Hembusan angin pantai membelai lembut wajah Reza yang masih duduk santai di kursi malas di teras pondoknya. Secangkir kopi hitam tinggal tersisa ampasnya saja. Lelaki yang tengah berbahagia setelah mendapatkan istri pilihannya itu, nampak sibuk berselancar di internet mencari info lowongan pekerjaan.Seorang pelayan resort berjalan mendekat ke arah pondok Reza dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan minuman."Selamat pagi, Pak. Ini saya mengantarkan sarapan pagi," sapa pelayan wanita yang mengenakan setelan celana panjang hitam dan atasan bermotif batik itu."Pagi, oh terima kasih, ditaruh di meja sini aja, Mbak," jawab Reza sembari menunjuk meja yang ada di sampingnya.Mbak pelayan itu meletakkan dua piring nasi goreng spesial dengan telur ceplok di atasnya, kemudian satu piring yang berisi empat potong sandwich dan dua gelas lemon tea hangat."Kok dianter ke sini, Mbak, sarapannya? Biasanya kita yang datangin ke ruang makan resort untuk breakfast," tanya Reza penasaran.
Reza dan Nelly betul-betul menikmati manisnya bercinta dari pagi hingga menjelang siang. Mereka terus bergumul di dalam pondok. Dunia serasa hanya dihuni oleh mereka berdua, hingga melupakan bahwa di resort itu masih ada mamanya Nelly dan juga saudara-saudara lainnya. Beruntung mamanya Nelly dan yang lainnya paham akan hal itu dan tidak mengganggu aktifitas pengantin baru itu di dalam pondoknya. Siangnya, selepas Dhuhur, mamanya Nelly dan keluarga besarnya sudah bersiap untuk ke bandara. Mereka mengejar penerbangan sore untuk kembali pulang ke Jakarta.Nelly dan Reza hanya melepas mereka di gerbang resort. Mereka masih ingin menikmati bulan madu di resort itu. Reza dan Nelly sudah mengambil cuti nikah selama tiga hari dan mereka berniat akan menghabiskan cutinya di pantai itu."Reza, Nellly! mama tunggu kedatangan kalian di Jakarta tiga bulan lagi ya! Resepsi mewah kalian nanti akan mama persiapkan sebaik mungkin," ucap Bu Ira setelah memeluk dan mencium putrinya sesaat sebelum mema
(PoV Riris)Sepulang dari acara pesta pernikahan Mas Reza, mantan suami sehariku itu, hatiku malah berbunga-bunga. Aku sudah tidak perduli lagi dengan Mas Reza dan kehidupannya.Aku melihat dia bisa berbahagia mendapatkan istri pilihannya, istri impiannya itu saja aku sudah ikut merasa senang. Tidak ada luka dan air mata. Semoga saja mereka selalu berbahagia, dapat mengarungi rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.Apakah aku sudah bisa memaafkannya? Entahlah. Namun jika aku mengingat kepergian bapak, lelaki cinta pertamaku yang telah meninggalkanku sesaat setelah Mas Reza dan bundanya menengok bapak di rumah sakit, hatiku langsung terasa sesak. Aku masih terluka oleh kepergian bapak yang tak akan mungkin bisa kembali lagi ke dunia ini.Kepergian pahlawan hidupku yang selalu menyisakan rindu yang semakin dalam, rindu yang teramat panjang, sepanjang hayatku. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah, agar kelak bisa dipertemukan lagi dengan bapak di Syurga-Nya. Penantian yang teramat pa
Aku masih duduk di sisi kasur Mas Dimas. Sibuk mengompres dahinya dengan perasaan yang campur aduk. Jika saputanganku sudah kembali dingin, maka segera kuangkat dari dahinya, lalu kurendam lagi dalam air hangat. Setelah kuperas lagi sedikit, saputangan itu kembali aku tempelkan ke dahinya. Begitu seterusnya kulakukan berulang kali hingga Mas Dimas akhirnya nampak lebih baik. Sudah tidak meracau lagi. Dan dapat tidur dengan tenang.Setengah jam kemudian Mas Gilang datang kembali membawa obat penurun panas."Mas, saya mau pulang dulu ke kontrakan, mau buatkan bubur untuk Mas Dimas. Saya nitip tolong jagain Mas Dimas ya," pintaku kepada Mas Gilang."Iya, Ris. Biar aku tungguin masmu ini. Nanti jangan lupa bawain buburnya dua porsi ya, sekalian buat aku juga, hehehe," jawab Gilang sembari terkekeh."Oke, Mas Gilang," jawabku sambil menyunggingkan senyum.Bergegas aku meninggalkan kamar Mas Dimas menuju rumah kontrakan dengan langkah tergopoh-gopoh."Assalaamu'alaikum, Bu .... " Kubuka pin
Riris masih terhenyak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba meluncur begitu saja dari ibunya Bagas. Dia bingung harus menjawab apa. Sedangkan Bu Bimo masih memandang lekat gadis itu seolah sedang menanti sesuatu yang amat diharapkannya.Momen seperti itu membuat gadis kelahiran Solo itu tersipu malu. Bu Bimo memegang punggung tangan Riris yang diletakkan di atas meja, di usap-usapnya pelan, masih terus menunggu jawaban dari Riris."Mmm, saya ... tidak berani menjawab pertanyaan Ibu, saya takut, Bu," jawab Riris dengan suara pelan."Loh, memangnya kenapa? Kok takut? Sama ibu jangan merasa takut dan sungkan ya, anggap ibu ini juga seperti ibumu sendiri," pinta Bu Bimo."Saya ... saya takut memiliki rasa itu sebelum adanya sebuah ikatan yang telah menghalalkannya, Bu. Saya tidak berani memaknai apa yang saya rasakan, Bu. Mohon maaf." jawab gadis berjilbab biru itu sembari menunduk, kedua pipinya merona karena malu.Bu Bimo tersenyum melihat jawaban dan ekspresi wajah Riris. Wanita paruh ba
"Kau memang pantas dikatain seperti itu! Karena Kau pembohong .... ! Penipuu!!" pekik Nelly kembali, kini tangisnya telah pecah, tergugu dalam pelukan Reza, dengan sejuta kekesalan di dalam dada."Lepasin ... !! Lepasin enggak .... !!" Kembali Nelly berteriak dan berusaha memberontak dari pelukan Reza.Akhirnya Reza melepaskan pelukannya secara perlahan. Nelly langsung jatuh terduduk di atas lantai. Dia masih menangis tergugu hingga kedua bahunya bergetar."Kenapa Kamu tega bohongin aku, Mas?! Huu-huhuhuuu .... !" teriak Nelly masih sambil menangis tersedu."Maafin mas, Nel. Mas enggak berani jujur karena takut nanti Kamu menolak cinta, Mas." sahut Reza."Percuma Kamu berusaha mengajarkan aku tentang agama dan kebaikan, sedangkan dirimu sendiri pandai berdusta di hadapanku!" sanggah Nelly dengan suara keras."Mas lakukan ini karena Mas takut kehilanganmu, Mas sangat mencintaimu Nel," kilah Reza. Dia berusaha meyakinkan istrinya."Sejak kapan Kamu menjadi satpam, Mas? Apa sejak awal ki
"Bunda kenapa, Yah?" tanya Reza dengan raut wajah panik ketika telah berada di dekat ayahnya dan melihat bundanya tergolek lemah di atas sofa."Bundamu tadi lagi menerima telepon, sepertinya dari mamanya Nelly, entah kenapa tiba-tiba bundamu langsung lemas dan tak sadarkan diri seperti ini," jawab ayahnya Reza dengan cepat karena tak kalah panik."Ayo kita bawa bunda ke rumah sakit terdekat, Yah!" usul Reza. Bergegas ayah dan anak itu membopong Bu Santi menuju ke mobil.Bu Santi dibaringkan di jok kursi bagian tengah, dengan posisi kepala berada di atas pangkuan suaminya. Reza segera melajukan mobilnya dengan cepat ke rumah sakit yang lokasinya paling dekat dengan rumahnya.Tidak sampai lima belas menit mereka telah tiba di rumah sakit. Beberapa petugas jaga IGD segera mendorong brankar menuju mobil Reza yang berhenti tepat di depan pintu IGD, setelah Reza terlebih dahulu memberitahukan kepada mereka bahwa ada pasien yang butuh bantuan untuk dipindahkan ke IGD dari dalam mobil.Dengan
Sudah empat hari Bu Santi dirawat di rumah sakit. Reza yang tidak mungkin ijin tidak masuk kerja terus-menerus demi menjaga ibunya, akhirnya meminta Pak Adi untuk di pindah ke shift malam saja, selama bundanya dirawat.Jadi dari pagi sampai sore Reza menjaga bundanya di rumah sakit, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat sebentar dan bersih-bersih rumah, baru malamnya dia kerja untuk jaga malam di North Apartemen.Malam ini, saat Reza bekerja, dia berusaha mencari Nelly ke unit apartemennya. Dia sudah mengetuk pintu cukup lama, tapi tidak ada jawaban dari dalam. Seperti tidak ada orang di dalam unit itu. Akhirnya Reza kembali bekerja jaga malam mengontrol keamanan tiap lantai di gedung apartemen itu.Setelah berkeliling, Reza kembali ke pos jaga yang ada di halaman depan apartemen. Reza duduk dalam pos jaga setelah lelah berjalan dari satu lantai ke lantai lainnya. Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Jam setengah sembilan, belum terlalu malam untuk mene