Share

DYHTAL-6

PoV 3

Indri terbangun dari tidurnya. Ternyata sehabis shalat istikharah tadi ia ketiduran di atas sajadah. Saat ia membuka mata, ia teringat akan mimpinya barusan yang seakan nyata. 'Apakah itu jawaban dari Allah bahwa semua akan baik-baik saja?' batinnya.

Jujur di hatinya, dia masih merasa dilema dan bimbang. Banyak sekali pertimbangan yang dia pikirkan. Bahkan setelah beberapa hari ini dia rutin istikharah, ada banyak hal yang membuat dia justru semakin galau.

Indri dan Izz selalu berkomunikasi tentang apa saja yang akan terjadi jika pernikahan mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena keduanya pun merasa bahwa jalan mereka tak mudah dan takkan ada yang tahu bagaimana rumitnya perasaan mereka saat ini.

Satu sisi, Indri memang masih memiliki perasaan pada Izz, hanya saja di sisi lain, dia juga bimbang jika harus menyakiti hati istri pertama Izz. Tak ada wanita yang akan dengan sukarela berbagi suaminya dengan orang lain, pikir Indri. Kalau pun ada, maka orang itu pasti telah melalui banyak sekali pertimbangan yang sangat matang. Apalagi ... yang datang untuk menjadi madu adalah orang yang dulu pernah singgah di hati suaminya.

Indri jadi teringat saat dulu dia dan Izz masih pacaran. Izz pernah membawa seorang gadis manis saat menemui Indri. Namanya Annisa. Izz memperkenal Annisa sebagai orang yang sudah Izz anggap adik, pada Indri. Dan anehnya sekarang, kenyataan yang ada justru terasa bagai sebuah plot twist bagi Indri, orang yang Izz anggap adiknya itu malah Izz nikahi. Batin Indri kadang menolak menerima itu semua. Apalagi dulu Izz sering memuji wanita itu terang-terangan di hadapan Indri dan membanding-bandingkannya dengan sifat Indri hingga Indri merasa bahwa Annisa adalah orang ketiga dalam hubungannya dengan Izz. Apakah tidak akan terlihat lucu, jika sekarang justru Indri yang hadir sebagai orang ke tiga di dalam hubungan rumah tangga Izz dan Annisa. Takdir memang tak pernah bisa ditebak kan?

Indri dan Izz dulu menjalin hubungan saat Indri kelas satu SMA dan Izz kelas tiga SMA. Mereka berpacaran selama tiga tahun lamanya. Dan selama itu pula mereka sering putus nyambung. Indri adalah cinta pertama bagi Izz dan Izz pula cinta pertama bagi Indri, jadi mereka agak sulit untuk saling melupakan. Apalagi Indri tak pernah memiliki mantan pacar yang lain selain Izandra, jadi saat sekarang mereka di pertemukan lagi, Indri yang notabene single parent, merasa kalau hanya Izandra lah satu-satunya lelaki yang terbaik yang pernah dia kenal. Dan Izandra, merasa masih memiliki perasaan yang belum usai pada Indri seperti mendapat amanah untuk menjaga Indri dan menebus segala kesalahannya dulu yang terlambat mempersunting Indri. Agak tidak masuk akal memang, tapi cinta memang selalu membuat orang-orang yang mengalaminya menjadi tak punya akal. Bukankah begitu?

***

Di tempat lain, Izandra sedang duduk termenung di ruang baca di dalam rumahnya. Ruangan itu berisi banyak buku-buku sejarah islam, buku Hadist, dan Kitab. Kebanyakan diantaranya adalah buku turunan dari sang Ayah.

Tiba-tiba pintu terbuka perlahan dan terdengar langkah kaki mendekat. Izandra tetap tak bergeming. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang menjadi bebannya kali ini. Tentang meminta restu, tentang Indri dan tentang kelangsungan pesantren Ayahnya yang sekarang sedang menjadi perebutan kekuasaan saudara-saudara sepupunya.

Usapan dua tangan lembut menyadarkan Izz dari lamunannya. Izz mendongak dan menyunggingkan seulas senyum tipis pada perempuan yang kini berada di belakangnya. Ia adalah Annisa.

Annisa memijat perlahan pundak suaminya, terlihat Izz memejamkan matanya perlahan, lalu beberapa detik berlalu, Annisa malah memeluk suaminya itu dari belakang dan menempelkan pipinya dengan pipi sang suami.

"Kamu kenapa, Bii?" tanya Annisa lembut. "Lagi banyak pikiran, ya?" lanjutnya.

Izz membuka matanya dan menarik satu pergelangan tangan istrinya, kemudian membawa istrinya itu duduk di pangkuannya. Dengan senang hati Annisa menuruti apa yang suaminya inginkan. Ia pun duduk di pangkuan sang suami, lalu kembali menyandarkan kepalanya di pundak Izz, pundak yang selalu menjadi tempat ternyamannya selama enam tahun usia pernikahannya dengan pria tersebut.

Izz melingkarkan satu tangannya di tubuh sang istri, lalu tangan yang lain mengusap-usap punggung istrinya. Perlahan, ia mengambil nafas yang dalam dan menghembuskannya. "Ada yang ingin Abi bicarakan dengan serius pada Ummi ... tapi, sebelumnya Abi minta Ummi jangan langsung marah pada Abi." Izz menjeda ucapannya sebentar, lalu melanjutkannya. "Soal ... poligami—" Annisa langsung menegakkan tubuhnya yang sedari tadi menyender nyaman di tubuh sang suami. Matanya langsung menatap tajam penuh tanda tanya pada Izz. "Denger ... Dengerin dulu ... Abi belum selesai bicara pada Ummi. Abi nanya sekarang sama Ummi, Abi ini milik siapa?" tanya Izandra lembut pada sang istri.

Annisa mulai paham kemana arah pembicaraan suaminya. Dengan sabar dia menjawab, "milik Allah, Bii ...."

Izz kembali bertanya, "hati dan takdir kita milik siapa, Mii?" kembali Annisa menjawab dengan kata-kata yang sama.

"Jadi ... Jika suatu hari, Abi meminta ijin pada Ummi untuk berpoligami, apakah Ummi akan mengijinkan? Ummi bilang, Abi adalah milik Allah, kan. Jadi jika Abi berniat untuk menghalalkan satu bidadari surga lagi di sisi Abi dan keluarga kita, Ummi bisa ikhlas karena Allah atau gak?" tanya Izz penuh dengan ke hati-hatian sambil menatap Annisa dengan tatapan yang lembut dan berusaha setenang mungkin.

Perlahan Annisa turun dari pangkuan Izz kemudian berdiri. Sorot matanya tak terbaca oleh Izz. Tapi tak ada senyum di wajahnya. Perlahan Annisa mundur, mundur, dan terus mundur menjauh dari Izz. Kemudian dia berbalik memunggungi Izz. Mata Annisa tanpa Izz sadari sudah berkaca-kaca, dan pertahanan dirinya hampir saja roboh. Tapi Annisa mencoba beristighfar dan berulang kali mengambil nafas yang semakin dicoba justru semakin terasa berat, seakan ada batu besar yang menghimpit dadanya. Annisa berusaha mengeluarkan kata-katanya meski berat. "Ma-maafkan U-Ummi, Bii ... to-tolong ... b-berikan Ummi waktu ... u-untuk istikharah da-dan memantapkan hati Ummi, Bii ...." Annisa langsung pergi meninggalkan Izz sendirian di ruangan itu tanpa menunggu jawaban dari Izz.

Ini semua sudah Izz duga sedari awal. Memang takkan mudah bagi Annisa untuk menerima adanya perempuan lain yang mendampingi Izz selain dirinya. Biar bagaimanapun, Annisa bukanlah Ibunda Siti Aisyah, istri Rasulullah.. Dia lebih memilih menjadi Ibunda Siti Fatimah yang tak pernat di duakan oleh Sayyidina Ali.

Biar bagaimanapun, Annisa tetaplah perempuan akhir zaman yang tak memiliki kesabaran sekuat para istri-istri Rasulullah SAW. Dia memiliki hati yang lemah jika itu menyangkut dengan perasaan. Meskipun apa yang dikatakan oleh Izz benar adanya, bahwa Izz adalah milik Allah dan dia tak bisa memaksakan takdir dan hati Izz untuk tetap utuh hanya untuknya. Tapi, tetap saja, butuh waktu yang tak sebentar untuk meminta petunjuk pada Allah, apakah permintaan Izz ini akan berdampak baik, atau buruk bagi kehidupan dunia akhirat mereka, dan apakah Izz bisa berlaku adil pada Annisa dan istri keduanya kelak?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status