Azham dan Melisa sudah sampai di bandara. Sebentar lagi pesawat mereka akan lepas landas. Saat Melisa dan Azham ingin menuju pesawat, tiba-tiba ponsel Azham berdering menghentikan langkah mereka. Nama Ryan yang tertera di ponselnya saat Azham meraih di dalam saku celananya. “Halo...” “Halo, Zham. Kamu di mana?” tanya Ryan di seberang sana. “Di bandara, Yan. Ada apa?” “Bandara? Kamu akan ke mana? Perjalanan bisniskah?” “Ah, ke bali. Bukan, bukan perjalanan bisnis. Ini perjalanan biasa untuk aku dan Melisa,” jelas Azham. “Honeymoon?” tebak Ryan. “Ya, mungkin begitulah.” Azham melirik Melisa yang berdiri di sampingnya yang sedang mendengar tanpa minta. “Ada apa menelfonku?” tanya Azham kemudian. “Ah, iya, aku sampai lupa. Aku hanya ingin mengajakmu untuk ke rumah sakit menjenguk Zera, tapi kalau kau sudah akan berangkat. Ya, sudah. Biar aku saja,” terang Ryan. Azham terdiam sebentar. Harusnya, Azham memang berada di rumah sakit menjenguk sang sahabat. Akan tetapi, kondisi saat i
Leon beranjak berdiri dari sofa yang ada di ruangan tempat Zera di rawat. Ia menghampiri sang kakak. Yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Semenjak kepulangan Ryan—sahabat Zera. Leon dapat melihat perubahan mimik wajah Zera yang murung. Bahkan, tatapannya terlihat sendu. “Ada apa, Kak?” tanya Leon sembari duduk di kursi samping ranjang Zera. Zera tersentak dari lamunannya mendengar pertanyaan Leon. “Ah, ya, Leon. Ada apa?” “Ck, aku bertanya, Kak. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran, Kakak?” ulang Leon. “Tidak! Tidak ada, Leon.” Zera memaksakan senyumnya ke arah Leon seraya menggeleng. “Benarkah?” tanya Leon lagi dengan alis terangkat sebelah. “Kenapa aku merasa Kakak menyembunyikan sesuatu?” tebak Leon. “Ck, aku sudah bilang tidak ada, Leon. Sudahlah, jangan mengkhawatirkanku secara berlebihan,” ucap Zera seraya memalingkan wajahnya. “Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkanmu. Sedangkan, kau Kakakku!?” Zera hanya menghela nafas kasar tanpa berniat untuk
Kening Azham mengerut saat melihat Melisa menatap keluar jendela dengan tatapan tidak biasa. Nafas Melisa juga tidak seperti biasa, ia terlihat seperti orang sesak nafas. Wajah Melisa sudah pucat. Matanya berkaca-kaca, membuat Azham panik. “Melisa, ada apa?” tanya Azham seraya menyentuh pundak gadis itu, tapi Melisa sama sekali tidak bergeming. Tatapannya lurus ke depan dengan tatapan seperti orang yang sangat ketakutan. Tubuh Melisa bergetar, dan Azham baru menyadarinya saat menyentuh pundak istrinya itu. Azham lalu mencoba menarik Melisa menghadapnya. “Hei, kamu kenapa? Ada apa, huh?” Azham mencoba untuk membuat Melisa tersadar, tapi gadis itu malah menangis dengan tubuhnya bergetar hebat. Azham sungguh cemas dibuatnya. Melisa menangis seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Azham mencoba membuka tangan Melisa dari wajahnya dengan terus bertanya ada apa. Akan tetapi, Melisa sama sekali tidak menjawab pertanyaan Azham, dan hanya mengatakan. “Ini tidak mungkin. Tidak mung
Melisa sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah Melisa merengek pada Azham untuk dibawa pergi dari rumah sakit. Meski harus mengeluarkan jurus jitu, Melisa juga mengalami sedikit kendala dalam membujuk Azham. Sebab, Azham bukan orang yang mudah untuk dibujuk. Namun pada akhirnya, Azham pun luluh, tidak tega melihat Melisa yang gerus menangis. Dan terlebih Azham sedang melindungi kesehatan telinganya, mendengar suara teriakan dan rengekan Melisa yang menyakitkan telinga. “Tuan, maaf. Kita akan ke—““Kita cari hotel lain, Aji.” Azham segera menyela saat tahu apa yang akan dikatakan Aji sang sopir. “Baik, Tuan.”Melisa melirik Azham yang memandang ke depan dengan tampang favoritnya. Datar. Melisa mendesah lega saat Azham memilih untuk tidak kembali pada hotel tersebut. Kalau tidak, Melisa pastikan kalau dirinya akan berakhir di rumah sakit lagi. Melisa kemudian kembali menatap keluar jendela, ia tidak menyangka akhirnya ia kembali ke tempat yang telah membuatnya trauma begit
Leon sudah membawa Zera ke ruangan di mana Zera di rawat. Leon membantu membaringkan Zera dengan mengangkat kakak ke atas ranjang rumah sakit. Zera masih dengan raut wajahnya yang datar. Leon menghela nafas kasar. Dia kemudian duduk di kursi di samping tempat tidur Zera. “Leon,” panggil Zera pelan tanpa melirik Leon. “Ya, Kak. Ada apa, apa Kakak membutuhkan sesuatu?” tanya Leon menghampirinya. “Bisa kamu tinggalkan Kakak di sini sendirian?” “Tapi, Kak—““Please, Kakak mohon, Leon.” Leon mengusap wajahnya kasar, lantas dia pun mengangguk mengiyakan. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti keinginan Zera saat ini. Tidak ada juga gunanya untuk melawannya, yang ada Zera akan semakin terguncang. “Baiklah, Kak. Tapi kalau ada sesuatu, silahkan panggil Leon segera, ya.” “Hmm....” Hanya itu yang keluar dari mulut Zera. Leon pun pergi meninggalkan Zera sendirian di dalam kamar. Leon menutup pintu ruangan Zera seraya mendesah kasar. “Aku harus bagaimana?” gumamnya pelan. Sementara, di
POV Azham Astaga ada apa dengan Melisa, kenapa dia keluar dengan hanya memakai handuk saja? Apakah dia ingin menggodaku? Tapi kenapa? Seharusnya kalau memang dia menginginkan kami melakukan malam ini, kenapa dia tidak langsung bilang saja? Tidak perlu melakukan itu, karena aku akan langsung menyanggupinya. Ah, aduh, kenapa otakku bisa terserang virus mesum seperti ini? Aku mendorong kepalaku pelan, agar bisa menghilangkan pikiran kotor itu dari kepalaku. Ini semua karena Melisa. Kenapa juga dia tidak membawa baju ganti, coba?Aku terus saja menggerutu di dalam hati. Aku menghela nafas kasar saat kurasa dibawa ada sesuatu yang terasa sesak dan mengeras. Ah, sial, sepertinya aku harus mandi air dingin. Kemudian aku pun membuka baju dan mulai mandi. Setelah selesai, aku meraih handuk untuk mengeringkan badanku. Kuperhatikan sekitar seraya mencari-cari baju gantiku yang akan kupakai untuk tidur. Aku menepuk keningku pelan, aku baru ingat kalau aku lupa membawanya. Semua itu karena Meli
POV MELISA Kuayunkan langkahku lebih cepat, aku kesal pada Pak Azham. Bisa-bisanya dia begitu menyebalkan. Sikapnya itu tidak bisa apa ditinggal di Makassar saja dulu? Tidak usah dibawa ke Bali. Merusak suasana saja. “Melisa!” seru Pak Azham, tapi aku tidak peduli. “Tunggu aku!” teriaknya. Aku hanya menoleh dan meliriknya sekilas, lantas kembali fokus pada jalanku di depan tanpa berniat menuruti kemauannya. Aku tidak tahu sejak kapan Pak Azham mengganti panggilan Saya menjadi Aku. Apakah aku saja yang tidak memperhatikan atau Pak Azham saja yang keliru? Entahlah, tapi aku baru sadar kalau Pak Azham menyebut dirinya Aku dan bukan Saya. Resto Hotel ini berada di lantai bawa, aku lalu mencari tempat yang enak untuk makan malam. Kalau bisa, tidak usah ada Pak Azham. Agar makanku enak dan tenang. Kalau dia ada bisa dipastikan aku akan kesal saja jadinya. “Kenapa kau tidak menungguiku?” Suara itu, aku mendongak dan benar saja. Pak Azham sudah berdiri bahkan duduk di kursi yang ada di
POV MELISA Aku membuka mataku perlahan saat merasakan matahari menyilaukan mataku. Aku menyipitkan sedikit dan mulai membukanya lebar. Kubawa mataku berkeliling mengenali tempatku terbangun. “Kenapa aku ada di sini?” tanyaku bingung. Aku terbangun di dalam kamar. Berbaring di atas ranjang dengan selimut yang membungkus sebagian tubuhku. Aku bangkit duduk seraya mengernyitkan kening heran. Perasaan semalam aku tertidur di balkon saat lelah bercerita pada bintang semalam. Lalu, kenapa aku bisa ada di sini? Siapa yang memindahkanku ke kamar ini? Apakah mungkin, Pak Azham? Ah, sepertinya memang dia. Siapa lagi? Toh, hanya dia yang akan masuk ke kamar ini. Aku pun mencari-cari keberadaannya. Namun, tidak kudapati dia ada di dalam ruangan tersebut. Kuperhatikan kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. Sepertinya, Pak Azham tidak ada di sana. Tidak mungkin dia di dalam dan tidak menutup rapat pintunya.Lantas, Pak Azham di mana? Kusibak selimut tebal itu, dan turun dari ranjang seraya