Seorang pria paruh baya dengan setelan jas sedang berdiri tegap memandang jalanan di luar lobby yang cukup padat. Sesekali ia melirik jam tangannya seolah diburu waktu. Tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian kantor yang rapi menyapanya. Wanita itu tersenyum ramah pada pria yang ternyata suaminya.
Tak lama, suara langkah kaki terburu seorang laki-laki tampan dengan cambang tipis yang menggandeng wanita dengan sepatu berhak membuat seisi lobby menatap kagum dengan wanita muda yang memakai bodycon dress ditutup dengan blazer. Padu padan pakaiannya membuatnya sangat cantik, apalagi dengan rambut panjang yang tergerai dan terlihat halus karena mengikuti gerakan badan pemiliknya.
pemandangan yang cukup langka itu menampilkan pemilik gedung dan istrinya yang merupakan arsitek terkenal, juga anak lelakinya yang mengurus usaha hampir separuh bisnis yang berada di ged
Lila sedang berjalan menuju ruangan kerjanya saat tiba-tiba seseorang menariknya menuju ke arah tangga darurat. Tangan yang cukup kuat itu membuat Lila tidak bisa melepaskan cengkraman tangannya. Kejadian itu terlalu cepat dan kini Lila sudah berada di depan tangga dengan nafas terengah. Saat ia melihat wajah Dimas, Lila menjadi jengah. “Apalagi sekarang? Mau apa?” ucap Lila kesal. “Soal Raga–” “Kita gak harus sembunyi-sembunyi kayak gini kan buat ngomongin Raga. Kamu bikin situasinya kacau, Mas. Orang yang gak tahu bakal salah paham ngeliat aku sama kamu sembunyi-sembunyi kayak gini!” potong Lila dengan omelan panjang. Dimas tak menjawab omelan itu. Ia terlihat tak mendengarkan dengan wajah serius miliknya. Pria itu nam
Suara ketukan membuat Banyu menghentikan gerakan tangannya. Setelah mempersilahkan masuk, ternyata wajah sekretarisnya yang muncul dari balik pintu. Padahal ia sudah sangat merindukan Lila saat ini. Ia kira, dirinya akan melihat Lila kali ini. “Pak, maaf. Ada tamu.Belum bikin janji, tapi katanya penting,” ucap sekretaris yang sudah menemani Banyu kurang lebih empat tahun berada di kantor ini. “Atas nama siapa?” “Ibu Meira dan anaknya. nama anaknya Bara, Pak.” Banyu tercenung untuk sesaat. Bara. Nama anak lelaki yang sempat dirinya dan Meira diskusikan. Bayu dan Meira adalah kepanjangan dari nama Bara. Kenapa wanita itu datang dengan membawa anak bernama Bara? Apakah nama itu tetap diberikan pada bayi yang dikandungnya wa
Banyu membuka sedikit pintu kamar Lila tanpa permisi. Ia tak masuk, hanya mengintip dan melihat apa yang dilakukan oleh Raga dan Lila di dalam kamar itu. Hati Banyu menghangat saat melihat Lila sedang mencium lembut kening Raga. Lalu menyelimuti malaikat kecil itu agar merasa nyaman. Setelahnya, mata Lila dan Banyu beradu. Wanita itu kemudian memberikan isyarat jika Banyu bisa masuk ke dalam kamarnya jika ingin. Banyu pun mengangguk. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. Sesampainya di samping Raga, ia mencium kening Raga dan tampak membisikkan sesuatu. Lucunya Raga yang terlihat tertidur pulas malah mengangguk saja. Lila hanya bisa tersenyum memandang bayi kecil dengan orang yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri oleh anaknya. Mereka terlihat begitu dekat dan tak terpisahkan.
Lila termenung di depan kaca jendela pantry tempat kerjanya. Matanya menatap kosong gedung-gedung dan jalanan yang mulai padat karena jam sibuk di kota metropolitan itu. Pikiran Lila sudah jauh berkelana. Apalagi mengingat cerita Banyu tentang Meira. Ia tahu calon suaminya itu hanya bersimpati, tapi ada rasa takut jika calon suaminya itu tiba-tiba meninggalkannya. Entahlah, rasanya trauma masa lalu masih membekas. Ia sangat takut jika pria itu menjalin hubungan di belakangnya, sama dengan apa yang dilakukan mantan suaminya dulu. “Nggak, Lila! Dia bukan Mas Dimas. Dia Mas Banyu!” ucap Lila sambil menggelengkan kepalanya keras. Ia menarik nafas dalam untuk menenangkan hatinya. “La?” sapa Theo yang membuat Lila segera menoleh ke s
Banyu memegang sebuah map dari rumah sakit terkenal di kota metropolitan itu. Ia tampak ragu dan hanya memandang sampul mapnya saja. Entahlah, Banyu tak yakin. Jauh di dalam hatinya, ia hanya ingin mempercayai bahwa Bara bukanlah anaknya. Attar yang semenjak tadi memang sudah berada di sofa hanya bisa memandangi sahabat karibnya itu dengan tatapan yang ikut sedih. Teman baiknya itu terlalu baik dan rasanya apa yang saat ini terjadi tidak adil untuk Banyu. “Lo gak pengen buka? Gue penasaran juga,” ucap Attar mencoba menguatkan sahabatnya. Banyu menghela nafas sebelum akhirnya membuka mapnya dengan jantung berdebar tak karuan. beberapa menit kemudian tangannya bergetar dengan cukup kentara. “Dia– anak gue, Tar. Dia anak gue?” tanya Banyu yang sebelumnya membuat pernyat
Lila berjalan tergesa menuju ruangan Banyu. Suara Elle di telepon membuat Lila khawatir. Apa yang terjadi kali ini dengan Banyu? Saat Lila membuka pintu ruangan Banyu. Ia melihat Banyu yang kembali duduk dengan tegak, senyumnya nampak getir. Pria itu merentangkan tangannya seolah minta dipeluk. Lila awalnya bingung, namun dia mendekat ke arah Banyu dan memeluk pria itu. Mereka pun saling mengeratkan pelukannya satu sama lain. "Janji jangan tinggalin aku ya, La. Temenin aku," ucap Banyu berat. "Aku gak akan pergi kalau kamu gak dorong aku pergi, Mas." Banyu melepaskan pelukannya. Ia beranjak dan memberikan map yang sudah ia baca isinya berulang kali dan tulisannya pun tetap sama.
Diani menyusul suaminya yang kini sedang menikmati segelas kopi di tangannya sambil memandang halaman belakang rumah. Pria itu tampak dingin dan sepertinya enggan diganggu. Tapi, Diani tidak akan mundur. "Kenapa Mas begitu? Bara itu kan cucu kita. Kenapa Mas kayaknya gak mau gitu sih?" tanya Diani kecewa. Ia berdiri agak jauh dari suaminya. "Alasan apapun yang mau di bawa Meira untuk memaksa anak itu masuk dalam hidup kita. Aku gak bisa terima, Di. Bukannya lebih baik kalau dia gak pernah balik? Sepuluh tahun lebih dia bawa Bara pergi, kamu pikir anak itu akan menerima kita?" jawab Samudera datar. "Itu jadi tugas kita untuk menyambutnya!" "Lakukan, tapi jangan paksa aku." "Mas, gimana kata orang kalau mereka tahu, cucu k
Wanita paruh baya yang sudah lebih dari setengah abad itu tampak resah. Sesekali ia menatap ke arah luar dan mendesah berat. Matanya melirik ke arah jam dinding besar yang terletak tak jauh darinya. Hatinya makin kacau karena tidak ada tanda-tanda kedatangan anak sulungnya. "Tidurlah, Sayang. Sudah terlalu malam," suara bariton itu terdengar sangat lembut, berbeda dengan beberapa saat lalu yang terdengar dingin. "Aku tidur kalau Banyu sudah datang," ucapnya tanpa melihat si pemilik suara merdu di telinganya. "Dia sudah besar. Tidak perlu khawatir, Di. Ayolah, aku tidak bisa tidur kalau tidak memeluk kamu," rajuk Samudera. "Ini sudah tengah malam. Memangnya Papa gak khawatir sama Banyu?" "Buat apa? Dia lebih jago bela dir