Banyu baru saja memasuki rumahnya bersama dengan Lila yang mengekor di belakangnya. Keduanya melihat Diani tengah bersama Raga.
Wanita paruh baya itu sedang bernyanyi bersama sebuah lagu anak-anak kesukaan Raga. Anak yang baru saja genap berusia dua tahun itu terdengar bernyanyi riang. Membuat siapa saja yang mendengarnya juga ikut tertawa.
"Sore, Bu. Wah, seneng banget Raga ya main sama Oma? Barusan nyanyi ya? Nyanyi apa?" ucap Lila yang kini sudah berjongkok di depan Diani sambil mencubit gemas pipi anaknya.
"Nyanyi keleta api, Ma! Naik keleta api dut dut dut!!" ucap Raga yang membuat ketiga orang dewasa itu tertawa geli karena suara kereta api yang diucapkan Raga.
"Bara dimana, Bu?" tanya Banyu dengan mata yang menjelajahi seisi ruangan.
Bara menatap lekat Lila yang tengah memakai gaun pengantin berwarna putih. Wanita itu sangat cantik dan Bara membandingkan Lila dengan Mamanya. 'Apa Mama gak cantik, jadi Ayah gak suka sama Mama? Kenapa Mama pergi sama Papa padahal Ayah baik?' pikir Bara. Anak kecil itu sendiri sedang terdiam salah satu sudut ruangan. Ia merasa asing dengan kehangatan dalam keluarga ayah kandungnya. Ia kira menjadi orang kaya hanyalah khayalannya. Tapi, ternyata itu terjadi pada Bara. Bisa naik mobil dan makan berbagai macam lauk adalah hal yang tak pernah terbayangkan olehnya. Sementara ia makan sepotong daging, Bara selalu teringat tentang Mamanya yang mungkin saja hanya makan sepotong tahu atau tempe dengan nasi. Mengingat itu membuat Bara sampai saat ini selalu enggan makan.
Pria dengan perawakan tegap dan lengan berotot yang menonjol, membuat setiap wanita yang melewatinya tak bisa berpaling. Wajahnya yang tampan perpaduan khas antara mata asia dengan alis tebal dan hidung mancung membuat pria itu lebih cocok menjadi seorang model. Tatanan rambutnya yang tidak rapi ditambah dengan kaos yang pas ditubuhnya dan celana chinos, membuat pria itu menjadi idola setiap wanita yang berada di sekitarnya saat ini. Banyak dari kaum hawa yang enggan melepaskan tatapannya dari pria bernama Sagara Xavero Adnan. "Om Aga!" teriak balita berumur dua setengah tahun yang berada digendongan calon ayah tirinya. Sagara tersenyum melihat mata cerah Raga. Rasanya Sagara langsung jatuh cinta melihat Raga yang selama ini hanya ditemuinya lewat telepon video. "Hal
Samudera masuk ke ruangan Banyu tanpa mengetuk. Pria yang berumur lebih dari setengah abad itu berjalan santai mendekati anak sulungnya yang tampaknya setia menunggu dirinya mendekat tanpa bertanya apapun. Samudera menyodorkan map berwarna merah dan memberikan kode Banyu untuk membukanya. “Apalagi ini? Aku gak suka dikasih map-map gini, Pa! Mending Papa jelasin aja,” tolak Banyu yang akan menyerahkan kembali map itu, tapi tangannya terhenti saat kalimat yang diucapkan Samudera meluncur. “Itu dokumen Papanya Lila.” “Papanya Lila?” Banyu membeo. Ia kemudian membuka berkas itu dan menemukan catatan medis milik Papa Lila. Kertas itu bertuliskan surat keterangan pemeriksaan kesehatan jiwa. Banyu berulang kali membaca surat it
Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu membuat mata beberapa orang yang berada di kebun, teralihkan. Termasuk seorang pria dengan rambut memutih dan tubuh kurus yang tak membuat ketampanannya berkurang di usia senjanya. Hidung mancung dengan mata dalam itu menunjukkan kharismanya di usia senja. Meski didiagnosa dengan skizofrenia dan dinyatakan sudah bisa menjalani harinya dengan normal sejak beberapa tahun terakhir, tapi orang yang tidak tahu, pasti akan menganggap pria itu sama normalnya. Sementara itu di dalam mobil, entah mengapa jantung Banyu berdetak kencang. Mungkin ia gugup karena ia akan meminta restu pria yang katanya adalah ayah Lila. Meski tidak tahu pasti keadaannya, Banyu tetap saja merasa jantungnya berlompatan. Saat ia turun dari mobilnya, manik matanya langsung bertemu dengan pria yang nam
Suara ketukan pintu membuat Lila yang baru saja berhasil menidurkan Raga, jadi menatap pintu kamar itu dan menunggu si pengetuk masuk. Namun nyatanya itu hanya suara ketukan. Ia pikir itu adalah suara ketukan Banyu yang sudah pulang dari bekerja. Banyu hari ini mengatakan bahwa ia akan melakukan perjalanan luar kota, jadi ia tidak ada di kantor seharian ini. Nomor ponselnya pun sulit dihubungi dan pria itu sama sekali tidak mengabari apapun pada Lila. Lila bukannya posesif. Daripada cemburu, Lila lebih khawatir jika calon suaminya itu mengalami sesuatu di perjalanan. Wanita itu segera menepis pikiran buruknya dan menghela nafas besar. Ketukan lagi-lagi terdengar dan Lila pun segera berdiri. Ia membuka pintu dan melihat wanita setengah baya tersenyum padanya “Maaf men
Lila duduk dibangku panjang ditemani pria bernama Fandy Hermawan. Pria tua yang jika ditelisik lebih jauh, memiliki kemiripan bentuk hidung dan garis senyum yang sama dengan Lila. Keheningan yang panjang menyeruak diantara keduanya. Fandy tentu tidak pandai merangkai katanya, sedangkan Lila memilih cukup tahu saja siapa yang ada disampingnya. Setelah berpikir lama dengan pergulatan batin yang tidak mudah, wanita itu akhirnya membuka suaranya. "Jadi gimana kabar Bapak sekarang?" Pria itu ragu-ragu memandang Lila. "Ya kayak gini. Kamu sudah tau soal penyakitku?" Lila mengangguk saja tanpa mengatakan apapun. "Penyakit seperti ini gak bisa sembuh Lila. Setiap hari aku selalu melihat ibumu. Bahkan sekarang Ibu kamu lagi meman
Lila tampak cantik dengan kebaya putih yang membalut indah tubuhnya. Senyuman menghias wajahnya, menutupi rasa gugup yang mendera. Mungkin ini bukan yang pertama, tapi semua prosesi panjang yang akan ada di depan matanya, baru kali ini ia lalui. Dulu hanya ijab kabul sederhana karena dirinya dan mantan suaminya sama-sama anak yatim piatu. Jadi tidak ada acara mewah dan hanya ada acara selamatan kecil-kecilan. Kini Lila harus duduk di depan puluhan pasang tamu undangan yang menyaksikan pernikahannya. Setelah mengucapkan janji sehidup semati dihiasi teriakan para hadirin yang datang. Semua kegugupan Banyu dan Lila hilang berganti dengan rasa syukur yang tak henti-henti mereka ucapkan dalam hati mereka. Setelah menyematkan cincin di tangan satu sama lain, tanpa aba-aba Banyu mencium kening Lila. Lama pria itu menciu
Meira menggandeng tangan anak lelakinya. Langkahnya sedikit berat, namun ia meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa melangkah maju dengan berani. Sementara itu banyak mata yang melihat ke arah Meira dan bergantian melihat ke arah Banyu yang wajahnya sudah cukup dingin. Pria itu tidak suka dengan keberadaan Meira. Kejadian ini pasti akan menimbulkan banyak kesalahpahaman. Suara kasak-kusuk terdengar sumbang ditelinga keluarga besar Adnan. Mereka menebak-nebak siapa wanita yang berjalan dengan anak kecil yang sedari tadi berada di pesta besar itu. Bahkan anak berumur sepuluh tahun itu juga tidak pernah dilihat oleh kolega keluarga Adnan. Mereka hanya mengenali anak kecil berumur dua tahun yang beberapa kali memang bersama Samudera ataupun Diani. Banyu juga sering membawanya dan mengenalkan bahwa bayi kecil itu adalah