Banyu memegang sebuah map dari rumah sakit terkenal di kota metropolitan itu. Ia tampak ragu dan hanya memandang sampul mapnya saja. Entahlah, Banyu tak yakin. Jauh di dalam hatinya, ia hanya ingin mempercayai bahwa Bara bukanlah anaknya.
Attar yang semenjak tadi memang sudah berada di sofa hanya bisa memandangi sahabat karibnya itu dengan tatapan yang ikut sedih. Teman baiknya itu terlalu baik dan rasanya apa yang saat ini terjadi tidak adil untuk Banyu.
“Lo gak pengen buka? Gue penasaran juga,” ucap Attar mencoba menguatkan sahabatnya.
Banyu menghela nafas sebelum akhirnya membuka mapnya dengan jantung berdebar tak karuan. beberapa menit kemudian tangannya bergetar dengan cukup kentara.
“Dia– anak gue, Tar. Dia anak gue?” tanya Banyu yang sebelumnya membuat pernyat
Lila berjalan tergesa menuju ruangan Banyu. Suara Elle di telepon membuat Lila khawatir. Apa yang terjadi kali ini dengan Banyu? Saat Lila membuka pintu ruangan Banyu. Ia melihat Banyu yang kembali duduk dengan tegak, senyumnya nampak getir. Pria itu merentangkan tangannya seolah minta dipeluk. Lila awalnya bingung, namun dia mendekat ke arah Banyu dan memeluk pria itu. Mereka pun saling mengeratkan pelukannya satu sama lain. "Janji jangan tinggalin aku ya, La. Temenin aku," ucap Banyu berat. "Aku gak akan pergi kalau kamu gak dorong aku pergi, Mas." Banyu melepaskan pelukannya. Ia beranjak dan memberikan map yang sudah ia baca isinya berulang kali dan tulisannya pun tetap sama.
Diani menyusul suaminya yang kini sedang menikmati segelas kopi di tangannya sambil memandang halaman belakang rumah. Pria itu tampak dingin dan sepertinya enggan diganggu. Tapi, Diani tidak akan mundur. "Kenapa Mas begitu? Bara itu kan cucu kita. Kenapa Mas kayaknya gak mau gitu sih?" tanya Diani kecewa. Ia berdiri agak jauh dari suaminya. "Alasan apapun yang mau di bawa Meira untuk memaksa anak itu masuk dalam hidup kita. Aku gak bisa terima, Di. Bukannya lebih baik kalau dia gak pernah balik? Sepuluh tahun lebih dia bawa Bara pergi, kamu pikir anak itu akan menerima kita?" jawab Samudera datar. "Itu jadi tugas kita untuk menyambutnya!" "Lakukan, tapi jangan paksa aku." "Mas, gimana kata orang kalau mereka tahu, cucu k
Wanita paruh baya yang sudah lebih dari setengah abad itu tampak resah. Sesekali ia menatap ke arah luar dan mendesah berat. Matanya melirik ke arah jam dinding besar yang terletak tak jauh darinya. Hatinya makin kacau karena tidak ada tanda-tanda kedatangan anak sulungnya. "Tidurlah, Sayang. Sudah terlalu malam," suara bariton itu terdengar sangat lembut, berbeda dengan beberapa saat lalu yang terdengar dingin. "Aku tidur kalau Banyu sudah datang," ucapnya tanpa melihat si pemilik suara merdu di telinganya. "Dia sudah besar. Tidak perlu khawatir, Di. Ayolah, aku tidak bisa tidur kalau tidak memeluk kamu," rajuk Samudera. "Ini sudah tengah malam. Memangnya Papa gak khawatir sama Banyu?" "Buat apa? Dia lebih jago bela dir
Banyu baru saja memasuki rumahnya bersama dengan Lila yang mengekor di belakangnya. Keduanya melihat Diani tengah bersama Raga. Wanita paruh baya itu sedang bernyanyi bersama sebuah lagu anak-anak kesukaan Raga. Anak yang baru saja genap berusia dua tahun itu terdengar bernyanyi riang. Membuat siapa saja yang mendengarnya juga ikut tertawa. "Sore, Bu. Wah, seneng banget Raga ya main sama Oma? Barusan nyanyi ya? Nyanyi apa?" ucap Lila yang kini sudah berjongkok di depan Diani sambil mencubit gemas pipi anaknya. "Nyanyi keleta api, Ma! Naik keleta api dut dut dut!!" ucap Raga yang membuat ketiga orang dewasa itu tertawa geli karena suara kereta api yang diucapkan Raga. "Bara dimana, Bu?" tanya Banyu dengan mata yang menjelajahi seisi ruangan.
Bara menatap lekat Lila yang tengah memakai gaun pengantin berwarna putih. Wanita itu sangat cantik dan Bara membandingkan Lila dengan Mamanya. 'Apa Mama gak cantik, jadi Ayah gak suka sama Mama? Kenapa Mama pergi sama Papa padahal Ayah baik?' pikir Bara. Anak kecil itu sendiri sedang terdiam salah satu sudut ruangan. Ia merasa asing dengan kehangatan dalam keluarga ayah kandungnya. Ia kira menjadi orang kaya hanyalah khayalannya. Tapi, ternyata itu terjadi pada Bara. Bisa naik mobil dan makan berbagai macam lauk adalah hal yang tak pernah terbayangkan olehnya. Sementara ia makan sepotong daging, Bara selalu teringat tentang Mamanya yang mungkin saja hanya makan sepotong tahu atau tempe dengan nasi. Mengingat itu membuat Bara sampai saat ini selalu enggan makan.
Pria dengan perawakan tegap dan lengan berotot yang menonjol, membuat setiap wanita yang melewatinya tak bisa berpaling. Wajahnya yang tampan perpaduan khas antara mata asia dengan alis tebal dan hidung mancung membuat pria itu lebih cocok menjadi seorang model. Tatanan rambutnya yang tidak rapi ditambah dengan kaos yang pas ditubuhnya dan celana chinos, membuat pria itu menjadi idola setiap wanita yang berada di sekitarnya saat ini. Banyak dari kaum hawa yang enggan melepaskan tatapannya dari pria bernama Sagara Xavero Adnan. "Om Aga!" teriak balita berumur dua setengah tahun yang berada digendongan calon ayah tirinya. Sagara tersenyum melihat mata cerah Raga. Rasanya Sagara langsung jatuh cinta melihat Raga yang selama ini hanya ditemuinya lewat telepon video. "Hal
Samudera masuk ke ruangan Banyu tanpa mengetuk. Pria yang berumur lebih dari setengah abad itu berjalan santai mendekati anak sulungnya yang tampaknya setia menunggu dirinya mendekat tanpa bertanya apapun. Samudera menyodorkan map berwarna merah dan memberikan kode Banyu untuk membukanya. “Apalagi ini? Aku gak suka dikasih map-map gini, Pa! Mending Papa jelasin aja,” tolak Banyu yang akan menyerahkan kembali map itu, tapi tangannya terhenti saat kalimat yang diucapkan Samudera meluncur. “Itu dokumen Papanya Lila.” “Papanya Lila?” Banyu membeo. Ia kemudian membuka berkas itu dan menemukan catatan medis milik Papa Lila. Kertas itu bertuliskan surat keterangan pemeriksaan kesehatan jiwa. Banyu berulang kali membaca surat it
Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu membuat mata beberapa orang yang berada di kebun, teralihkan. Termasuk seorang pria dengan rambut memutih dan tubuh kurus yang tak membuat ketampanannya berkurang di usia senjanya. Hidung mancung dengan mata dalam itu menunjukkan kharismanya di usia senja. Meski didiagnosa dengan skizofrenia dan dinyatakan sudah bisa menjalani harinya dengan normal sejak beberapa tahun terakhir, tapi orang yang tidak tahu, pasti akan menganggap pria itu sama normalnya. Sementara itu di dalam mobil, entah mengapa jantung Banyu berdetak kencang. Mungkin ia gugup karena ia akan meminta restu pria yang katanya adalah ayah Lila. Meski tidak tahu pasti keadaannya, Banyu tetap saja merasa jantungnya berlompatan. Saat ia turun dari mobilnya, manik matanya langsung bertemu dengan pria yang nam