Ada beberapa perubahan pada rumah yang dulu ditinggali Chiara semenjak lahir hingga sebelum menikah dengan Yanuar. Bagian teras lebih diperbesar, juga atapnya yang ditambah naungan agar lantai tak begitu basah saat hujan. Melihat itu, Chiara langsung menoleh ke sisi kursi pengemudi. Tepatnya pada Yanuar yang kemungkinan besar adalah otak dari perubahan rumah itu. Sebelum melepas sabuk pengaman, Chiara menahan lengan Yanuar supaya tak turun dari mobil lebih dulu sekalipun Bapak sudah menunjukkan dirinya dari pintu. “Kenapa?” Yanuar bertanya dengan kepala dimiringkan. “Perlu sesuatu? Atau ada yang ketinggalan?” Chiara menggeleng sungkan. “Makasih banyak,” katanya. “Dan maaf.” Iris Yanuar melebar spontan, kedua alisnya pun ikut terangkat. Lalu sorotnya berubah bingung mendengar dua kata yang bertolak belakang terlontar dari bibir istrinya. “Kita turun, yuk?” ajak Chiara kemudian yang tak memberi kesempatan Yanuar untuk berkomentar. “Bapak dan Ibu udah di teras.” “Oke.” Yanuar mengia
Menginap di rumah mertua adalah pengalaman pertama bagi Yanuar. Ia langsung mengiyakan tawaran mertua sekaligus kemauan istri yang sudah lama tak menginap semenjak menikah. Melihat mata Chiara yang langsung berbinar-binar, membuat Yanuar enggan menolak. Meskipun, setelah dipikir-pikir, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan. Seperti pakaian ganti yang mengharuskan Yanuar pergi ke supermarket terdekat. Yanuar baru kembali saat langit menggelap dan makan malam akan dimulai.“Kok masih di kamar?” tanya Yanuar begitu masuk ke kamar Chiara dan menemukan istrinya tengah mengikat rambut panjang. “Ibu udah siapin makanan di luar, Babe.”Chiara sontak bangkit dan menyambut kedatangannya. “Aku nunggu kamu,” katanya sambil memeluk lengan Yanuar. “Makan dulu aja, mandinya setelah ini.”“Hmm, okay.” Yanuar meletakkan kantung plastik belanjaannya hasil berburu bersama Ardan tadi. Kemudian melangkah bersama Chiara menuju ruang makan yang menyatu dengan ruang tengah dan dapur. Semua sudah berkumpul
Tanda kemerahan di beberapa tubuh Chiara adalah mahakarya. Bagi Yanuar yang berulah, ia mengulum senyum saat melihatnya. Gerak-gerik Chiara selalu ia perhatikan. Bahkan saat si istri melepaskan napas terengahnya sebelum bergerak turun dari ranjang.“Mau ke mana?” Yanuar sigap mengikuti Chiara yang sibuk mengenakan pakaiannya kembali. Namun sesekali si istri menghentikan gerak dan memegangi pinggang sambil mengerutkan hidung.“Bebersih sekarang?” tanya Yanuar lagi.Baru kali itu Chiara menoleh dan mengangguk. “Mau bilas di kamar mandi biar nggak lengket.”Selalu seperti itu kebiasaan Chiara. Selepas mereka melakukan aktivitas bersama, si istri tak pernah absen ke kamar mandi untuk membilas bagian tubuhnya.Yanuar mengangguk dan cepat mengulurkan tangan, bersedia merangkul tubuh Chiara. “Aku bantu,” tawarnya yang dibalas persetujuan sang istri. “Pelan-pelan aja jalannya nggak pa-pa.”Walaupun ada sensasi senang dan puas mendapati istri yang berinisiatif meminta lebih dulu, Yanuar meras
“Sejak kapan kamu magang di perusahaan ini?” Pertanyaan itu terlontar begitu Chiara memasuki ruangan. Bahkan sebelum ia memberikan salam ramah pada pria itu. Jantungnya terus berdetak lebih cepat hingga membuatnya menjeda jawaban sedikit lama. “Baru seminggu lalu, Pak,” aku Chiara jujur. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap atasannya yang dari auranya saja sudah mengerikan. Semenjak menjadi pemagang di PT Melintang Raya, Chiara belum pernah sekalipun berhadapan dengan CEO-nya langsung. Hari ini ia berkesempatan bertemu karena mendadak dipanggil sosok pria 30 tahunan itu. Namun, bukan untuk memperkenalkan diri sebagai anak magang baru, melainkan disidang atas kesalahannya sendiri. “Setelah ini, kamu balik ke meja dan ketik surat pengunduran diri,” titah Yanuar dengan dagu sedikit terangkat. “10 menit cukup, ‘kan?” Dua iris Chiara melebar. “Lho, Pak, jobdesk saya bukan mengetik surat pengunduran—“ “Coba kamu lihat laporan data keuangan yang kamu buat di sini!” Yanuar melempar be
“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!” Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya. “Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.” Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis. “Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau
Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat. “Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?” Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk. Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding s
“Ra, sini ikut makan bareng.” Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian. Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan. Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“ “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring. “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara
Nyeri di perutnya tak bisa ditahan. Belum lagi rasa tak enak yang dirasakannya di satu bagian tubuh. Ditambah situasi yang menasi yang menyudutkannya sekarang, ia tak bisa menahannya lagi hingga meluapkan segala sesuatunya melalui air mata.Tidak hanya sakit, tapi Chiara juga menanggung malu. Ia baru saja dibantu berdiri oleh si bos galak. Tak berhenti di sana, tubuhnya pun diangkat dan dibawa ke sebuah ruang di mana Sukma menunjuknya sebagai kamar yang akan ditempatinya selama bekerja nanti. “Kamu perlu sesuatu?” tanya Yanuar setelah merebahkan Chiara di ranjang. “Masih bisa berdiri buat ganti pembalut sendiri, ‘kan?”Dua netra Chiara mengerjap cepat. Kepalanya mencerna ucapan si pria. Lalu ia mengangguk ringan sambil meremas seprei kasurnya.“Emang sejak kapan ada cewek yang minta tolong digantiin pembalut sama orang lain?” protes Chiara blak-blakkan.Yanuar nyaris tersedak mendengarnya. Lantas menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangan. Ia mengatupkan mulut untuk berusaha lebih