Sekuat hati aku melepas kepergian suamiku pulang ke rumahnya dengan pengawalan ketat Naufal yang mengancamku untuk tidak mendekati ayahnya sampai ia benar-benar menerima kehadiranku sebagai ibu tiri. Kalau tidak semua rahasia kami akan sampai ke telinga ibunya dan seluruh orang. Aku dan pak Ardi tadi, di tengahi papa dan mama di hadapan Naufal, akhirnya sepakat untuk setuju dengan permintaannya.Aku menatap ibu dan tersenyum sedih "Satu-satu aku dan mas Ardi pasti bisa menyelesaikan ini semua, Bu." kataku menyemangati dirimu sendiri. Begitu keras kepalanya aku kali ini padahal jikalau berpisah aku yakin suamiku tidak membiarkan aku nelengsa atau kekurangan uang. "Naufal pasti akan menerima kamu, Anna. Hanya saja dia seperti Ardi, jangan mengingkari janjimu sendiri jika mau semuanya masih ingin terkendali." kata mama menyentuh bahuku sembari tersenyum, "tidak perlu khawatir kalau kamu memang benar-benar yakin dengan Ardi. Ayo kamasuk ke dalam. Pulang besok saja. Rumah ini terlalu sep
"Jadi ini maksud mas Ardi nyuruh aku pulang kesini, ma?" tukas Bian yang terus memandangku sebal setelah mama menceritakan kejadian semalam. "Sori, Ma. Bukannya Bian gak mau nolong mas Ardi. Cuma kan, anak itu emang jadi keponakan ku, tapi bukan berarti aku harus pura-pura jadi suaminya Anna. Urusannya pasti ribet banget dan asumsi publik pasti langsung pecah." Bian mengangkat kedua tangannya. "Pasti ada cara lain."Mama memasang wajah masam. "Mama paham ada cara lain, dan Anna sebenarnya lebih suka status pernikahannya di sembunyikan. Tapi, karirnya baru naik, Bian. Ada peluang yang besar." "Untuk apa peluang demi uang kalau mas Ardi bisa memberi lebih banyak, Ma!" sahut Bian cepat."Bukan seperti itu cara perempuan berpikir, Bi. Perempuan menggunakan peluang untuk menghasilkan uang dan pengakuan. Singkatnya harga diri. Sedangkan laki-laki menggunakan peluang untuk kesempatan seperti kakakmu itu. Biang kerok!" Mama mendesah. Aku mengulum senyum, memilih diam sembari mengamati kel
Di antara banyaknya pilihan, itulah yang pada akhirnya keluarga pak Ardi setujui, begitupun suamiku meski dengan ancaman. Aku akan sekuat tenaga menjaga privasi ini karena aku menyukainya. Sangat! Dan perasaan ini dengan bahagia aku jalani. Suamiku datang ke rumah kala malam hari sebulan setelah perjumpaan terakhir kami di rumah Mama Rita. Di kantor pun aku tidak bertemu dengannya karena aku memilih untuk setia pada pendirianku karena diapun juga tidak ada. Sendiri, aku mengaku menjadi istri kedua dari seseorang konglomerat yang tak mau di ketahui identitasnya. Banyak selentingan yang aku dengar dari para orang yang curiga dengan aku. Tak apa, terluka, dan aku menerimanya. Memang begitu apa adanya, dan tidak separah cacian pelakor yang begitu aku jauhi."Hai...," sapaku sembari tersenyum, semua terasa baik. Begitulah adanya disini. Karena aku benar-benar mendapat apa yang harus aku terima."Katakan kamu merindukan saya, Anna!" Pak Ardi menarik pinggangku mendekat ke tubuhnya. Peluk
Semuanya sudah ku coba menjadikan semua ini kenangan dan jeda ekstrem yang mengisi perjalanan hidupku. Walau kenyataan yang aku rasakan disembunyikan terus-menerus adalah jarak yang mulai terasa lebar antara aku dan suamiku. Dia pergi pagi-pagi sekali sewaktu subuh sebelum Naufal bangun dan menyaksikan dia tak ada di rumah.Aku mengembuskan napas. Kehamilanku yang sudah sangat besar akan terekspose oleh media ketika akhirnya waktu premiere film semakin dekat.Aku masuk ke ruang meeting kantor Jaff Film. Ku sapa satu persatu rekan kerja yang sudah duduk disana. Coki yang masih menjadi brainstroming dansudah lama tidak melihatku ber-wow-wow sambil menunjuk perutku."Siapa tersangkanya, Anne?" Aku menarik kursi dan mengelus perutku. "Kemana aja kamu, Cok?" "Anna jadi istri kedua woyy, udah gak usah di bahas. Dari kemarin dia sedih mulu, sementara banyak skedul yang udah di siapin produser, jadi mood ibu hamil harus kita jaga." sergah asisten manager yang benar-benar selama aku kembal
Aku menatap suamiku yang menyampirkan jas hitamnya di pergelangan tangan pergi. Sejenak dia menatapku tajam-tajam. Aku menjulurkan lidah panjang-panjang sebelum dia di bawa benda itu ke atas.Rasain, rasain. Aku akan cuek bebek dan membakarnya dengan cemburu. Lihat saja, kekasihku. Sejauh mana kamu bertahan dengan ini semua, sejauh mana aku bertahan dengan ini semua. Toh jika pada akhirnya semua hal-hal yang kita sepakati, janjikan, akan berakhir dengan pilihan baru, kesepakatan baru yang mungkin lebih baik dari sebelumnya.Coki mengernyit dengan kelakuanku, mungkin ia ini terlalu berlebihan karena berada di lingkungan kantor. Tapi bodohlah, hidup ini sudah pada kenyataannya. Sandiwara, perasaan ini, risiko dan berantakan."Berani-beraninya kamu melet-melet sama mereka, Anna! Arghh...," Coki sampai berlonjok sambil menunjukku penuh semangat. "Apa jangan-jangan???""TOA, jangan mulai lagi." Aku mencengkeram lengannya, menyuruh duduk. "Gue - gue masih inget kelakuan kalian dulu, oyyy.
"Rasanya gue kembali ke waktu dimana lu di gangguin sama pak Ardi, Ann. Gue gak nyangka kalau kelanjutan ceritamu sama dia menghasilkan buah hati."Coki mengulurkan segelas susu ibu karena aku yang minta."Makasih, Cok." Aku bangkit dari sofa, "kok enak sih." pujiku heran tidak biasanya rasa susunya memiliki citra rasa yang berbeda meski suamiku sendiri yang buat."Gue tambahin gula!" aku Coki lalu terkekeh sendiri dengan geli, "Habisnya gue cicipi gak manis-manis. Lagian berapa kali sih sehari kamu minum ginian? Boros tau kalau porsinya banyak-banyak." Aku mendelik, apa isinya jadi zonk setelah pergi ke dokter tadi? "Coki-coki, kalau cuma susu doang bisa beli satu kontainer Pak Ardi, gampanglah buat dia apa saja bisa dibeli bahkan penjepit dasinya seharga hp kita. Kenapa juga kamu mikirnya sampe kesitu, aneh kamu!" seruku tapi terhibur, "tapi enak." Aku meringis. "Baguslah kalau enak." Coki ke dapur, berhubungan sekarang aku sedang di apartemen dan jarang menempatinya. Coki mend
Ditemani Dito setiap waktu adalah hidupku dulu, dan menemaninya adalah kebutuhan. Cinta kami dulu secara sadar berdasarkan kebutuhan yang saling menguntungkan. Seks dan uang, dua hal yang sangat-sangat menyenangkan bukan? Tidak hanya untuk laki-laki saja yang sukses dan kuat. Dua hal itu juga banyak wanita yang menyukainya, jadi apa salah cinta tumbuh atas dua dasar alasan itu? Jelas salah. Uang dan seks hanyalah alasan yang lama kelamaan jika tidak dijaga akan surut dan apakah cinta akan tetap sama rasanya? Dito adalah kenangan. Selamanya akan seperti itu bahkan setelah aku menceritakan kisahku dengan gamblang. "Dito cintaku, kenanganku. Kejarlah apapun yang kamu inginkan selagi masih ada banyak waktu. Kita tahu, kisah kita adalah jeda yang akan cepat berlalu. Bayang-bayang kisah kita, akan slalu aku kenang dalam film, buku dan ingatan. Berbahagialah." Aku berdiri dengan sesak yang membelanggu dadaku. Dito..., Semoga kamu dengar podcast yang selesai aku dan Coki lakukan hari ini.
Aku beristirahat di ruang yang tersedia di kantor Jaff Film. Sejujurnya aku lelah sekali hari ini tapi melihat wajah suamiku sekarang adalah keinginan yang besar. Aku ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya. Dan bisakah ku coba terus terlihat biasa-biasa saja dengan semua ini.Aku membaringkan tubuh, sekedar meluruskan kaki, mengelus perutku dan membayangkan bagaimana rupanya nanti. Cantikah dia seperti aku, ehm, putihkah dia seperti aku, dan cerewetkah dia seperti aku? Atau sebaliknya mirip pak Ardi? "Mama jadi gak sabar buat ketemu kamu, dik. Rumah pasti rame banget, kamu jadi teman mama karena mama kesepian." Aku termenung, perjalanan yang harus aku lalui baru akan dimulai saat bayi ini lahir. Aku mengelus perutku dan mencari tempat parenting newborn demi menambah ilmu pengetahuan mengasuh bayi ini. "Kayaknya habis premiere film aku bisa ikut kelas."Aku mengangguk, tersenyum lalu menghubungi nomer yang tertera. Aku mengatakan semua kondisiku, aku oke dan siap untuk kelas. Me