Segalanya teramat berarti ketika yang berarti telah pergi. Dan di luar kepedihan yang begitu mendalam, menjalani hari-hari tanpa adanya yang berarti adalah yang terberat.Ace sudah menghabiskan waktu terberatnya di rumah sakit jiwa. Mendatangi psikolog, menjalani terapi dan mengulangi lagi. Walau kesekian kalinya hidup dalam penyangkalan memberinya rasa aman termasuk menanggapi kehadiran Pamela. Karenanya mengacaukan irama kehidupannya yang sudah lama berjalan dengan tenang.-“Papa... Tante... Papa... Tante...” Berlian menggoyangkan bahu Ace dan Pamela bergantian ketika matahari pagi merekah dari balik awan.“Ya ampun, kukuruyukkk... kukuruyukkk... Ayam sudah bangun. Papa, Tante... Bangun dong!” Berlian berkokok berulangkali sampai dia kesal sendiri melihat kedua manusia dewasa tidak kunjung bangkit dari mimpi.Berlian mendekati wajah Ace. Dia menarik hidung mancung ayahnya sampai Ace gelagapan. Tangannya menggapai-gapai udara sebelum mendelik menatap Berlian yang terkekeh kecil. Ac
Jakarta. Setelah Karmen mencuri hp, dompet, paspor dan flashdisk dari tas Pamela. Meninggalkan Damian dalam ikatan shibari di tembok apartemennya.-Damian tidak bisa menggerakkan tangannya dan kakinya. Pengelihatannya berkunang-kunang. Kepalanya terasa pening. Mulutnya terlihat kering. Perutnya perih.Damian berusaha membuka matanya yang sukar terbuka sambil menarik-narik tangannya dari sesuatu yang memancing keingintahuannya. Tapi perlahan-lahan dia ingat sesuatu. Terasa masih segar di benaknya walau mabuk kepayang dan mabuk beneran.Muncul kesenangan dan harapan-harapan manis dan panas bersama si seksi, Karmen Fernandes. Damian tersenyum bergairah, kontrol di tubuhnya aus. Dia mencoba memberontak dari ikatan tangan dan kakinya. Meski ia tahu kemungkinan untuk terlepas dari borgol shibari tidak mungkin begitu saja. Damian berteriak. Gerakannya terlalu intensif dan kuat hingga menyakiti pergelangan tangan dan kakinya sendiri. “Karmen...” “Karmen...” Damian memanggilnya dengan ti
Clary yang perasa memang tidak salah. Firasatnya tidak kaleng-kaleng seperti kaleng rombeng. Kecurigaannya pada lembar cuti yang disahkan oleh Damian tidak serta merta menghapuskan segala monolog panjang dalam pergulatan pemikiran yang keluar masuk di hari-hari paska pernikahan Miranti selesai. Kembalinya tamu undangan ke Jakarta dan nyemplung di perusahaan yang sama membuatnya heran terheran-heran mengapa Pamela mengajukan cuti secepat itu. Wong, jika di telaah lebih baik, Pamela itu sudah mendatangi formulir lembur selama dua Minggu untuk menambah ragat menikah bersamanya.Dan kini keingintahuannya akan menemukan jawabannya saat Damian meminta secangkir kopi untuk lembur dari pantry sore itu. Clary mencegat mbak-mbak office girls di samping ruang kerja Damian dengan cara ganjil. Ia mengedipkan sebelah matanya.“Aku saja, Mbak. Mbak bisa istirahat!” Jelas saja mbak-mbak office girls senang bukan main, secuil tugas mengantar kopi pada orang menyebalkan seperti Damian tersingkirkan.
Jakarta yang sejuk. Mungkin habis hujan menerjang bumi dengan kapasitas tinggi seakan-akan mewakili tangis kegelisahan tiga manusia yang terjebak dalam kemacetan panjang arus lalu lintas yang diubah untuk menghindari beberapa wilayah yang terdampak langganan banjir dari arah Jakarta selatan ke Jakarta barat.Antoni memukul setir meski wajahnya tenang. Dan Clary blingsatan. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, duduknya terlihat gelisah, wajahnya was-was, dan jika tidak ada sabuk pengaman dan mobil terkunci yang membelenggunya mungkin gadis itu memilih keluar dan berlari...Memburu Damian agaknya seperti berlomba-lomba mencari waktu yang tepat untuk menyergap mangsa. Ketepatan waktu harus diperhatikan baik-baik. Meleng sedikit, mangsa minggat. Kesibukan pria itu melebihipegawai kantoran pada umumnya karena baginya kerja adalah kompetisi yang ketat demi kedudukan yang mentereng di perusahaan. “Om coba deh telepon Damian. Iseng-iseng tanya gitu dia di mana sekarang.” Anang Brotoseno m
Dalam keadaan benar-benar terdesak, Damian mengangkat tangannya ke udara sambil menggelengkan kepala. “Sumpah, Om. Pamela bersamaku. Tapi-tapi...” Damian tampak kesulitan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya selagi moncong pistol itu tetap mengarah ke jantungnya.Anang Brotoseno tersenyum kecil. Lihatlah betapa kerdil blegug sia macam Damian Airlangga sekarang. Menggigil ketakutan dengan tampang yang dia buat sedemikian tidak terpengaruh pada tekanannya. “Tapi apa?” Anang Brotoseno menarik sudut bibirnya. Astaga, pria itu terlihat menyeramkan dalam senyuman seperti itu. Pantas saja cita-citanya jadi jendral, tampangnya mendukung dalam mengintimidasi lawan meski dalam kewibawaan yang terlatih.“Tapi—”Jakun Damian terlihat naik-turun, meneguk ludahnya di tengah tenggorokannya yang kering. Yakin, Anang Brotoseno tidak membawa pistol mainan. Pistol itu bisa mengubahnya menjadi jasad seketika jika ia tidak berbalik dan menurunkan tangannya ke arah belakang tubuh sesuai perintahnya.Anang
Melalui kumpulan data-data yang sudah tersimpan di tabletnya, Anang Brotoseno menginjak tanah kelahiran Pamela Kandhita Kilmer keesokan harinya.Terang saja, rangkaian kenangan yang terjadi dua puluh lima tahun silam merongrong di ingatannya. Ia rasa, desir pantai, aroma asin lautan dan pedesaan di Bali tak akan pernah terlupakan. Anang Brotoseno jatuh cinta pada Joice Elizabeth Kilmer yang kala itu sedang melakukan tamasya untuk sejenak melupakan dinginnya benua Eropa di musim dingin. Dan sejak saat itu, Anang Brotoseno merasa harus dekat dengannya dan harus mempersuntingnya. Yah... sebagai laki-laki pemberani yang unggul saat itu sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas Bali sebelum berlabuh di sekolah militer, kulit gosong dan otot-ototnya yang kencang menyita perhatian Joice, si kulit putih dan hobi berbikini cerah. Ibarat mereka suka lalu mereka jadian saja. Anang senang. Sekonyong-konyong Joice yang telah menjadi magnetnya membuatnya gencar melakukan apa yang suda
Pamela menghampiri camero bumblebee sebelum mobil itu benar-benar berhenti menderu di pelataran villa. Ia menyunggingkan senyum, matanya yang slalu di puji-puji Anang Brotoseno sebagai mata yang mirip Joice itu berbinar-binar. Pamela melambaikan tangannya lalu berdiri tak jauh di samping pintu kemudi. Ace menghela napas sambil menarik rem tangan. Dia menurunkan kaca mobil, tersenyum melihat betapa genit putri duyungnya sekarang.“Mendekatlah!” katanya dengan lamban.Pamela menggelengkan kepalanya dengan sengaja. Mencoba membangkang dan membangkitkan kemarahannya untuk menguji coba apakah tanda tangannya di kontrak baru membuahkan hasil yang lebih baik? “Ace, mana makanannya? Aku laper.”Pamela menguncupkan bibirnya sambil mengusap perutnya dengan mimik wajah yang sengaja tersiksa.Oke, pantai Lovina dan kecupan tidak sengaja di atas perahu jukung membuat kedekatan mereka semakin luwes. Bukan karena Ace tergoda, atau Pamela ingin merasakan pipinya yang ditumbuhi rambut brewok yang b
Pamela menyajikan ayam kecap saus tiram dan nasi uduk ke meja makan sebelum menuangkan tumis kangkung dari wajan ke dalam mangkuk. Ia menyunggingkan senyum sambil menaruhnya di meja.“Mau tambah yang lain? Jus? Salad buah? Puding coklat?”Ace terpaksa mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja supaya tidak menyebutkan salad buah dan tidak mencakup wajah Pamela dan membalasnya ciumannya tadi.Astaga, demi lebah dan madunya, ciuman tadi membekukan dan membuatnya linglung. Terasa mengejutkan tapi manis. Lalu apakah Pamela dapat merasakan hal serupa jika ia membalasnya? Ace berdehem. “Kenapa tidak? Itu bisa menjadi hidangan penutup!” ”Puding coklat?” “Jus buah segar!” saran Ace dengan cepat. “Okay.” Pamela sempat melirik tatapannya yang kecut sebelum membuka kulkas. Tiga mangga golek yang dibeli Ace akan lenyap dalam waktu dekat tapi sebelum itu terjadi ia menyuruh Ace mengupas kulitnya. “Ayolah, Ace. Tidak bisa satu tangan mengupas mangga sendirian!” bujuk Pamela dengan nada jena