"Pengusaha milenial?"Beberapa orang di dekatku berdiri menertawakan kalimat tanya yang lebih terdengar seperti meremehkan. Penampilan mereka terlihat glamor dengan pakaian-pakaian yang jelas sekali di luar jangkauan.Eh, yang kukenakan juga sangat jauh di luar jangkauan kalau enggak ketemu Caca.Aya sesekali melirik jemariku yang memegangi tangannya atau clutch biru di genggaman lainnya. Terlihat memaksa senyum setiap bertemu tatap.Akhirnya dia setuju membantuku berpura-pura. "Untuk terakhir kali," katanya. Mungkin bakal ada pertimbangan lain setelah acara, tapi Aya sudah jauh lebih baik saat berjalan di sisiku.Kutelisik ruang terbuka yang disediakan pihak hotel untuk acara sia-sia di sepanjang pinggiran kolam renang. Pesta yang Caca bilang sebagai salah satu ajang investasi bisnis terselubung, ternyata enggak lebih dari pamer kekayaan."Kita buat ikan-ikan kecil itu mainin pasar, tangkapan besarnya tetap milik pemain lama.""Up aja biayanya. Nelayan enggak nyari pengganjal perut do
Kuhadapi mesin kopi yang masih menggiling otomatis sebelum mengucurkan air hitamnya pada kedua cangkir yang tersedia. "Espresso? Latte? Abra enggak punya cokelat panas di sini kalau mau dibuatin Mocha," tanyaku sekadar basa-basi.Pria tua yang menunggu di meja makan tampak memegangi kedua sisi kepalanya. Tanpa jawaban, dua cangkir kopi hitam tanpa susu berpindah ke hadapannya."Tanpa gula. Kalau mau manis, ada di stoples." Kugeser tempat bungkusan gula yang disediakan pihak hotel. Brown sugar jadi pilihanku jika memang tersedia di kafe atau resto. Manisnya beda."Abra—""Kenapa harus datang ke sini?" Panggilannya kusela dengan pertanyaan. Terdengar enggak sopan, tapi, aku memang enggak lagi ngeharapin dia melihatku kalau hanya jadi penambal masalah.Jari-jarinya yang kuingat di masa lalu besar dan kekar, ternyata telah berganti keriput. Rambut putih dan kantung mata Ayah terlalu kentara.Aku belum menyadari sosoknya yang menua di setiap pertemuan. Mungkin, karena aku terlalu banyak men
"Enggak jadi ngambil libur lama, Mas?" Lelaki yang kukenal sebagai rekan selama bekerja di rumah sakit memasuki ruangan. Dia mengambil bangku di meja lain yang ditandai papan namanya. Agus Mulyono."Sayang sama kerjaan di sini." Aku berbalik, memutar bangku menghadap keberadaannya sambil menggeser-geser layar ponsel yang gelap. Enggak dinyalakan."Kerjaan kok disayangin? Cewek yang sering ke datengin ke mana, Mas? Putus lagi?"Praduga yang bisa dipertimbangkan. Mas Anan juga nanya hal yang sama sebelumnya dan terang-terangan nanyain nomor kontak Aya. Kan rese."Gimana, ya?" Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya enggak gatal sama sekali. "Belum, sih. Cuma belum ada dihubungin lagi.""Berantem?""Iya, sih.""Didatengin atuh, Mas."Aku bersandar pada bangku kebesaran yang tebalnya sudah enggak sesuai dengan postur punggung. Penyangganya berderit setiap digunakan berputar. “Mas Agus tahu gimana biar dimaafin doi?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara yang mulai senyap.Kayaknya Mas Agus sibu
Menunggu di depan rumah Aya itu berisiko jadi tontonan para tetangga. Meski dikasih tahu berkali-kali kalau tidak ada orang di rumah, nyatanya aku masih betah duduk di dipan samping pintu masuk utama kontrakan Aya sambil menanggapi tawaran Mas Agus buat jadi rekannya dalam permainan daring.“Masih belum ketemu?” Padahal Mas Agus sudah tanya berkali-kali di sela pertarungan.Mungkin, hanya di permainan ini aja bisa ketemu Mas Agus. Bawa senjata laras panjang dan jadi sniper itu menyenangkan. Bidikan jarak jauh dari balik barak yang melindungi keseluruhan tubuh.Ah, pegel juga menggantungkan kaki. Aku bersila, menaikkan kaki ke dipan setelah melepas sepatu sambil menjawab, “Telepon juga enggak diangkat, Mas.”“Betah nunggu?” tanya rekan lain yang juga berada dalam satu tim.Ternyata mereka malah betah mengorek informasi pribadiku daripada membicarakan strategi yang sebenarnya lebih pada permainan acak. Naluri bertahan hidup dalam game lebih ngefek kalau dalam permainan bebas.“Ya, tunggu
“Jadi telat, kan!” Aya memeriksa layar ponselnya setelah aku baru keluar dari kamar mandi. Dia tampak sudah berganti pakaian meski rambut basahnya masih beralaskan handuk di pundak. "Mama kamu kirimin foto jadwal. Eh, kamunya datang malah bikin mandi."“Ya, gimana?" Aku segera mengenakan pakaian dan memindahkan handuk ke kepala, mengusap rambut yang baru beberapa hari lalu dipotong jauh lebih pendek. "Berapa hari coba enggak ketemu? Kamu mau mengabaikanku?”Handuk yang sama, kugunakan pada rambut panjang Aya, menepukkannya berkali-kali sementara empunya rambut terus berpindah hanya untuk menyiapkan kopi dan mi rebus di meja makan."Makan dulu, Bra!" ajak Aya setelah mengambil alih handuk dari tanganku untuk digelung tinggi di puncak kepalanya. Dia mengangsurkan mangkuk kosong ke hadapanku begitu aku duduk di salah satu kursi."Rasa apa kali ini?" Kutunjukkan rasa antusias dengan mengambil sendiri garpu dari keranjang kecil dekat panci mi yang sepertinya menampung lebih dari dua bungkus
“Memang tadi yang dibahas apa aja?” Mama masih terus bertanya meski tangannya sibuk meracik banyak bumbu dalam pinggan di atas kompor.“Cuma perkenalan.” Kukeluarkan beberapa botol jus jeruk setelah memastikan tanggal kedaluarsa kemasan, sementara Aya sudah berkutat dengan sayuran yang harus dipotong di meja kabinet samping wastafel.“Iya?”“Mama dulu gimana?” Aku mendekat, lebih tepatnya mengamati dengan berdiri di antara mereka.Para wanita yang memasak itu terlihat seksi. Apron yang diberikan Mama dengan motif kartun anak perempuan dan buah stroberi ke Aya justru membuatnya tampak lebih menggemaskan.“Dulu? Tiga puluh tahun lalu masih pembekalan mengenai tanggung jawab istri dan suami.”Mama mengalihkan perhatianku dengan menceritakan persiapan pernikahannya dengan Ayah. Benar, tiga puluh tahun lalu. Berarti ada jeda kekosongan selama dua tahun. Artinya, aku bukan anak hasil pernikahan terpaksa.Kuputar segel botol jus di tangan, bersandar pada pinggiran kabinet sambil meneguk sari
"Aya suka yang mana?" tanya Mama sambil menyodorkan beberapa katalog yang ditinggalkan temannya saat berkunjung ke rumah tadi.Aku tahu? Tentu aja. Seharian aku di rumah buat istirahat biar nanti malam enggak mabuk sif. Terus ... Aya datang karena panggilan Mama. Kenapa enggak di rumah Aya aja, sih, diskusinya?"Sederhana aja, Ma." Semenjak disajikan teh, Aya hanya memegangi cangkirnya sambil memperhatikan setiap lembar katalog yang Mama buka.Banyak pilihan. Aku juga sempat lihat beberapa, tapi belum ada yang minta pendapatku selama duduk pada sofa terpisah dari mereka.Antusias? Enggak terlalu. Menurutku, pernikahan itu memang sakral dan sifatnya pribadi. Seperti kata Aya, sederhana."Pernikahan cuma sekali seumur hidup loh, Ya."Racunnya para orang tua, nih. Terus, karena pernikahan sekali seumur hidup, harus besar-besaran?"Memang Mama nikahnya pakai acara besar?" celetukku seraya mengambil salah satu katalog yang menampilkan contoh desain tempat acara sepaket dengan pakaian pengan
"Lo bisa cari rumah sakit yang lebih mahal dari ini." Aku berkali-kali menutup mulut setiap menghadapi sosok pemuda seumuran denganku di lorong depan IGD. Membelakanginya sesekali dan gagal menghantamkan amarah ke wajahnya.Bukan karena ada masalah di antara kami, tetapi jika melihatnya, aku terus dihadapkan kekecewaan terhadap diri sendiri mengingat pertaruhan kami. Bagaimana jika Aya tahu?Apalagi kejadian di Surabaya cukup menambah jarak panas di antara kami. Ancamannya, juga pembicaraan-pembicaraan Elzar yang menurutku enggak mungkin Aya lakukan pasca trauma."Ada aturannya kalau nyokap gue harus cari rumah sakit lain?" Elzar menjauh, tepatnya menghadapi pilar penyangga lorong terdekat. Sikunya menopang kepala di sana. Lirih terdengar, "Gue juga enggak nyangka nyokap bakal kolaps."Apa harus menyingkirkan ego dulu di saat begini? "Masalah di rumah?""Kapan sih hidup kita enggak bermasalah?" Elzar balik bertanya.Kapan enggak bermasalah? Enggak pernah kayaknya. Anak-anak dari pernik