungi aset-aset milikku. Aku tak mau hasil kerja keras papa dan mama berakhir tragis di tangan kedua orang serakah itu. Dan aku ba
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 5"Mbok, Tuan Andri kok belum menikah?" tanyaku pada Mbok Mun yang sedang asyik memotong sayuran untuk kami masak. Lagi-lagi dia hanya diam dengan raut wajah tertekan. Sebenarnya aku sedang menyelidik. Berpihak pada siapakah Mbok Mun?"Em, ya belum. Kan baru mau menikah sama non Maya," jawab Mbok Mun ragu-ragu. Sekali-kali ia kerutkan senyuman. Aku lihat pula tangannya gemetar."Menurut Mbok, apa tuan Andri dan non Maya cocok?" tanyaku sambil mengiris bawang putih menjadi potongan persegi. Namun tak beraturan, karena aku kurang ahli.
"Mbok, menurut Mbok, bagusnya si Maya diapain ya?" tanyaku pada Simbok. Ia yang sedang mencuci piring dan aku sedang duduk sambil memainkan pisau."Aduh, itu pisau buat apa?" kata Simbok ketakutan. Ia yang sedang mencuci piring pun segera meraih pisau di tanganku."Apa sih, Mbok?" ulasku halus."Non jangan nekad ah. Mending kita jahilin aja tuh si non Maya. Jangan dengan benda tajam kayak gitu." Wajah Simbok parno. Memangnya aku fikir aku akan berbuat nekad dengan pisau di tanganku?Aku terkekeh. Pisau sudah ada di genggaman Simbok. "Ya ampun, Mbok, aku masih waras kali. Kalau yang adanya pisau di meja, ya yang aku raba pisau, lah," jawabku masih terkekeh."Syukurlah. Simbok pikir Non mau ....""Enggaklah, Mbok. Aku kan gak jahat. Tindakan kriminal mah aku gak suka. Lebih suka ke, menjahili gitu. B
Sebuah benda kecil yang bertugas merekam percakapan Mas Andri di kamar sudah kutempel sejak satu hari yang lalu. Kusuruh Simbok membelinya. Supaya aku tak keluar rumah.Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja."Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalau
"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku."Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas