Olivia segera menghubungi Seno dengan ponsel hantu miliknya. Seno melarangnya untuk menghubungi secara pribadi untuk mengelabui Lara. Olivia tidak kehabisan cara. Wanita itu segera menelpon Seno dan menagih janjinya.“Apa katamu?!” Olivia terperanjat. Seno benar-benar berubah!“Ini adalah kali terakhir aku menerima panggilanmu, Olivia! Setelah ini, tidak ada hubungan romantis lagi antara kau dan aku! Mengerti?!” Seno memutuskan hubungannya dengan kekasih gelap itu.“A–apa?!” Olivia memekik marah. “Kau tidak bisa memutuskan hubungan secara sepihak seperti ini, Seno!” teriaknya.“Mengapa tidak?” Seno balik bertanya. Ia tampaknya sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari tindakannya.“A–aku … Aku akan membongkar perselingkuhan kita!” ancam Olivia tanpa berpikir matang.“Oh ya? Coba saja jika ingin menggali kuburanmu sendiri. Kau pikir media akan mendengarkan ocehan wanita gila?” Seno seakan tak kenal takut. Olivia terperangah. Ia mati kutu. “Ka–kau!”“Sudah! Cukup! Aku sudah mengiri
Seno, mau tak mau, harus mengabulkan permintaan Olivia. Wanita gila itu benar-benar membuat ulah yang di luar ekspektasinya. “Di mana?” Seno menghubungi Olivia, ketika ia sudah sampai di rubanah hotel. Tempat parkirnya cukup padat, Seno harus parkir di lantai tiga karena semua lini sudah penuh terisi. “Aku di Lobby, cepat kemarilah!” sahut Olivia manja. Matanya sudah sejak tadi mencari-cari sosok Seno, namun … pria itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ternyata, Seno sedang berada di rubanah. Olivia tak mengira bahwa ia akan datang dengan mobil pribadi seperti itu. “Aku ke sana!” ucap Seno dengan tergesa. Ia harus segera menemui Olivia dan mengakhiri semuanya. Seno tak ingin terlibat dalam trik licik wanita itu, terutama jika Lara terlibat di dalamnya. ***“Ramai sekali,” gumam Lara ketika memasuki lobby hotel. Acara reuninya ada di ruang pertemuan khusus di lantai 10. Lara harus menyusuri lorong untuk sampai ke lift yang ada di ujung ruangan. “Eh, ternyata, kamu datang
“Hai, Semuanya!” teriak Olivia sengaja memancing perhatian tamu-tamu pesta. “E–eh? Olivia?” “Benar, itu Olivia, anak 2008!” “Gile … makin glowing!” “Siapa tuh yang di sebelahnya?” Suara kasak-kusuk segera memenuhi aula itu. Olivia mendapatkan sorotan perhatian seperti yang diharapkan. “Hei!” Olivia kembali melambai ke arah teman-temannya yang ada di pojok ruangan. Para kelompok penggosip! Kelompok yang sama yang telah menjatuhkan harga diri Lara. “Cie … pacar, tuh?” tanya Sherly sambil memandang ke arah Seno dengan tatapan ingin tahu. “Ah … Haha … tau aja!” Olivia tak mengelak. Sedangkan, Seno hanya menelan ludah. Ia harus bekerja sama dengan Olivia agar wanita itu tidak menyebarkan rahasianya. “Kayaknya pernah lihat, di mana, ya?” Sherly mencoba mengingat-ingat, namun … Olivia segera menjelaskan asal-usul kekasih gelapnya. “Dia Seno Adhijaya, masa nggak kenal, sih?” “Oh! Wow! Iya, aku pernah lihat di majalah!” “Benar! Itu Pak Seno, ya? Salam kenal!” “Ah, ya, salam kenal,” S
Tubuh Mahya gemetar ketika melihat Seno dan Olivia mendekat. Bukan getaran euforia ataupun kesenangan karena bertemu dua sosok yang tidak asing itu, namun … tubuh Mahya gemetar karena jijik dan tidak dapat menerima fakta bahwa Seno benar-benar mempertontonkan kebejatannya di hadapan massa.“K–kau,” ucap Seno tergagap ketika melihat Mahya yang begitu melekat di memorinya. “Ah! Kenalkan, ini Mahya,salah satu reporter terbaik kami di kantor,” James mulai mendekat ke arah Mahya. Instingnya sebagai lelaki seakan mendominasi otak reptilnya, kala Seno memandang Mahya dengan tatapan yang ia juga mengerti, apa artinya.“Ah, Mahya, ya ….” Seno berpura-pura tidak begitu mengenalnya, meski James juga mengetahui bahwa mereka pernah terlibat dalam kecelakaan, beberapa waktu lalu. Kecelakaan itu mengakibatkan James kehilangan uang $1000 dalam sekejap mata sehingga ia benar-benar marah kepada Mahya.Ketika James memikirkan hal itu, ia semakin mengutuk dirinya. Bagaimana mungkin pikiran rasionalnya s
“Apa yang terjadi? Di mana Lara? Apa dia akan melahirkan?” Seno mencecar sopirnya dengan beragam pertanyaan sampai akhirnya, hanya embusan napas kasar sang sopir yang menjadi jawaban utama.“Sa–sabar, Pak,” jelasnya kemudian.“Katakan! Di mana Lara?!” “Nyonya berada di ruang ICU. Kita harus menunggu sebentar lagi, Pak,” ucap sopir itu dengan pandangan nanar. Ia memang berhak disalahkan. Sebagai bawahan, tugasnya memang–salah satunya–untuk menenangkan emosi sang majikan.“Sekarang, jelaskan! Bagaimana semua ini bermula!” Seno naik pitam. Napasnya tersengal. Ia benar-benar merasa kecolongan. Bagaimana ia bisa mengabaikan kondisi Lara dan malah menemani Olivia? Seno memang tidak sedang berpikiran waras!“Nyonya merasa kesakitan setelah dari reuni, Tuan. Kata dokter yang tadi memeriksa, ada gejala syok hebat yang mendera nyonya ….”“A–apa?!”Seno mengatupkan mulutnya. Sejenak, ia mencoba menerka, kejadian apa yang bisa membuat istrinya syok hingga sedemikian rupa.“La–lalu?”“Ya, begitul
“Pak Seno?” Seorang dokter keluar dari ruang rawat intensif Lara. Seno segera menyambutnya dan mengangguk keras ketika dokter itu mengkonfirmasi identitasnya.“Ada apa, Dok? Bagaimana keadaan istri saya?” tanya Seno dengan tergesa. Ia benar-benar khawatir dan tak bisa beristirahat dengan tenang kala kondisi Lara belum dipastikan.“Bu Lara mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah menanganinya dan sekarang sedang melakukan semua yang diperlukan untuk menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung nyonya,” ucap dokter itu dengan mimik serius.Seno merasa gelisah. Sepertinya, perkataan sang dokter belum berhenti sampai di situ saja. “La–lalu. Apa yang akan terjadi, Dok?”“Perlu diingat bahwa pendarahan ini dapat menjadi tanda-tanda kondisi yang serius. Kami akan terus memantau dan memberikan perawatan yang dibutuhkan. Jika kondisi ini tidak membaik, kami akan mempertimbangkan opsi lain, termasuk persalinan prematur jika benar-benar diperlukan,” pungkas sang dokter. Seno menelan
Kata-kata itu menjadi hal terakhir yang Lara ingat ketika membuka mata dengan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Gelap. Hanya itu yang dapat dilihat oleh Lara. Sejatinya, ia tidak bisa melihat apapun. Kepalanya sangat sakit dan anehnya … perutnya juga!“A–apa ini?” Lara memeriksa rasa nyeri yang dirasakan di bagian perutnya. Rasa nyeri itu terasa sangat asing. Lara benar-benar melewatkan sesuatu. “Jahitan?” gumamnya.Aneh sekali, mengapa di perutnya ada bekas jahitan?Lara baru menyadari satu hal … “Anakku! Di mana anakku?” Bekas jahitan itu seakan merupakan jalan keluar dari si jabang bayi yang menghilang. Lara benar-benar tidak mengingat apapun. Terakhir kali, Lara hanya mengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan hendak menceraikan suaminya. Setelahnya … Lara hanya tertidur dan … bermimpi!Lara bermimpi dipindahkan ke sebuah ruangan aneh yang sangat gelap dengan bau desinfektan dan suara mesin yang berdenging di telinga. Beberapa staff medis turut menemaninya di mimpi it
“Lara! Iya! Ini aku!”Mahya segera berlari ke arah Lara dan mencoba melepaskannya dari balik jeruji itu dengan sekuat tenaga. “Sial!” gerutunya ketika pintu besi itu ternyata terkunci rapat.“Tunggu, Lara!”Mahya berlari kembali ke tempat asalnya. Ia menuju ke mobil, membongkar kotak peralatan yang ada di bagasi milikya. Suara dentang besi-besi bertumpukkan mulai terdengar. Mahya kembali kepada Lara dengan membawa sebuah linggis untuk memecah gembok yang mengunci engsel pintunya.“Hiyah!”Dengan sekuat tenaga, Mahya akhirnya berhasil membuka jeruji yang membelenggu Lara.“Lara!” Mahya segera memeluk sahabatnya yang sedang tergolek lemah di lantai. Ia menangis dan menyayangkan tentang insiden penyekapan ini. Mengapa gadis sebaik Lara harus mengalaminya?“Mahya, aku … aku ada di mana?” tanya Lara dengan suara bergetar. Ia benar-b